Islam: Terorisme atau Cinta?

Bagikan artikel ini

Dina Y Sulaeman, magister Hubungan Internasional Unpad, research associate di Global Future Institute (GFI)

Upaya mengaitkan pengeboman di Boston dengan kata ‘jihad’ semakin terlihat. Meski mengakui bahwa penyelidikan masih berlangsung, Foreign Policy 22 April merilis artikel berjudul ‘Boston’s Jihadist Past’(Masa Lalu Pejuang Jihad Boston). Inilah proses stigmatisasi dan stereotyping media Barat terhadap kata ‘jihad’. Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah esensi Islam adalah cinta? Lalu mengapa kini Islam justru seolah identik dengan kekerasan?

Dalam diskusi bertajuk Islam: Risalah Cinta Semesta yang digelar Masjid Salman dan Penerbit Mizan, 19 April 2013, dua pembicara, Yasraf Amir Piliang (YAP) dan Haidar Bagir (HB), berusaha memberikan jawaban atas pertanyaan ini melalui perspektif masing-masing.

YAP menguraikan bahwa ada tiga bagian dalam  masalah ini: akar kekerasan, realitas kekerasan, dan citra kekerasan.

1. Realitas kekerasan, yaitu: berbagai aksi terorisme yang dilakukan muslim (misalnya, Al Qaida), atau kekerasan yang dilakukan kelompok-kelompok Islam terhadap umat agama lain, atau terhadap mazhab/aliran yang dianggap sesat.

2. Citra kekerasan. Citra adalah sesuatu yang artifisial, dikonstruksi, dan bahkan disimulasi dengan tujuan untuk menciptakan citra tertentu. Hal ini terkait dengan politik media global. Mereka melakukan ideologisasi Islam; mereka menyebarkan opini bahwa Islam adalah agama yang berideologi kekerasan. Media global adalah ruang perang ‘simbol’ antarkepentingan untuk menguasai opini publik. Artinya, opini publik dibangun melalui perang informasi di ruang publik. Media memiliki dua pilihan: de-re (menyampaikan sesuai realitas) atau de-dicto (menyampaikan sesuai kepentingan sekelompok tertentu). Media Barat telah melakukan de-dicto, membangun opini publik tentang Islam sebagai agama kekerasan.

Proses yang dilakukan media Barat untuk membangun opini publik tentang Islam:

  • Simulasi:  menciptakan model-model realitas yang seakan tampak nyata, seakan-akan realitas, padahal rekayasa. Tragedi Boston misalnya, di jejaring sosial telah banyak tersebar berbagai foto kejanggalan dalam peristiwa itu, antara lain kehadiran tentara bayaran (private military forces) di lokasi. Para tentara itu berasal perusahaan bernama Craft yang di logonya tertera ‘Violence does solve problem’ [kekerasan pasti menyelesaikan masalah]. Meskipun memang ada kemungkinan segelintir ‘jihadist’ yang terlibat tapi ada indikasi kuat keterlibatan orang ‘dalam’ AS sendiri.
  • Stigmatisasi: mendiskreditkan (setiap ada kekerasan, dimunculkan foto-foto orang Arab secara sistematik sehingga Arab identik dengan kekerasan). Dalam tragedi Boston, stigmatisasi menimpa muslim Chechnya.
  • Naturalisasi: proses pewajaran, melalui kartun atau film, sehingga terasa ‘wajar’ jika pelaku terorisme adalah muslim/Arab.
  • Stereotyping: ketika disebut ‘Islam’, yang terbayang adalah teroris, Saddam Husein, irrasionalitas, atau fanatisme.
  • Dan akhirnya, muncullah: Islamophobia.

3. Akar kekerasan

Ada banyak analisis soal mengapa ada kelompok-kelompok muslim yang melakukan terorisme. YAP membahas tentang pergeseran pemaknaan Islam di tengah masyarakat. Islam kini telah menjadi gaya hidup. Apa itu gaya hidup? Yaitu, sikap memperhatikan atau menunjukkan tampak luar; merayakan penampilan luar, tapi melupakan nilai-nilai dan spiritualitas. Dalam gaya hidup, eksistensi manusia diperlihatkan oleh benda-benda yang dimiliki. Ketika Islam menjadi gaya hidup, maka kesalehan akan muncul dari cara berjilbab, baju koko merek apa, atau ‘ngaji dimana’. Tak heran, kini ada ustadz atau ustadzah yang menjadi trendsetter model baju.

Gaya hidup ditegakkan atas dasar ketidakpuasan abadi. Misalnya, jilbab terbaru (mahal dan bermerek) sudah dibeli, ada kepuasan. Namun sekejap kemudian, kepuasan itu akan hilang karena akan muncul lagi jilbab model lain yang terlihat lebih cantik. Substitusilah jilbab dengan tas, mobil, gadget, atau hal-hal lain yang dikejar oleh gaya hidup. Intinya, tidak ada kepuasan akhir, selalu dikejar oleh keinginan membeli yang baru. Menurut YAP, ‘azan’-nya gaya hidup adalah iklan TV. Iklan TV mendorong manusia untuk ke mall, bagaikan azan yang (seharusnya) mendorong manusia untuk ke masjid.

Gaya hidup adalah antitesis cinta. Cinta adalah kebahagiaan dan keabadian; sedang gaya hidup menyeret pada ketidakpuasan abadi. Gaya hidup menimbulkan krisis makna. Ketika Islam sudah terlepas dari maknanya, maka tidak ada lagi yang disebut ‘dunia Islam’ ; karena dunia ada ketika ada makna. Krisis makna, atau krisis spiritualitas, telah melahirkan culture of zombie, manusia yang bergerak ke segala penjuru tetapi tidak memiliki kesadaran. Dalam situasi seperti ini, manusia akan kehilangan orientasi. Misalnya, kekerasan dianggap sebagai sesuatu yang benar dan harus dilakukan untuk menegakkan ‘kebenaran’ yang dipersepsinya sendiri.

Penjelasan lain diberikan oleh Haidar Bagir. Menurutnya, di era posmodernisme, terjadi paradoks. Di satu, sisi dunia menjadi desa global, dimana arus informasi beredar dengan sangat cepat dan nyaris tak terbendung. Namun di sisi lain, derasnya arus informasi ini membuat banyak orang menjadi galau danketakutan, sehingga mencari ‘tempat aman’. Agama adalah salah satu tempat aman itu. Manusia-manusia posmo mencari perlindungan kepada agama, namun karena mereka mendapati bahwa di dalam agama pun sangat banyak paham/aliran. Padahal, di tengah berbagai kegaduhan informasi itu,mereka menginginkan ketenangan dan kepastian. Itulah sebabnya mereka bersikap eksklusif, mengecilkan ‘Tuhan’ (Tuhan menjadi milik mereka saja), dan ‘memastikan’ kebenaran (kebenaran satu-satunya hanya milik mereka; di luar mereka semua adalah sesat, bahkan kafir).

Pilar yang membangun sikap seperti ini adalah kebencian kepada pihak lain yang mereka anggap sesat. Awalnya, mereka mengklaim diri melakukan dakwah secara damai. Namun, ketika ide-ide mereka tidak diterima, mereka pun memilih jalan kekerasan. Akibatnya, dari luar (hegemoni media Barat) citra Islam dirusak, sementara dari dalam pun memang ada orang-orang yang memberi ‘makanan’ kepada upaya perusakan citra Islam itu.

Lalu, apa argumennya bahwa Islam memang agama cinta?

HB mengutip tulisan Syekh Yusuf Makassari, yang merupakan rangkuman beberapa hadis Nabi, “Agama adalah ma’rifah (mengenali) Allah. Ma’rifah Allah adalah akhlak yang baik. Akhlak yang baik adalah silaturahim (membina hubungan berdasarkan kasih sayang). Dan silaturahim adalah memunculkan rasa bahagia ke dalam hati sesama.”

HB juga mengutip hadis Qudsi, bahwa satu-satunya ibadah untuk Allah adalah ‘memasukkan rasa bahagia ke dalam diri orang yang hancur hatinya’. Ibadah-ibadah lain, seperti sholat, zakat, puasa, pada hakikatnya adalah untuk diri manusia sendiri (manfaatnya). Allah pun dalam Quran surah Thaha:43-44 menyuruh Nabi Musa untuk mendatangi Firaun yang thagha (thoghut, zalim), dan memberi peringatan dengan lemah lembut (qaulan layyinan).

Tetapi apa yang dilakukan sebagian umat Islam hari ini?  Dalam melawan Assad (beberapa media Islam menyebut Assad thoghut dan menyamakannya dengan Firaun)  sekelompok muslim mengobarkan ‘jihad’ dan melakukan berbagai kekerasan atas nama agama. Korbannya bukan saja lingkaran pendukung Assad, tetapi juga masyarakat sipil (akibat berbagai pertempuran, bom bunuh diri, atau bom jarak jauh). Di Indonesia, kita saksikan kekerasan dilakukan oleh kelompok-kelompok muslim yang merasa ‘benar’, terhadap kelompok muslim yang mereka anggap ‘sesat’, seperti Ahmadiyah atau Syiah. Hingga kini warga Syiah di Sampang sudah 8 bulan hidup mengungsi di GOR Sampang karena rumah-rumah mereka dibakar massa.

Karena itu, tugas besar kaum muslim adalah melakukan counter-hegemony(perlawanan untuk mematahkan penguasaan opini dan kesadaran) melalui berbagai media. Mari kita secara kolektif (beramai-ramai) mengangkat konsep Islam dan cinta karena memang sejatinya, esensi Islam adalah cinta. Hal ini harus dimulai dari diri sendiri. Sekesal apapun kita terhadap kaum takfiri (kelompok yang suka mengafir-kafirkan pihak lain), misalnya, kita tetap bersikap santun dalam membantah argumen mereka. Di tengah keluarga, kita harus membesarkan anak-anak yang mampu menyerap nilai cinta dalam Islam. Misalnya, saat menjauhkan anak dari perbuatan buruk, jangan katakan ‘Nanti masuk neraka!’ atau “Nanti dimarahin Allah!”, karena ini akan menanamkan pemahaman bahwa Allah itu ‘kejam’ dan ‘suka menghukum’. Katakanlah, “Allah cinta pada perbuatan baikmu.” Kenalkanlah pada anak-anak kita bahwa segala sesuatu yang dilakukan Allah adalah keindahan dan cinta. Bahkan bilapun Dia menghukum (neraka), itu adalah bentuk cinta-Nya, agar manusia yang tersesat bisa tersadarkan. Di sekolah, perlu ditanamkan rasa toleransi, bahwa berbeda itu biasa. Bahwa memegang teguh keyakinan pribadi tidak berarti harus memaksa orang lain untuk memiliki keyakinan yang sama.

Esensi dunia Islam adalah cinta. Alam tercipta karena cinta, prinsip penggeraknya adalah cinta, pengikatnya cinta, dan tujuan akhirnya cinta. Dan cinta, hanya bisa disebarluaskan dengan cinta.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com