“Intervensi Kemanusiaan”, Doktrin “Daerah Utama”, dan Strategi Global AS (Bagian 2)

Bagikan artikel ini

National Security Council Memorandum (NSC) 68 Pada 1950

Pada era Pasca Perang Dunia II, Strategi Global AS semakin terarah dan terencana pada 1950 di bawah pemerintahan Dwight Eisenhower. Melalui National Security Council (NSC) Memorandum 68, Menteri Luar Negeri Dean Acheson dan Paul Nitze yang belakangan terkenal reputasinya sebagai diplomat kawakan dan juru runding dalam bidang senjata nuklir, mengembangkan strategi yang disebut “roll-back strategy” yang pada intinya mendorong pengembangan benih-benih kehancuran sistem Uni Soviet, negara yang muncul sebagai negara adikuasa tandingan AS pada Pasca Perang Dunia II.

Melalui strategi ini, diarahkan agar AS nantinya mampu memaksa Uni Soviet menegosiasikan penyelesaian konflik berdasarkan syarat-syarat tertentu dengan Uni Soviet.

(Baca: Noam Chomsky, How the World Works, Empat Karya Klasik seri “Real Story dalam satu jilid. Yogyakarta: Penerbit Bentang, 2014.)

Salah satu segi paling penting yang kiranya perlu dicermati dari kebijakan-kebijakan yang direkomendasikan oleh NSC 68 yang nampaknya tetap jadi pedoman kebijakan luar negeri Gedung Putih hingga sekarang: Mensyaratkan pengeluaran anggaran militer yang sangat besar seraya mewajibkan pemotongan dan pemangkasan alokasi anggaran untuk kesejahteraan sosial.

Satu lagi aspek yang nampaknya menjadi karakteristik kebijakan luar negeri AS berdasarkan skema NSC 68 ini adalah semakin dikembangkannya jaringan intelijen sebagai bagian integral dari aliansi AS dengan para eks NAZI Jerman seperti terlihat melalui dukungan Washington terhadap terbentuknya “tentara rahasia”  yang melibatkan eks agen-agen fasisme Jerman Hitler yang pada waktu itu masih beroperasi di kawasan Eropa Timur hingga 1950-an.

Policy Planning Study 23 (1948)

Sebelum era kepemimpinan Presiden Eisenhower, pada masa pemerintahan Presiden Harry S. Truman pada 1948, George .F. Kennan, Kepala Staf Perencanaan Departemen Luar Negeri hingga 1950, juga pernah memainkan peran penting dalam proses pembentukan Tatanan Dunia Baru Pasca Perang Dunia II. Maka terbitlah yang kala itu masih merupakan dokumen rahasia yang nantinya terkenal dengan sebutan Policy Planning Study (PPS) 23 pada 1948.

Kalau kita cermati satu diantara pemikiran Kennan melalui skema PPS 23 tersebut, Nampak jelas kemunafikan Amerika yang tergambar lewat arah kebijakan luar negerinya. Misalnya Kennan menulis:

Kita menguasai sekitar 50 persen kekayaan dunia, tetapi hanya 6,3 persen dari total populasi… Dalam situasi seperti ini, tidak bisa tidak, kita menjadi obyek dari rasa cemburu dan benci. Tugas nyata kita pada periode mendatang adalah untuk merencanakan pola-pola hubungan yang akan memperkenankan kita mempertahankan disparatas kita.”

Nah apa yang persisnya yang dimaksud dengan mempertahankan disparatis itu? Lebih lanjut Kennan menegaskan:

….Perhatian kita harus dipusatkan sepenuhnya pada sasaran-sasaran nasional yang mendesak….Kita harus berhenti bicara tentang hal-hal yang kabur dan tujuan-tujuan samar seperti hak-hak asasi manusia, peningkatan standar hidup masyarakat, dan demokratisasi.”

Di sinilah skema PPS 23 menjadi jelas motifnya sedari awal. Apabila menentang skema ini seperti penegakan hak-hak asasi manusia, peningkatan standar hidup masyarakat dan demokratisasi yang diperjuangkan berbagai elemen-elemen masyarakat, maka mereka ini akan dicap sebagai kelompok komunis. Apapun pandangan politik para aktivis pembela gagasan demokrasi, hak-hak asasi manusia maupun keadilan sosial tersebut. Mengingat fakta bahwa pada saat itu PPS 23 masih berupa dokumen rahasia, maka memorandum Kennan tersebut bisa diartikan menyuarakan alam pemikiran dan agenda strategis para perancang kebijakan luar negeri dan tatanan baru dunia pasca Perang Dunia II.

George F. Kennan

Bahwa untuk mewujudkan AS sebagai negara adikuasa satu-satunya tanpa tandingan di dunia, maka Washington tidak segan-segan menekan dan melumpuhkan kekuatan-kekuatan politik antifasis yang dipandang menghalangi skema PPS 23 maupun skema NSC 68.

Sebaliknya, yang dipandang mendukung skema NSC 68 maupun PPS 23, Gedung Putih justru memberikan dukungan penuh. Seperti misalnya:

  1. Merestorasi tatanan sayap kanan sebagai kekuatan bisnis dominan (korporasi) baik di Amerika sebagai negara induk kapitalisme korporat, maupun di negara-negara yang menjadi sasaran kepentingan strategis AS utamanya di bidang energi dan minyak.
  2. Kekuatan-kekuatan di sektor perburuhan dan tenaga kerja dilumpuhkan atau dilemahkan.
  3. Membebankan biaya rekonstruksi masyarakat industri pasca Perang Dunia II pada Pundak kelas pekerja dan rakyat miskin, seperti terlihat melalui skema Marshal Plan.

Maka ketika muncul pemimpin-pemimpin baru pemerintahan hasil pemilu demokratis di beberapa negara berkembang namun dipandang tidak sejalan dengan skema kepentingan Washington sesuai skema NSC 68 atau PPS 23, maka Washington akan melancarkan operasi-operasi intelijen menggagalkan hasil pemilu atau kalapun akhirnya berhasil memegang kekuasaan, lalu dilancarkan operasi intelijen membantu kelompok-kelompok militer atau sipil untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.

Bebebrapa pemerintahan berdasarkan kabinet parlementer di pelbagai belahan dunia berhasil digulingkan dengan dukungan terang-terangan maupun tersembunyi seperti di Iran pada 1953, Guatemala pada 1954, di Brazil pada 1964, dan di Chile pada 1973.

Handout picture released by the Guatemalan Human Rights Commission (COPREDEH) showing when former president Jacobo Arbenz (2-R) receives the presidential sash on March 15, 1951

 (Baca Hendrajit Dkk, Tangan-Tangan Amerika, Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia. Jakarta: Global Future Institute Publishing, 2010).  

Berdasarkan skema kapitalisme global AS tersebut, selama demokrasi formal tidak membahayakan tujuan-tujuan strategis Washington mengamankan perusahaan-perusahaan raksasa asing (Multi-National Corporation dan Trans-National Corporation, MNC dan TNC), maka tidak ada masalah. Namun jika tidak, seperti tulis Noam Chomsky dalam karyanya yang terangkuk dalam How the World Works, ancaman pada stabilitas kepentingan para kapitalis korporat tersebut harus dihancurkan sebelum virus menginfeksi negara-negara lain atau kawasan-kawasan lain, yang jadi sasaran sphere of influence Amerika dan sekutu-sekutu strategisnya yang tergabung dalam NATO.

Maka itu nampak terlihat jelas ketika AS menerapkan kebijakan luar negeri yang kerap tidak sesuai antara jargon kampanyenya yang pro demokrasi dan hak-hak asasi manusia, namun pada kenyataannya untuk mempertahankan kepentingan strategis ekonominya di beberapa negara-negara sedang berkembang, malah mendukung rejim-rejim militer seperti di Guatemala 1954, Brazil pada 1964 dan Chile pada 1973. Bahkan di Italia berdasarkan arahan NSC I, pemerintah Amerika melancarkan intervensi militer mendukung operasi bawah tanah di Italia, untuk mencegah kemenangan partai komunis Italia pada pemilu. Dengan kata lain, atas arahan dari NSCI I (1948) yang juga disusun George Kennan, pemerintah AS dibenarkan untuk melakukan aksi-aksi subversi yang bersifat klendestin.

Contoh paling dramatis dari hal ini adalah persis seperti yang gambaran yang dipaparkan oleh William Blum, salah seorang pakar non-arus utama Amerika. Yaitu keberpihakan AS secar terang-terangan pada kelompok militer neofasisme Yunani untuk melawan kaum kiri Yunani. Padahal hanya selang beberapa tahun sebelumnya, tentara AS bahu-membahu dengan kelompok-kelompok kiri anti-fasisme melawan aksi militer Nazi Jerman Hitler pada Perang Dunia II.

(Baca: William Blum, America’s Deadliest Export Democracy, The Truth About US Foreign Policy and Everything Else. London: Zed Books Ltd, 2013.)

Alhasil, dengan mengikuti alur berpikir William Blum, ketika AS dan negara-negara Eropa Barat yang tergabung dalam  NATO mencanangkan Perang Dingin dengan dalih membendung ancaman dari Uni Soviet dan komunisme, sejatinya Perang Dingin merupakan benturan kepentingan negara-negara adikuasa dengan negara-negara sedang berkembang atau Dunia Ketiga. Sebab perjuangan negara-negara sedang berkembang/developing countries untuk menciptakan tatanan ekonomi yang berkeadilian sosial, tidak sejalan dengan skema kapitalisme korporasi global AS dan blok Barat.

Maka negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia, ketika berupaya melawan skema kapitalisme global dengan mengendepankan sosialisme dan keadilan sosial sebagai strategi alternatif, oleh AS dan sekutu-sekutu strategisnya yang tergabung dalam NATO  dipandang  sebagai Pro Komunis.

Ketika akhirnya komunisme kolaps seturut runtuhnya tembok Berlin pada 1989 dan bubarnya Uni Soviet pada 1991, AS dan blok Barat tidak bisa lagi menggunakan ancaman dan bahaya laten komunisme sebagai tema.

Namun demikian Washington tetap saja memandang Rusia dan Cina sebagai musuh utama seperti terumuskan dalam Project New American Century (PNAC) saat Presiden George W. Bush berkuasa di Gedung Putih, begitu pula saat Donald Trump menjabat presiden juga menetapkan Cina dan Rusia sebagai musuh utama melalui Dokumen The National Security Strategy dan The Defence National Strategy yang dirilis pada 2017 lalu.

Berarti, masalah pokok bukan ancaman komunisme, namun adanya gagasan atau skema yang berseberangan dengan kebijakan Washington sebagaimana arahan dan pedoman yang ditetapkan NSC 68 (1950) atau PPS 23 (1948). Meski kedua memorandum yang disusun Dean Acheson dan George Kennan tersebut saat ini sudah mengalami modifikasi sesuai perkembangan dan perubahan zaman, namun masih tetap memberi arah dan pedoman pada para perencana kebijakan luar negeri dan keamanan nasional AS. Bahwa AS sejak berakhirnya Perang Dunia II, telah muncul sebagai kekuatan adikuasa baru menggantikan Kerajaan Inggris yang tidak boleh tertandingi, dan mengarahkan semua bentuk kerjasama internasional dengan negara-negara lain berbasis Unipolar alias pengkutuban tunggal.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com