Investasi Cina, Salami Slicing?

Bagikan artikel ini

Demi tanah air, benar-tidaknya perangkap dalam investasi asal Cina, tetap perlu dicermati. Sikap skeptis, tidak mudah percaya atau terbawa begitu saja, tentulah lebih tepat. Istilah salami slicing adalah istilah masa Perang Dingin yang dipopulerkan lagi oleh S.K.Chatterji dalam Asia Times (2018). Kolumnis yang mantan jendral AD India itu mengibaratkan pinjaman masif yang digelontorkan negeri Cina untuk pembangunan infrastruktur di berbagai negara, seperti proses pemotongan daging yang tipis-tipis (salami slicing), sehingga tidak ‘terasa’ perlu dipersoalkan apalagi membangkitkan penolakan negara penerima.

Pola investasi dan pinjaman asal Cina memang tidak biasa. Pengamat dan peneliti di berbagai negara meributkannya. Di antara yg dikeluhkan orang, sering juga kita dengar di Indonesia. Antara lain disebutkan bahwa proyek-proyek infrastruktur dan pembiayaan asal Cina kurang mengikut sertakan pekerja lokal, banyak menggunakan tenaga kerja asal Cina. Pinjaman yang diberikan Cina, dipandang tidak transparan, baik mengenai jumlah yang sesungguhnya, maupun klausula tentang jaminan atau bila terjadi kasus gagal-bayar. Yang menarik dan agak aneh, menurut hasil penelitian, faktor governance yang lemah atau bermasalah bukan persoalan, karena investasi dan pinjaman asal Cina justru lebih tinggi di negara yang lemah aspek governancenya.(Chen et.all, World Bank Economic Review, 2018)

Belum tuntas keluhan orang tentang pola pembiayaan dan investasi Cina, bermunculan kasus gagal-bayar di sejumlah negara peminjam. Perdebatan orang di dunia merebak cepat, setelah Brahma Chellaney, seorang ahli geostrategi yang juga penulis India yang bereputasi, di awal 2017 menggunakan istilah debt-trap diplomacy sebagai kritik pada praktek pembiayaan investasi Cina. Perjanjian bilateral pinjaman dengan Cina disebutnya bersifat menjebak, disediakan dalam jumlah berlebihan sehingga negara peminjam — yang mayoritas negara berkembang itu— dapat kesulitan membayar. Dalam keadaan sulit itulah, negara yang berutang ditekan untuk mendukung kepentingan geostrategis Cina (Chellaney, 2017; Garnaut et.al, 2018).

Di luar negeri, berlangsung pro-cons antar berbagai lembaga penelitian, media, serta dalam jurnal-jurnal ilmiah. Ada yang menggunakan data 100 kontrak pinjaman Cina dengan 24 negara berpendapatan rendah dan menengah (lembaga penelitian AidData, di College of William & Mary, Virgina, AS). Ada pula yang menggunakan jumlah data dan rentang waktu yang lebih panjang, seperti yang dilaporkan dalam Harvard Business Review.org (2020), Tetapi, ada juga lembaga penelitian lain berbeda pendapat, antara lain the Center for Global Development (Princeton University), the Rhodium group, atau the China Africa Research Initiative (CARI), John Hopkins University. Jadi, bukan hanya di Indonesia orang mempersoalkan. Perlu obyektif dan tidak tenggelam pada perdebatan.

Pinjaman asal Cina yang diributkan di atas merupakan komponen pokok dari visi dan strategi global RRC. Presiden Xi Jinping menyampaikan visi dan strategi globalnya itu di dua negara, salah satunya di Indonesia, ketika berpidato tentang the 21st Century Maritime Silk Road di hadapan DPR RI (Oktober 2013). Grand strategy Cina yang dicanangkan oleh Presiden Xi Jinping itu kini lebih dikenal dengan sebutan the Belt Road Initiative, BRI. Sebelum berganti nama di tahun 2018, masih menggunakan nama yang lebih high profile, the One Belt One Road, OBOR. BRI dimaksudkan untuk memperkuat integrasi regional antar negara peserta BRI guna mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan fasilitas paket pembiayaan pembangunan infrastruktur di dalamnya. Posisi Indonesia mungkin memang sentral dalam pandangan Xi Jinping untuk mewujudkan visinya, sehingga mencanangkannya ketika berkunjung ke Indonesia.

Di tengah kritik, Pemerintah Cina memang sukses dengan sosialisasi BRI-nya, Sudah 140 negara di dunia menjadi peserta BRI, meski tidak semua ikut skema pinjaman BRI. Total pinjaman asal Cina ke negara-negara di dunia mencapai $1,5 triliun. Cina menjadi negara pemberi pinjaman terbesar, melampaui posisi Bank Dunia, IMF atau negara kreditur kelompok OECD. Sebenarnya kemampuan investasi Cina itu tidak lepas dari suksesnya Cina menuntaskan reformasinya hingga berintegrasi dalam WTO. Investasi asing langsung (inflow FDI) yang masuk ke Cina meningkat pesat dan mencapai $135 milyar, tetapi investasi asing langsung yang berasal dari Cina lebih besar lagi, $145 milyar, untuk pertama kalinya melampaui yang masuk pada tahun 2015. Kini, dengan melesunya perekonomian dalam negeri Cina, sejak 2017 menurun berjumlah $133 milyar (2020).

Dengan cadangan devisa yang kuat, akibat tingginya investasi yg masuk ke negerinya, Cina menjadi lebih berdaya untuk mengamankan berbagai kepentingan nasionalnya, termasuk pasokan energi. Masalahnya, kepentingan Cina itu mulai membawa dampak negatif pada bangsa lain. Di antara yang dibicarakan orang adalah kasus gagal bayarnya Sri Lanka dalam kontrak pembangunan Pelabuhan Hambantota, yang kemudian memberikan Cina hak sewa atasnya selama 99 tahun. Atau kasus yang dialami Pakistan, sehingga terpaksa memberikan hak ekslusif kepada Cina mengelola pelabuhan Gwadar selama 40 tahun, bebas pajak dan berhak atas 90 persen dari penerimaan pelabuhan. Begitu juga dengan kasus Laos yang mesti melepas kontrol atas jaringan listrik nasionalnya kepada BUMN Cina, serta kasus lainnya di negara Tonga dan lain sebagainya.

Hal lain yang perlu dicermati adalah perjanjian bilateral dan kehadiran militer Cina dalam rangka BRI. Sejumlah analis percaya bahwa perjanjian kerja sama investasi BRI dapat memuluskan keterlibatan militer Cina. Sebuah riset atas proyek-proyek BRI di Afrika menyimpulkan demikian (Natalie H, Washington Post, April 2021). Di antara yang diteliti adalah yang berlangsung di Djibouti, Afrika Timur, di sana Cina membuka pangkalan militer (2017), guna memfasilitasi keperluan logistik Cina dalam menyelenggarakan operasi anti bajak laut di kawasan Tanduk Afrika. Cina juga bersama sejumlah negara Afrika terlibat dalam kerjasama intelijen, alih teknologi militer dan pelatihan kepolisian. Selain itu, dalam China-Africa Cooperation Plan (2019-2022), BRI diperdalam hingga kerjasama keamanan, termasuk pelatihan militer, kerjasama intelijen dan tindakan anti-terorisme.

Sebetulnya, terbuka peluang untuk berpartisipasi dalam BRI tanpa mesti melanjut ke dalam kerjasama keamanan. Itu banyak ditempuh negara-negara maju dan demokratis yang ikut dalam BRI. Tetapi, mungkin proses salami slicing itu telah terus berlangsung di sejumlah negara berkembang peserta BRI, hingga eskalasi komitmen membuat ruang gerak pengambilan keputusannya semakin sempit ketika mesti diambil. Bagaimana dengan kita di Indonesia?

Tidak perlu khawatir? Mungkin ada yang tetap yakin bahwa utang Luar Negeri (LN) Indonesia belum gawat. Total utang LN Indonesia per Februari 2021 (termasuk utang swasta dan BUMN) yang berjumlah $422 milyar, atau sekitar 38 persen terhadap PDB, dipandang masih lebih bagus dibanding Jepang, Italia ataupun AS (ketiganya lebih dari 100 persen terhadap PDB), atau belum setinggi negara-negara ASEAN terdekat, Malaysia, Thailand atau Filipina (semuanya di atas 50 persen dari PDB). Adapun utang Indonesia pada Cina kini berjumlah $20,8 milyar (2021), masih jauh di bawah PDB Indonesia (kurang dari 2 persen), bisa saja dipandang tidak segawat negara-negara debitur Cina yang utangnya pada Cina lebih dari 20 persen terhadap PDBnya. Bahkan, masih lebih kecil dibanding utang Indonesia pada Singapura, $67,6 milyar (sekitar 3 kali pinjaman asal Cina).

Cara berpikir gaya makro ekonomi seperti di atas tidak membumi. Indikator utang terhadap PDB yang masih aman tidak menghilangkan kemungkinan lepasnya aset strategis ke tangan kreditur pemberi pinjaman. Dalam istilah teknis perjanjian pinjaman, klausula tentang covenant positive dan negative serta conditions precedence-nya, lebih menentukan dibanding indikator rasio utang LN terhadap PDB. Selain itu, perlu dicermati bahwa mungkin saja pinjaman dari Singapura kepada Indonesia itu juga sesungguhnya berasal dari Cina. Singapura adalah investor investasi langsung terbesar, di samping pemberi pinjaman terbesar kepada Indonesia Di lain pihak, dapat ditelusuri bahwa aliran investasi Cina terbesar adalah ke Asia, khususnya Hongkong dan Singapura. Hidden debt suatu negara kepada Cina, berimplikasi hidden risk, seperti yang diingatkan dalam laporan dari Harvard (Horn et.al, 2020).

Terpulang pada kita, pada masing-masing bangsa. Apakah baru akan bersikap, setelah menunggu ketuntasan perdebatan tentang salami slicing dalam investasi Cina? Menunggu hingga pelabuhan, jaringan transmisi listrik PLN, atau infrastruktur strategis yang dibangun dalam skema BRI ada yang beralih- tangan ke BUMN atau swasta asal Cina? Atau, lebih bagus cermat dan waspada, serta mengkoreksi langkah-langkah seperti yang dialkukan PM Mahatir di Malaysia terkait BRI? Untuk menjawabnya, data perjanjian pinjaman business-to-business (b-to-b) Indonesia dalam BRI dengan Cina perlu ditelaah. Perlu ada kajian strategis dari berbagai segi tentang keikutsertaan Indonesia dalam BRI. Di mana concern semacam ini dibicarakan, di DPR, di Sidang Kabinet terbatas?

Darwin Zahedy Saleh – Ekonom yang pernah menjabat sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia 2009-2011

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com