Nofia Fitri, Mahasiswa Master Program Hubungan International (EMU/Turkey)
Indonesia adalah bangsa besar dengan semangat paling menyala dalam menegakkan prinsip-prinsip berdemokrasi. Alat-alat demokrasi beragam dimulai dari pemilihan umum dengan sistem multipartai, pers bebas sampai menjamurnya organisasi-organisasi sosial-politik, kelompok-kelompok penekan dan kepentingan, tidak terlepas dari semakin meningkatnya peran ruang-ruang publik. Ruang publik hari ini sejatinya menjadi perdebatan dalam diskursus demokrasi ketika meniti hubungan antara rakyat dengan pemerintah. Diantara ruang-ruang publik yang efektif dalam penegakan demokrasi di kebanyakan negara adalah media internet.
Internet dan Partisipasi Politik Masyarakat
Jika perdebatan seputar fungsi internet dalam menstimulus partisipasi politik masyarakat luas sudah sampai pada titik dimana partisipasi politik tersebut terus meningkat secara statistik dan internet dianggap sebagai ‘a new media’ dalam kajian media dan teknologi komunikasi (Price, 2010) misalnya, hingga ‘a new tool of democracy’ dalam kajian politik (Danning, 2001) atau ‘a new public sphere’ dalam kajian filsafat dan sosiologi (Gimmler, 2001).
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana dengan kadar pencapaian dari demokrasi itu sendiri? Apakah partisipasi politik melalui media internet dimana rakyat menyalurkan aspirasi mereka bekerja efektif dalam membangun suatu peradaban masyarakat yang demokratis?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perkenankanlah saya mengurai argumentasi.
Internet: Ruang Aspirasi dan Akomodasi
Dalam fenomena global, misalnya, pasca kontroversi wikleaks sebagai penutup tahun 2010, partisipasi politik global yang dianggap melibatkan banyak kalangan mencapai titik dimana demokrasi kembali menunjukkan taringnya dalam kasus organisasi whistleblower tersebut. Namun seberapa besar bentuk partisipasi politik global akhirnya dapat memberi iklim baru terhadap tatanan politik dunia terpatahkan, karena para aktor-aktor politik (dari negara-negara terlibat) tidak melihat bentuk partisipasi melibatkan teknologi hacking computer tersebut sebagai aspirasi rakyat yang harusnya diakomodasi (mempertimbangkan apa yang menjadi keinginan komunitas global tentang suatu pemerintahan yang transparan, kebebasan informasi dan internet, serta terbentuknya suatu masyarakat yang terbuka atau ‘open society’) melainkan lebih kepada menjadikannya sebagai alasan untuk menegok kembali undang-undang cyber.
Dalam kasus Indonesia, salah satu contoh, baru-baru ini terjadi aksi-aksi defacement web go.id dimana para pelaku meninggalkan pesan-pesan yang sebenarnya tidak lain adalah aspirasi mereka, yang sayangnya persoalan tersebut kemudian hanya melulu dikaitkan dengan cyber criminal. Sementara itu setiap element yang terlibat didalamnya kelihatannya lupa bahwa aksi-aksi hacking-politik juga berangkat dari motiv si pelaku yang mencari ruang-ruang publik sensitif untuk menyampaikan aspirasi mereka agar didengar.
Satu point penting yang saya garis bawahi dari kasus-kasus diatas, bahwa internet hari ini berfungsi aktif dalam menstimulus partisipasi politik masyarakat untuk menyampaikan aspirasi-aspirasi mereka, namun belum dimaksimalkan fungsinya dalam mengakomodasi aspirasi-aspirasi tersebut untuk kemudian terealisasikan kedepannya.
Kegagalan Demokrasi Representasi
Pertimbangan lain adalah demokrasi representasi yang ‘gagal’ di tanah air dimana rakyat sudah kehilangan kepercayaan pada wakil-wakil mereka di lembaga legislatif yang seharusnya berfungsi menyuarakan aspirasi konstituen justru lebih efektif sebagai wakil-wakil golongan yang memiliki kepentingan-kepentingan diluar kebutuhan rakyat, melainkan kebutuhan kendaraan politik mereka (baca: partai politik).
Karenanya budaya politik Indonesia yang semakin mencuat ke permukaan adalah rakyat ‘frustasi’ karena aspirasinya tidak didengar atau terakomodir, bahwa partai politik hanya memperjuangkan apa yang menjadi kepentingan golongan. Meningkatnya ketidakpercayaan rakyat terhadap peran-peran intitusi-institusi politik (DPR dan Parpol) dalam menyalurkan aspirasi harus dieliminir dengan lebih aktif memanfaatkan ruang-ruang publik semacam internet menjadi ‘alat pertimbangan politik’ untuk mewujudkan demokrasi.
Deliberative Democracy dan Internet
Saya kemudian mencoba mengidentifikasi, secara garis besar tidak terdapatnya satu proses pertimbangan publik yang mempertemukan antara internet user dengan pihak berkepentingan (pemerintah) dalam membahas satu isu lewat media internet.
Konsepsi deliberative democracy dalam pandangan saya sesungguhnya dapat menambal-sulam kegagalan-kegagalan dari representative democracy. Karenanya internet yang hari ini menjadi fasilitas penting dalam menyuburkan ide-ide, diskursus, hingga praktek demokrasi haruslah dimanfaatkan sebagai alat pertimbangan publik.
Pertimbangan publik dalam arti suatu ruang dimana internet users (rakyat) bertemu dalam satu media online dengan pihak-pihak terlibat katakanlah pemerintah untuk mendiskusikan satu isu, menyampaikan aspirasi lalu menemukan konsensus antara kedua belah pihak, untuk kemudian dapat terakomodasi demi menghasilkan output berarti. Hal ini lah yang kemudian dipahami sebagai demokrasi deliberatif via internet.
Dalam prakteknya demokrasi pertimbangan melalui media internet dapat dideskripsikan melalui tiga peran internet dalam mewujudkan satu ruang publik yang dapat mempertemukan antara rakyat dengan pemerintah. Pertama, internet sebagai ‘a transformer’, melalui internet para user (pemerintah dan rakyat) mentransformasikan ide-ide mereka secara bebas mengacu kepada prinsip-prinsip demokrasi: kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, kebebasan berafiliasi. Dengan demikian internet menjadi ‘alat’ memindahkan ide dari individu ke ruang publik. Kedua, internet sebagai ‘a container’, melalui internet ‘ide’ atau ‘isu’ dikonsensuskan, demi menemukan satu kesepakatan antara pemerintah dan rakyat, karenanya internet berfungsi sebagai wadah untuk penggodokan isu (opini, ide, saran, kritik, dll). Ketiga, internet sebagai ‘a producer’, melalui internet, keputusan-keputusan yang mempertimbangkan komunikasi dan diskusi antara Pemerintah dan Rakyat diharapkan menghasilkan satu ‘kesepakatan’ (agreement) yang nantinya akan menjadi salah satu referensi pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan (decision making).
Dengan demikian mengambil pelajaran dari sukses Minnesota E-Democracy misalnya, untuk kasus Indonesia deliberative democracy nantinya dapat bekerja tidak hanya sebatas mewadahi partisipasi politik user melainkan juga untuk menghasilkan suatu output demi mempengaruhi proses pembuatan kebijakan (decision making) yang idealnya dapat melibatkan rakyat secara langsung tanpa mengindahkan peran representasi politik para wakil rakyat itu sendiri.
Oleh karena itu internet di masa depan dapat menjawab persoalan ‘krisis kepercayaan politik’ dengan lebih meningkatkan peran sebagai media ‘alat pertimbangan’ antara rakyat dengan pemerintah.
*) Penulis adalah lulusan Fakultas Hubungan Internasional Unviestas Nasional. Sekarang meneruskan studi di Univeristas Medeterania, Turki. Tepatnya Eastrn Mediteranean University.