Banyak kawan bertanya kepadaku, kenapa di setiap tulisan tentang konflik komunal di Bumi Pertiwi selalu dikaitkan dengan (by design) permainan intelijen asing; mana buktinya; apakah konflik lokal tersebut bukan murni akibat faktor-faktor internal di daerah itu sendiri?
Pertanyaan tersebut saya kembalikan kepada kawan tadi, “Jika Aceh cuma penghasil ketela rambat atau akik solar apakah bakal ada Gerakan Aceh Merdeka (GAM), atau konflik-konflik lainnya; akankah muncul Organisasi Papua Merdeka (OPM) apabila Papua hanya punya potensi koteka atau akik paparaja; seandainya di Timor Timur dahulu tidak ditemukan potensi besar atas minyak di Celah Timor, mungkinkah ia berani mendesak referendum?”
Jangan dikira konflik lokal seperti di Singkil berdiri tunggal sebagai fenomena sosial budaya. Ingat! Dalam konteks perpolitikan global, bahwa “konflik lokal merupakan bagian dari konflik global.” Inilah asumsi yang kerap terbukti. Dalam pola (skenario) kolonialisme, konflik diciptakan hanya sebagai pintu pembuka guna melangkah ke agenda lain yang bermuara pada taktis kolonialisme yakni mencari bahan baku semurah-murahnya serta mengurai pasar seluas-luasnya.
Muara skenario kolonialisme di muka bumi selalu berlabuh pada faktor geopolitik. Hampir keseluruhan konflik-konflik terutama yang berskala luas muncul dikarenakan faktor emas, minyak dan gas bumi. “If you would understand world geopolitik today, follow the oil” (Deep Stoat). “Jika anda ingin memahami dunia geopolitik hari ini, ikuti aliran minyak.”
Ya, makna “oil” yang dimaksud dalam asumsi Deep Stoat di atas tidak melulu minyak, tetapi juga berupa emas, gas bumi, jenis dan macam tambang-tambang lain, atau aspek geopolitik lainnya. Itulah pesan strategis Deep Stoat beberapa dekake lalu yang masih relevan hingga kini dan akan digunakan sebagai asumsi —teori dianggap benar— guna menguak sedikit “Kerusuhan Aceh Singkil” yang meletus pada Selasa, 13/10/2015 di provinsi terujung Indonesia.
Tulisan tak ilmiah ini tidak akan membahas soal potensi konflik yang sudah ada sejak dulu, juga tak mengurai masalah perizinan pendirian gereja, atau penolakan warga lokal, dsb kecuali untuk menyabungkan kajian saja. Dari perspektif geopolitik, hal-hal di atas cuma dinilai sebagai critical point, atau archilles (titik kritis) yang sudah barang tentu telah ter-mapping di setiap lembaga negara dan instansi pemerintah baik pusat maupun daerah.
Data di Global Future Institute (GFI), Jakarta, pimpinan Hendrajit, menyatakan bahwa pasca gagalnya skenario asing dengan modus referendum di Sampit melalui agenda konflik etnis antara Dayak versus Madura hingga berdarah-darah, Papua dan Aceh memang menjadi target berikutya, kenapa? Selain letak dan geoposisi keduanya di pinggiran Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), faktor geoposisi yang strategis, juga potensi SDA-nya sungguh tak terkira. Papua dan Aceh itu kaya akan minyak, emas dan bumi. Sekali lagi, if you would understand world geopolitic today, follow the oil.
Secara taktis di lapangan, bahwa asing kini tengah menerapkan modus kolonialisme bertajuk ‘Memakan Bubur Panas Dimulai dari Pinggiran’ atau ‘Desa Mengepung Kota’ ala Mao Tzedong.
Isu Singkil merupakan kelanjutan isu Tolikara yang gagal menjadi agenda lanjut kolonialisme karena cepatnya respon aparat, sadarnya kaum akademisi, elit politik, serta pahamnya para tokoh agama akan situasi sehingga tidak terpancing oleh propaganda intoleransi yang ditebar asing. Namun juga tak boleh dipungkiri, ada kecepatan gerak isu Singkil (penolakan warga atas pendirian gereja) menjadi agenda kerusuhan massa antara Muslim versus Kristen sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, korban luka-luka dan bahkan jiwa.
Seperti halnya isu Tolikara dulu, kemunculan agenda kolonialisme lanjutan sangat tergantung dari sikap elit politik, para tokoh agama dan aparat terkait guna menangani kasus tersebut. Artinya, bila kasus ini berlarut tanpa menyelesaian secara cepat dan tuntas seperti di Tolikara maka agenda lanjutan yang bakal tergelar adalah HADIRNYA PASUKAN ASING di Bumi Pertiwi dengan berbekal Resolusi PBB atas nama intolerasi, pelanggaran hak azasi manusia (HAM), dan sebagainya.
Jika telah hadir pasukan internasional di Tanah Rencong maka skenario berikutnya adalah REFERENDUM yang niscaya berujung lepasnya Aceh dari pangkuan Ibu Pertiwi. Inilah keniscayaan yang bakal terjadi apabila kasus Singgkil dibiarkan berlarut-larut tanpa penanganan cepat dan konsepsional. Itulah skema kolonialisme yang berulang di muka bumi meskipun dengan kemasan berbeda, namun polanya tak berubah.
Demikian adanya, terimakasih.
Penulis: M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments