Cerpen Kecil Geopolitik
Dinamika politik jelang Pemilu 2024, atmosfernya berbeda dibanding pemilu-pemilu sebelumnya. Ini penuh fenomena. Kenapa? Sebab, desa dijadikan ‘titik tabrak’ (key points) berbagai elemen politik. Entah kenapa. Seyogianya desa merupakan cermin nilai-nilai warisan leluhur: “Gotong Royong”. Maka ada peribahasa ‘desa mawa cara, negara mawa tata‘, kelompok masyarakat terkecil memiliki adat tersendiri, sedang negara mempunyai hukum sendiri.
Secara hakiki, jabatan lurah dan/atau Kepala Desa (Kades) adalah pengabdian, bukan jabatan politis. ‘Politik desa’ adanya di musyawarah (desa). Tetapi, semenjak lahir UU No tahun 2014 tentang Desa, jabatan Kades mulai ngetop, apalagi ketika model pemilihannya secara langsung (pilsung). One man one vote. Gilirannya, sistem musyawarah untuk mufakat —nilai warisan leluhur— terabaikan. Hak suara lebih mengemuka ketimbang hak bicara. Musyawarah sebagai lembaga tertinggi dalam desa menjadi tersingkir. Betapa tidak, dalam one man one vote, suara tokoh masyarakat/agama setara dengan suara pemilih pemula, bahkan suara profesor pun disamakan dengan (suara) provokator.
Asumsinya ialah, bila ingin merusak dan melemahkan sebuah negara, mulailah dari yang terbawah dan tertinggi. Terbawah itu desa, tertinggi adalah MPR, misalnya, atau Presiden dalam struktur pemerintah.
Ketika kemarin ada unjuk rasa para Kades di DPR RI (17/1), kemudian unjuk rasa lagi para perangkat desa, dan hari Senin (20/2), ada aksi yang sama oleh anggota DPRD Kabupaten se-Indonesia. Entah aspirasi apalagi mau disuarakan. Sekali lagi, asumsi saya, inti tujuannya tak lain untuk ‘merusak’ desa dengan cara menyelipkan kepentingan politik praktis pada dinamika warga. Lantas, langkah awal ialah menjadikan desa seperti “lato-lato”. Diayun-ayun, diputar, kemudian dibentur-benturkan.
Dari perspektif piramida politik dan kekuasaan, sekali lagi — jika hendak melemahkan negara dari sisi internal mulailah dari desa; lebih jauh lagi lewat institusi keluarga; dan lebih dalam lagi hilangkan peran ibu dalam keluarga. Tetapi, cerita pendek (cerpen) geopolitik ini tidak membahas sampai ke institusi keluarga dan ibu. Lain kali dibahas. Cukup hingga desa saja, struktur paling bawah dalam pemerintahan.
Negara tergantung provinsi, provinsi tergantung kota dan kabupaten (kokab), kokab tergantung kecamatan, dan kecamatan tergantung desa. Ini asumsi dasar.
Sebaliknya, untuk melemahkan negara —masih dari sisi internal— awali dari ‘pucuk’ atau puncaknya, contoh, hapus status MPR selaku lembaga tertinggi misalnya, atau lumpuhkan peran Presiden selaku Kepala Pemerintahan/Negara. Angkat person yang kurang mumpuni. Bungkus dengan aneka pencitraan dan propaganda guna merebut hati rakyat. Ya. Tebarkan kebohongan berulang-ulang ke publik, maka kebohongan akan dianggap kebenaran, kata Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Jerman di era Hitler dulu.
Di Ukraina contohnya, dipilih artis/pelawak sebagai Presiden. Akibatnya apa? Ukraina kini hancur lebur (diserbu Rusia) karena salah langkah serta kebijakannya mengikuti hasrat ‘si dalang’, dalam hal ini Barat cq NATO, Inggris dan Amerika. Apapun alasan dan kronologis atas konflik Ukraina, begitulah poin narasinya.
Kembali ke tanah air. Terkait lemahnya negara akibat tidak ada ‘pucuk piramida’. Ya. MPR kini hanya lembaga tinggi selevel MK, DPR, BPK, DPA dan lain-lain. Ketika konstitusi harus fleksibel serta berubah mengikuti perkembangan lingkungan strategis, kini cenderung macet. Deadlock. Kenapa? Karena kewenangan mengubah konstitusi/UUD hanya ada di MPR —lembaga tertinggi— sedangkan ia (MPR) sudah menjadi lembaga tinggi, dimana Ketetapannya (TAP MPR) tidak lagi bisa mengatur (regeling), namun cuma TAP serimonial alias administratif.
Dengan demikian, peristiwa amandemen UUD 1945 pada tahun 1999 – 2002, terutama amandemen ke-3 tahun 2001 yang men-downgrade MPR menjadi lembaga tinggi, sejatinya ialah serangan asimetris asing yang langsung menukik di ‘jantung’ negara. Jleb! Namun sungguh aneh bin ajaib, sebagian anak bangsa ini justru bertepuk tangan. Mendukungnya. Ini fenomena stockholm syndrome di dunia politik. Jatuh cinta kepada kaum penjajah.
Ya. Modus asing dulu, awalnya melepas (isu) ‘kambing hitam’ Orde Baru yang represif, tidak demokratis lagi sarat KKN. Maka, di tengah euphoria awal reformasi, segala sesuatu berbau Orde Baru harus diganti, kalau perlu dihancurkan. Padahal, Orde Baru sendiri pun —kala itu— juga belum mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Ya, hakiki cerpen geopolitik ini, bahwa Indonesia diibaratkan keluar dari mulut buaya (Orde Baru), kini masuk ke mulut singa (Orde Reformasi). Entah sampai kapan.
Jkt, 01 Feb 2023
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments