Menyusul bergabungnya kembali Krimea ke dalam Republik Federasi Rusia pada 2014, nampaknya Ukraina dengan berbagai cara berupaya memperoleh kembali wilayah Ukraina Timur tersebut. Salah satunya adalah dengan mempolitisasi Muslim Tatar. Atas dasar strategi tersebut, Ukraina berupaya keras sejak beberapa tahun lalu agar diterima sebagai oberserver/peninjau di Organisasi Konferensi Islam atau Organizition of Islamic Cooperation (OIC).
Pada November 2020 lalu, Deputi I Kementerian Luar Negeri Ukraina Emine Dzheppar memperbaharui lamarannya dalam status sebagai peninjau di OIC melalui pertemuan via video conference bersama Sekretaris Jenderal OIC Yousef Al-Othaimeen.
Namun kalau kita cermati dari perspektif politik luar negeri RI yang bebas-aktif dan berupaya tidak terseret dalam pusaran pertarungan global antar negara-negara adidaya, manuver Ukraina mengajukan lamaran berstatus sebagai observer di OIC, bakal mengundang kontroversi dan akan menyeret OIC sebagai organisasi negara-negara berpenduduk Muslim menjadi arena proxy war antar berbagai kekuatan adidaya. Mengingat fakta bahwa etnis Muslim Tatar tidak saja didukung oleh Ukraina, melainkan beberapa negara Uni Eropa seperti Jerman dan Prancis.
Padahal jika merujuk pada piagam OIC, tujuan utama organisasi negara-negara Islam tersebut adalah melestarikan nilai-nilai sosial dan ekonomi Islam; Mempromosikan solidaritas antar negara-negara anggota; meningkatkan kerjasama dalam bidang ekonomi, budaya, dan ilmu pengetahuan, maupun di bidang politik; menegakkan perdamaian dunia dan keamanan; serta memajukan pendidikan, khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Jika Ukraina diterima oleh OIC meski hanya berstatus sebagai peninjau, pada perkembangannya akan menciptakan pergolakan politik di internal OIC, yang berarti memecah-belah kekompakan antar negara-negara Muslim. Selain karena Ukraina akan berupaya melancarkan manuver diplomatik membujuk negara-negara anggota OIC mendukung gerakan separatis Muslim Tatar Krimea, pun juga akan melibatkan negara-negara anggota OIC dalam konflik antara Ukraina dan Rusia, yang sejatinya tidak ada hubungannya kepentingan kolektif negara-negara Islam yang tergabung dengan forum OIC.
Bahkan lebih parahnya lagi, akan memancing proxy war antara negara-negara Islam yang cenderung pro AS dan Uni Eropa versus Rusia di dalam internal OIC. Sehingga tujuan utama OIC sebagaimana dirumuskan dalam Piagam OIC tersebut di atas, akan berada dalam bahaya.
Manuver Ukraina mendorong politisasi agama dalam gerakan separatis Muslim Tatar memang cukup serius sejak 2017. Terbukti bahwa apa yang dikenal dengan sebutan the Mejlis of the Crimean Tatar People sejatinya merupakan agen-agen binaan Kiev yang diperalat oleh Ukraina agar Krimea yang beberapa waktu lalu bergabung dengan Rusia berdasarkan hasil referendum, bisa memisahkan diri kembali dari Rusia, dan kembali bergabung dengan Ukraina.
Maka pada perkembangannya kemudian, etnis Tatar dijadikan alat politik Ukraina untuk mempolitisasi Islam seraya memecah-belah kekompakan umat Islam di pelbagai belahan dunia. Salah satunya melalui forum Organisasi Kerjasama Islam OIC.
Bahkan pada 2017 lalu, Turki yang hakikinya termasuk negara berpenduduk mayoritas Islam, pernah menjadi ujung tombak dari kepentingan Ukraina agar the Mejlis of the Crimean Tatar People bisa diterima sebagai anggota OIC.
Baca: Turki Kembali Mempolitisasi Islam dan Isu Tatar Untuk Kepentingan Ukraina
Kalau kita cermati kasus etnis Tatar ini, tidak bisa dilepaskan dari perkembangan pada 2014 lalu, ketika melalui sebuah referendum, Krimea secara resmi meminta bergabung dengan Rusia. Namun, Ukraina setelah berada dalam kekuasaan pemerintaan Presiden Petro Poroshenko yang pro Amerika Serikat dan Uni Eropa menolak hasil referendum bergabungnya Krimea dengan Rusia, dan menuduh Rusia telah menganeksasi semenanjung Krimea.
Jadi, selain dapat dukungan sepenuhnya dari Ukraina, Etnis Tatar memang dijadikan isu politik juga oleh berapa negara Eropa Barat, seperti Jerman dan Prancis.
Manuver Ukraina mempolitisasi Muslim Tatar melalui OIC memang sempat hampir memecah-belah kekompakan negara-negara yang tergabung dalam OIC. Khususnya ketika Ukraina berhasil membujuk Turki dalam ikut mempolitisasi isu Tatar ke forum Pertemuan Para Ketua Parlemen OIC, dengan mendesak diakuinya the Mejlis of the Crimean Tatar People untuk mewakili Tatar di forum OIC. Alhasil, ulah Turki tersebut pada perkembangannya justru menyeret dan melibatkan forum OIC agar mendukung Gerakan Separatisme berbasis agama.
Maka jika ajuan lamaran Ukraina sebagai peninjau di OIC diterima, besar kemungkinan akan menciptakan preseden buruk bagi OIC di masa depan. Sehingga di masa depan negara manapun akan dibenarkan untuk melibatkan dan menyeret forum OIC untuk membela dan membenarkan Gerakan Separatisme, dalam arti membela kelompok tertentu yang mengatasnamakan atau mengklaim dirinya sebagai kelolmpok Islam yang ingin memisahkan diri dari negara induknya, untuk mendapatkan dukungan politis dan moral dari forum OIC.
Indonesia yang menganut politik bebas dan aktif dan berupaya ikutserta menciptakan perdamaian dunia dan keamanan internasional, sudah barang tentu wajib menolak ajuan lamaran Ukraina tersebut. Selain dapat menciptakan pergolakan dan instabilitas di dalam tubuh OIC itu sendiri, Indonesia juga sangat berkepentingan untuk mencegah adanya para pihak untuk memanipulasi gerakan-gerakan separatis berbasis agama yang bermaksud melepaskan diri dari Indonesia, serta mencegah gerakan separatis berbasis agama menginternasionalisasikannya agenda-agendanya di berbagai forum internasional, termasuk OIC.
Selain daripada itu, menyeret forum OIC dalam pertarungan politis antara Ukraina versus Rusia, bukanlah sesuatu keputusan yang bijaksana, mengingat tujuan utama dibentuknya OIC adalah terciptanya kerjasama antarnegara berpenduduk Muslim terbesar untuk memberdayakan masyarakatnya di bidang sosial-ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta di bidang pendidikan.
OIC yang bermarkas di Jeddah, Arab Saudi, didirikan pada 1969 dan saat ini beranggotakan 57 negara berpenduduk mayoritas Muslim. Salah satu negara Muslim yang nampaknya secara terang-benderang mendukung status Ukraina sebagai peninjau di OIC adalah Tunisia. Dan tentunya akan mendukung manuver diplomatik Ukraina menginternasionalisasikan masalah suku Tatar masuk dalam agenda OIC.
Sekali lagi, Indonesia yang menganut politik luar negeri bebas dan aktif yang menentang segala bentuk keterlibatan negara-negara besar dalam menyeret negara-negara OIC dalam perang proxy antar-negara-negara adikuasa, harus berdaya upaya mencegah jangan sampai Tunisia berhasil memperluas lingkup dukungan dari para anggota OIC terhadap manuver diplomatik Ukraina.
Hendajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute (GF)