Hakiki perang generasi kelima adalah akumulasi strategi, taktis dan teknis —sistem dan metode— dari model-model peperangan sebelumnya/terdahulu plus akomodasi substansi isu-isu (lingkungan) strategis, dan merespon tren ilpengtek terutama ikuti digitalisasi. Mengapa begitu, bahwa hakikat ancaman perang generasi kelima tidak (berlangsung) melulu di area pertahanan dan keamanan yang menjadi domain militer (dan polisi pada saatnya) semata, namun justru berlangsung di ranah sipil sebagaimana isyarat sebelumnya bahwa sasaran pertama peperangan generasi kelima memiliki dampak sosial, sedang dampak politik dan militer itu setelahnya.
Dari uraian ini — maka mutlak perlu adanya perubahan metode dan doktrin pada institusi serta fungsi-fungsi berkompeten dimana selama ini leading dalam hal pertahanan negara/perang/keamanan. Ya, urgensi perubahan sistem, metode maupun doktrin merupakan hal mendesak mengingat hakikat ancaman telah berubah bentuk sesuai perkembangan zaman.
Ada pertanyaan menggelitik, “Bagaimana dengan si vis pacem para bellum selaku doktrin yang praktiknya cenderung mendorong pengembangan (perlombaan) alutsista dari pola peperangan konvensional?” Tidak ada masalah. Silahkan dilanjutkan. Kenapa? Dalam konteks unrestricted war alias perang generasi kelima, keberadaannya bukan sebagai induk doktrin dan metode belaka, namun justru bergeser menjadi filosofi atas semua doktrin dimana nanti segala metode terhubung serta bertumpu kepadanya. Kenapa demikian, karena si vis pacem dari perspektif geopolitik merupakan salah satu prinsip bernegara sebagaimana doktrin Panglima Soedirman: “Pertahankan rumah serta pekarangan kita sekalian”.
Itulah poin inti pada langkah awal di sisi internal guna penyejajaran atas berubahnya hakikat ancaman.
Langkah kedua, butuh pelibatan rakyat secara langsung diawali sosialisasi gegap gempita kepada rakyat tentang pengetahuan serta wawasan perang modern sebagai konsekuensi logis target pertama (dampak sosial) dalam perang generasi kelima. Apakah perlu dimasukkan dalam kurikulum di semua level pendidikan? Untuk yang ini, butuh dialog lebih dalam. Termasuk pelibatan secara langsung institusi dan/atau lembaga lain yang selama ini berdomain sipil, seperti Polri misalnya, atau kementerian/lembaga lain yang selama ini cuma supporting system dalam hal pertahanan negara/perang. Kenapa? Sekali lagi, karena sasaran pertama perang ini ialah dampak sosial yakni ketertiban umum. Hal ini yang mutlak dipahami serta disadari oleh segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia tentang ujud perang tanpa bentuk lagi tak terbatas.
Langkah ketiga, meningkatkan kemampuan interoperabilitas Kementerian Pertahanan (dan jajaran TNI) selaku leading sector. Inti interoperabilitas ialah kemampuan sebuah sistem satuan menyediakan layanan kepada/dan menerima layanan dari sistem lain serta menggunakan layanannya, demikian sebaliknya. sehingga memberikan kemampuan operasional terpadu secara efektif. Hal ini merujuk pada NATO Logistic Handbook, “The ability of systems, units or forces to provide services to and accept services from other systems, units or forces and to use the services so exchanged to enable to operate effectively together“.
Jadi, kelak tidak terdengar lagi istilah ego sektoral, tidak ada pula sebutan grey area dan seterusnya, oleh karena hakikat ancaman telah menjadi common enemy atau musuh bersama.
Bagaimana mekanismenya?
Jika doeloe urutan kerja sama dimulai dari komunikasi, koordinasi, kolaborasi, (sinkronisasi) dan sinergi; agaknya di era unrestricted warfare, langkah awal justru “sinergi” kemudian dilanjut dengan “persenyawaan” antar – lembaga setelah ditetapkan tentang siapa “musuh bersama”.
Mengapa hal tersebut menjadi urgen?
Menurut Charles Reith, “Sepanjang sejarah, banyak masyarakat yang hilang dan lenyap bukan disebabkan oleh perang dan wabah penyakit, tetapi karena ketidakmampuan untuk menjaga dan memelihara ketertiban umum (The Blind Eye of History, 1942).
Nah, berlawanan dengan isyarat Reith di atas, hari ini, ternyata wabah justru sudah menjadi modus perang dan peperangan itu sendiri telah mengubah wajahnya!
Bersambung ke Bagian 5
Baca juga:
Orkestrasi Perang Generasi Kelima (Bagian 1)
Orkestrasi Perang Generasi Kelima (Bagian 2)
Orkestrasi Perang Generasi Kelima (Bagian 3)
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)