Indonesia Sasaran Perebutan Geopolitik Jalur Sutra Pilpres 2014

Bagikan artikel ini

Penulis: Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Beberapa hari lalu KSAD Budiman melontarkan sebuah pandangan yang cukup menarik. Sebagaimana dilansir berbagai media, KSAD Budiman mengatakan TNI AD  telah memetakan potensi kerawanan pada pemilu legislatif 9 April 2014. Yaitu Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sulawesi Selatan merupakan dua provinsi yang memiliki tingkat potensi konflik yang tertinggi.

“Para komandan Koramil dan Pangdam harus bisa memetakan daerah-daerah kekuatan dari kekuatan setiap partai yang ada. Kemudian teliti, kemungkinan kelompok-kelompok yang sangat keras, agar dapat diturunkan tensinya,”begitu tandas Budiman.
Lebih lanjut KSAD menyerukan para komandan Koramil dan Pangdam harus bisa memetakan daerah-daerah mana yang merupakan basis dari kekuatan-kekuatan partai yang ada. Lalu kemudian diteliti kemungkinan kelompok-kelompok yang sangat keras agar dapat diturunkan tensinya.
Pandangan KSAD budiman jadi menarik ketika Indonesia dilihat dalam perspektif Jalur Sutra sebagai “sasaran perebutan pengaruh” antar Negara-negara adidaya yang bermaksud menguasai wilayah geopolitik Indonesia yang kaya akan kandungan sumberdaya alam.
Namun pemetaan KSAD tentang daerah berpotensi konflik, tentunya bukan satu-satunya rujukan.
Jika mempeta (mapping) Indonesia dari perspektif politik dan keamanan, niscaya akan muncul tiga wilayah “merah” atau masuk kategori rawan, antara lain Aceh, Maluku dan Papua. Kendati ada beberapa daerah lain juga sering bergolak, tetapi bukan faktor ideologis, hanya sebatas anarkisme massa ketika unjuk rasa, tawur antar kampung, dan lain sebagainya sifatnya hanya kasuistis, sporadis dan sesaat.
Meski riak-riak politik pada ketiga daerah tidak lagi seheboh dulu, tetapi jenis kerawanan beralih kepada tuntutan yang lebih atas praktek-praktek demokrasi, tegaknya hukum, rasa keadilan, hak asasi manusia (HAM), ataupun menuntut perhatian lebih (khusus) dari pemerintah pusat.
Aceh misalnya, selain meminta penerapan syariah Islam, juga masih ada golongan warga ingin eksistensi bendera gerakan (GAM) dikibarkan. Demikian pula Papua, kendati telah menjadi Daerah Otonomi Khusus (Otsus), terdapat segelintir warga berafiliasi dengan asing berteriak soal Papua Merdeka, meski Nicolas Jouwe, sosok pendesain bendera Bintang Kejora telah menyadari kekeliruannya dan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Sementara untuk Maluku hampir-hampir tak menuntut apa-apa karena semakin kondusif. Ia cuma meminta prioritas dari sisi kerukunan antar umat beragama secara horizontal. Inilah mapping sekilas ketiga daerah “merah” di negeri tercinta ini.
Lantas bagaimana membaca indikasi dan gelagat langkah catur Inggris dalam menunggangi bara api Pilpres 2014 mendatang? Tak pelak lagi, peran Australia sebagai deputi sharif Inggris dan Amerika Serikat di Asia Pasfik harus dalam radar pemantauan para stakeholder/pemangku kepentingan politik dan keamanan kita.
Sebab sejak beberapa waktu berselang, perhatian Australia terhadap ketiga daerah tersebut begitu rutin bahkan intensif dilakukan. Mungkin sekedar asistensi, penelitian, capacity building, atau kegiatan lain.
Maluku misalnya, setiap tahun dilaksanakan Darwin-Ambon Yacht Race, semacam lomba perahu layar yang bertolak dari Darwin ke Ambon. Kegiatan ini mendorong pertumbuhan industri kerajinan dan pariwisata di Maluku, khususnya Ambon dan sekitar. Ini terlihat semakin meningkatnya para peserta layar dari tahun ke tahun. Adalah keniscayaan jika ada linkage atau jalinan permanen antara Australia dengan kelompok lokal atas nama Yacht Race. Sejauh mana pertalian mereka, rajutan masih memang belum terurai.
Di Aceh lain lagi. Digelarnya pertemuan antara pimpinan parlemen (DPR Aceh) dengan jajaran Kedutaan Australia di Jakarta. Hal ini menarik dicermati, ketika pimpinan delegasi ialah Lauren Bain, Konselir bidang Politik dan Keamanan. Merujuk kelaziman diplomatik (pakem) Barat selama ini, bahwa konselir bidang politik biasanya agen intelijen yang ditanam di Kedutaan.
Dalam forum tersebut, Bain menanyakan masalah politik, ekonomi, perkembangan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), dan lainnya. Poin yang menarik tatkala ia berkomitmen soal penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu. Inilah “titik” yang mutlak diwaspadai bersama. Betapa komitmen Australia terkait HAM di Aceh, selain bisa diendus sebagai awal intervensi ke internal Indonesia, bukankah ia sendiri tengah didera persoalan HAM terkait tindakan diskriminasi terhadap Aborigin, suku asli Australia?
Dalam buku berjudul “Kembali ke Indonesia: Langkah, Pemikiran dan Keinginan (2013)”, Jouwe menyatakan, masyarakat Papua saat ini sudah dihormati Indonesia dibanding Aussie kepada Aborigin. Hingga saat ini, Aborigin tidak memiliki satupun anggota di parlemen Australia, sementara banyak orang Papua menjadi anggota parlemen baik pusat maupun daerah, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Wakapolda Papua dll. Jika dibanding Australia, justru ia lebih mundur penghormatannya kepada HAM daripada Indonesia.
Inggris Tunggangi Bara Api Pilpres 2014?
Di tengah memanasnya kampanye Pilpres 2014, baik kampanye putih-hitam ataupun gelap, dan betapa intensifnya Australia bemanuver di berbagai daerah di Indonesia,  ada gelagat Inggris sedang melancarkan Perang Asimetris dan aksi destabilisasi, dengan menunggangi bara api Pilpres 2014. Tujuannya, menguasai geopolitik di wilayah NKRI melalui Perang Asimetris. Tebar Isu, Rumuskan Tema Sebagai basis gerakan, lalu skema sesungguhnya dimunculkan.
Jika KSAD Budiman menggarisbawahi Aceh dan Sulawesi Selatan sebagai “daerah merah” karena memiliki potensi konflik yang cukup tinggi, pada saat yang sama Jawa Barat dan daerah-daerah sepanjang jalur Pantai Utara (PANTURA) juga harus masuk dalam radar pengawasan para pemangku kepentingan keamanan nasional. Mengingat fakta bahwa Jawa Barat merupakan  basis pendukung pasangan Prabowo-Hatta yang cukup jadi andalan. Bahkan Prabowo-Hatta telah mencanangkan akan berusaha meraih 75 persen suara.
Sedangkan Sulawesi Selatan merupakan daerah basis pendukung pasangan Jokowi-Jusuf Kalla yang jadi andalan. Bisa dibayangkan jika konflik horizontal merebak di kedua daerah tersebut akibat dipicu benturan antara kedua pendukung pasangan capres.
Dalam skema Perang Asimetris yang selama ini dimainkan oleh Negara-negara barat terutama Inggris dan Amerika Serikat, yang selalu menerapkan tiga tahapan:  Tebar Isu, Rumuskan Tema Sebagai basis gerakan, lalu skema sesungguhnya dimunculkan. Maka pertanyaannya adalah apa isu-isu yang coba diolah dan ditebar.
Kasus penyerbuan gereja di Yogyakarta, kiranya harus diwaspadai sebagai benih-benih sekaligus isyarat bahwa bukan tidak mungkin isu pelanggaran HAM terhadap kaum minoritas akan dimainkan sebagai isu pembuka. Sehingga tema yang akan diusung adalah Adanya Intoleransi beragama di Indonesia.
Isu lain yang bisa ditebar dalam kerangka Perang Asimetris AS-Inggris-Australia jelang Pilpres 2014 adalah soal sentimen anti Cina, Ahmadiyah dan Syiah. Di daerah Jawa Barat yang mana Syiah punya basis yang cukup kuat di berbagai perguruan tinggi dan organisasi kemasyarakatan, bisa saja dimainkan sebagai isu untuk memicu benturan horizontal.
Daerah sepanjang Pantai Utara mulai dari Cirebon, Brebes, Tegal, Pekalongan, sampai ke beberapa kota di Jawa Timur seperti Ngawi, dan seterusnya juga perlu dapat perhatian khusus dan intensif. Mengingat kuatnya basis-basis NU dan nasionalis/PDIP. Jika terjadi bentrokan yang mengarah pada pembelahan sosial, bisa dipastikan pelaksanaan Pilpres maupun hasil Pilpres akan berjalan semrawut dan tidak kondusif.
Lantas, isu apa lagi yang bisa ditebar selain tentang pelanggaran HAM kepada minoritas? Tentu saja. Yaitu korupsi.
Dan agaknya dinamika Pemilu 2014 di republik tercinta ini tak lepas dari remote (kemauan) sang pemilik hajatan. Entah sengaja atau kebetulan, sampul majalah Tempo tertanggal 7 -13 April 2014 mengisyaratkan hal tersebut. Silahkan saudara-saudara simak secara cermat sampul dimaksud (lihat gambar). Maksudnya agar selaku anak bangsa tidak larut dalam tarian gendang si dalang, apalagi cuma tiupan seruling si wayang. Syukur-syukur atas seizin Tuhan, bangsa ini mampu memahami skema penanggap kemudian menguak siapa sesungguhnya pemilik hajat atas gaduh politik di Tanah Air, lalu bersama-sama kita melawan secara gegap gempita. Kenapa demikian, sebab tercium aroma bahwa ada skenario di atas skenario, terdapat skema di dalam skema itu sendiri.
Apapun. Pemilu kali ini memang uniq, selain tidak ada incumbent, hasil Pemilu Legeslatif (Pileg) tak mampu memunculkan partai pemenang secara mutlak (mayoritas), juga hiruk-pikuk koalisi partai politik hanya melahirkan dua capres/cawapres yang bakal head to head dalam Pemilu Presiden (Pilpres) nanti.
Nah, ditengah-tengah geliat politik menuju pungut suara Pilpres 9 Juli 2014, ada episode janggal berupa pelanggaran hukum (korupsi) yang melibatkan capres ataupun cawapres masing-masing kubu. Jokowi misalnya, ia tengah dibidik Kejagung atas dugaan korupsi Bus TransJakarta, sementara Hatta Rajasa diincar KPK untuk kasus dugaan korupsi KRL, termasuk dugaan korupsi daging impor. Luar biasa.
Bayangkan, jika ada niat dari negara-negara adidaya tersebut untuk bikin skenario penggagalan pemilu, maka cukup comot saja salah satu dari pasangan tersebut, entah Jokowi dalam kasus Bus TransJakarta atau Hatta Rajasa terkait kasus KRL atau Impor Sapi, maka batallah pelaksanaan pemilu 9 Juli 2014. Dan segalanya harus ditata kembali dari awal.
Siapa untung jika skenario ini berjalan lancar? Tentu saja para pihak yang punya mata-rantai keterkaitan dengan bos-bos mereka di London, Washington dan Darwin.
Pertanyaannya sederhana: Jika kemenangan tipis diraih oleh salah satu pasangan capres, atau mungkin salah satu capres/wapres, atau bahkan kedua-duanya terganjal kasus korupsi, apakah Pilpres bakal ditunda atau gagal?
Jawabannya pun sederhana: ‘Selamat Datang Asia Spring di Bumi Pertiwi!”
Mengapa bisa begitu? Secara sederhana bisa dikatakan, Indonesia merupakan mata-rantai penting dari geopolitik jalur sutra yang jadi sasaran perebutan pengaruh antara AS versus Cina di Asia Pasifik.
Geopolitik Jalur Sutra 
Secara geografis, selain jalur ini membentang antara perbatasan Rusia-Cina (sebut saja –-asumsi– dimulai dari Xinjiang, Cina) hingga Maroko, ia dikenal sebagai “jalur basah” karena faktor SDA melimpah ruah. Mackinder menyebut dalam teorinya ialah Heartland dan World Island. Barang siapa mengendalikan kawasan ini, maka identik (menguasai) memimpin dunia. Tidak kalah penting adalah letak serta posisi The Silk Road yang seakan-akan menjadi pemisah antara dua peradaban yakni Barat dan Timur. Inilah spesifikasi geopolitik jalur tersebut.
Dalam kajian Mackinder, terdapat empat kawasan terkait ajaran geopolitik. Pertama adalah Heartland atau World Island. Kawasan ini mencakup Asia Tengah dan Timur Tengah (World Island). Kedua ialah Marginal Lands yaitu Eropa Barat, Asia Selatan dan (sebagian) Asia Tenggara dan sebagian daratan Cina. Ketiga disebut Desert atau Afrika Utara. Sedang kawasan terakhir (keempat) dinamai Island or Outer Continents yang meliputi Benua Amerika, Afrika Selatan, Asia Tenggara dan Australia.
Sesuai teori Mackinder (1861-1946), kawasan berkelimpahan SDA hanya Asia Tengah dan Timur Tengah. Afrika Utara waktu itu, tampaknya belum direkomendasi oleh Mackinder sebagai wilayah “basah”. Entah kenapa ajarannya dulu cuma menyebut Afrika Utara sebagai Desert (dataran tandus), bukannya bagian World Island atau Heartland (jantung dunia). Betapa Libya terkenal dengan sweet crude oil, Mesir, Maroko melimpah hidrocarbon, atau Aljazair yang menolak pangkalan militer AS di teritorialnya, dll. Tidak boleh disangkal, Afrika Utara merupakan kawasan lintasan Jalur Sutera.
Jalur yang Diperebutkan
Adanya pengembangan jalur yang meluas hingga perairan sebagaimana sekilas uraian di atas, telah menarik syahwat kaum kapitalis, lalu mereka pun merapat kepadanya sebab dianggap epicentrum (magnet) bagi kekuatan-kekuatan ekonomi dan militer dunia. Inilah yang tengah berlangsung secara diam-diam di antara para adidaya. Intip mengintip. Menebar isue, siapkan strategi, membikin kontra, dll. Maka konsekuensi logis timbul bahwa keberadaan Jalur Sutera dirahasiakan. Jarang disebut secara vulgar, kecuali melalui “sandi”.
Adapun sandi dimaksud seringkali dalam bentuk doktrin, asumsi, atau terminologi, Mackinder misalnya, pernyataan yang terkenal adalah: “Who rules East Europe, command the Heartland; Who rules the Heartland, command the World Islands; Who rules the world islands, command the wolrd”. Sedangkan Tony Cartalucci, kolumnis di RT News Chanel memberi isyarat, “Matikan Timur Tengah, anda mematikan Cina dan Rusia, maka anda akan menguasai dunia”, demikian seterusnya. Akan tetapi ‘sandi’ kedua pakar sebenarnya belum lengkap karena tanpa menyertakan Afrika Utara sebagai lintasan Jalur Sutera.
Barangkali tata cara Alfred T. Mahan (1840 – 1914) mungkin paling menarik dan kompleks. Betapa ahli kelautan Amerika (AS) menciptakan doktrin keramat bagi Angkatan Laut AS, tetapi ia melakukan deception atas ajarannya: “Barang siapa menguasa Lautan Hindia maka akan menjadi kunci dalam percaturan dunia”. Luar biasa. Dugaan kuat penulis, Mahan sepertinya hendak menyembunyikan keberadaan Jalur Sutera dari publik global melalui sandi “Lautan Hindia”. Artinya, kalimat Lautah Hindia pada doktrin Alfred Mahan maksudnya Jalur Sutera itu sendiri.
Dari paparan tersebut jelaslah sudah, betapa Indonesia memang bagian dari jalur persilangan dunia yang mendominasi perdagangan. Dan itulah Jalur Sutra.
Dalam skema Negara-negara barat, gagasan persatuan sebisa mungkin secara by design dicegah melalui segala cara. Karena doktrinnya memang ada.
Mari simak statement Perdana Menteri (PM) Inggris, Henry Bannerman (1906). Ia berkata:
“Ada sebuah bangsa (Bangsa Arab/Umat Islam) yang mengendalikan kawasan kaya akan sumber daya alam. Mereka mendominasi pada persilangan jalur perdagangan dunia. Tanah mereka adalah tempat lahirnya peradaban dan agama-agama. Bangsa ini memiliki keyakinan, suatu bahasa, sejarah dan aspirasi sama. Tidak ada batas alam yang memisahkan mereka satu sama lainnya. Jika suatu saat bangsa ini menyatukan diri dalam suatu negara; maka nasib dunia akan di tangan mereka dan mereka bisa memisahkan Eropa dari bagian dunia lainnya (Asia dan Afrika). Dengan mempertimbangkan hal ini secara seksama, sebuah “organ asing” harus ditanamkan ke jantung bangsa tersebut, guna mencegah terkembangnya sayap mereka. Sehingga dapat menjerumuskan mereka dalam pertikaian tak kunjung henti. “Organ” itu juga dapat difungsikan oleh Barat untuk mendapatkan objek-objek diinginkan” (JW Lotz, 2010).
Ada dua hal pokok menarik untuk didiskusikan terkait isyarat di atas. Pertama, siapa “organ asing” yang dimaksud oleh Bannerman; kedua, dimana teritori dalam kalimat ini, “ ..mereka mendominasi pada persilangan jalur perdagangan dunia.. ”.
Dalam kasus Israel di kawasan Timur Tengah, organ asing yang dimaksud jelas adalah Israel. Sedangkan Jalur persilangan dunia yang dimaksud adalah Jalur Sutra.
Percaya tidak percaya. setelah Israel menjadi bangsa (bukan negara) tahun 1948 —sesuai isyarat Bannerman— memang seringkali terjadi konflik serta pertikaian hampir tak kunjung usai di Jalur Sutera. Hingga kini, bahkan sampai detik ini gejolak politik senantiasa mewarnai jalur persilangan perdagangan (dan militer) dunia tersebut.
Pola yang merujuk pada doktrin Bannerman tersebut nampaknya masih tetap diterapkan di berbagai kawasan dunia, termasuk di Indonesia. Misal konflik yang disebabkan perbedaan budaya dalam agama (Islam), atau antar agama dan suku, isue terorisme, pemimpin tirani, demokratisasi, wahabisme, takfiri, korupsi, dll.
Inilah faktor pemicu atau bahan bakar yang bisa memantik kerusuhan social jelang hari H Pilpres 9 Juli mendatang maupun sesudahnya. Maka dari itu menarik seruan KSAD Budiman agar memetakan daerah-daerah yang berpotensi menciptakan konflik sosial.
Karena dari sinilah Perang Asimetris Negara-negara colonial dilancarkan melalui tebar isu, rumuskan tema gerakan lalu kemudian memunculkan skema mereka yang sesungguhnya untuk penguasaan dan pengaruh wilayah geopolitik NKRI.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com