Belakangan, santer diberitakan program vaksin Covid-19 di pelbagai belahan dunia. Meski dimungkinkan bisa melewati tahap uji klinis yang kredibel, namun keberhasilan vaksin virus corona perlu waktu bertahun-tahun untuk diterapkan, terlebih banyak varian vaksi yang akan diproduksi, terutama oleh perusahaan farmasi dan sejumlah lembaga riset internasional seperti University of Oxford (Inggris), Sinovac Biotech (China), AstraZeneca (Swedia), dan lain-lain. Bahkan dalam skenario kasus terbaik ini, Covid-19 mungkin tidak akan pernah benar-benar bisa diberantas.
Namun, ada fakta menarik dan purlu untuk dicermati bersama di balik pandemi Covid-19, terutama di Swedia. Lihat saja misalnya, Anders Tegnell, yang begitu optimis yang menyuarakan pendekatan bebas lockdown (penguncian) di Swedia. Di Stockholm misalnya, salah satu kota yang menjadi pusat budaya begitu bebasa dan terbuka meski masih dalam masa pandemi Covid-19. Di kota ini, banyak dijumpai bar terbuka, musik live dan wajah tersenyum tanpa masker. Itu karena ahli epidemiologi negara bagian Tegnell percaya bahwa selama orang-orang berakal sehat, kehidupan normal dapat berlanjut.
Atas kenyataan di atas, pemerintah Indonesia perlu lebih bijak dan tidak gegabah dalam memberlakukan program vaksinasi Covid-19. Justru, pelajaran penting yang bisa dipetik dari Stockholm, pusat pemerintahan nasional Swedia adalah adanya informasi yang menyehatkan dan cenderung memperlakukan rakyatnya sebagai “subyek” dan bukan “obyek”. Artinya, Pemerintah Swedia lebih mengedepankan sikap hidup yang penuh optimisme dan bukan sebaliknya, menebar kekhawatiran dan kepanikan kepada rakyatnya yang diakibatkan oleh Covid-19.
Budaya berakal sehat yang tercermin dari sikap bernegara para pejabat di Swedia pada sikap hidup yang positif itulah yang menjadi harga “mahal” yang layak untuk “dibeli” oleh pemerintah Indonesia, alih-alih vaksin virus corona yang di saat bersamaan rakyat Indonesia belum terbebas dari trauma kepanikan dan ketakutan. Belum lagi dengan santernya pemberitaan tentang pasien yang di-covid-kan oleh rumah sakit.
Dalam terang kenyataan tersebut. Pemberian “vaksin” pemulihan mental dengan lebih mengedepankan akal sehat dan sikap hidup yang positif dan optimis kepada rakyat jauh lebih dioptimalkan dari sekadar pemberian vaksin virus corona kepada mereka, yang saat ini mungkin belum sepenuhnya terbebas dari ketakutan. Dalam hal ini, ketakutan boleh namun perlu dibarengi dengan sebuah pemahaman yang mencerahkan.
Pemahaman yang mencerahkan dengan mengedepankan akal sehat dan “mengikuti ilmu pengetahuan”, meminjam istilah Tegnell, menjadi keharusan bagi setiap negara untuk mengingatkan rakyatnya.
Tegnell bahkan memaklumi ketika banyak negara takut sehingga memberlakukan kebijakan lockdown atau PSBB seperti di (sebagian wilayah) negara kita, dengan sederet protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah. Namun bagi Tegnell, Lockdown (penguncian), pemakaian masker dan lain-lain bukanlah jawabannya. Dia mengatakan “Saya dapat memahami beberapa situasi negara yang begitu buruk sehingga mereka perlu melakukan sesuatu yang drastis dan tergoda untuk mengunci,” katanya.
Dengan situasi yang semakin parah di Inggris yang menyebabkan pertentangan di Parlemen dan pandangan para ilmuwan, Tegnell mengatakan pendekatannya mendapat dukungan penuh dari pemerintahnya. “Saya tidak merasa di bawah tekanan untuk mengubah arah.” Inilah contoh bagaimana sebuah keputusan politik yang diambil oleh pemerintah Swedia telah menghasilkan potret perubahan yang berbeda dengan negara-negara lain dalam menangani pandemi Covid-19.
Dengan demikian, sikap kehati-hatian dari pemerintah dengan mempertimbangkan bagaimana kebijakan yang diambil Swedia dalam menangani pandemi Covid-19 patut kita apresiasi, menyusul rencana pemerintah Indonesia dalam menerapkan program vaksinasi Covid-19.
Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute (GFI)