Jalur Rempah Nusantara

Bagikan artikel ini

Adalah suatu kebetulan di pertengahan Agustus 2023 ketika sedang santap siang bersama Laksamana Madya Purn. Desi Albert Mamahit dan Prof. Dr. Satya Arinanto di ‘Roemah Rempah’ Plaza Senayan, saya sedang melakukan konfirmasi kehadiran atas undangan diskusi terbatas tentang Konektivitas ‘Jalur Rempah’ antara Indonesia dengan negara-negara di wilayah Asia dan Timur Tengah yang diselenggarakan oleh Dirjen Kebudayaan, Kemdikbud & Ristek RI. Dalam kesempatan lunch dengan kedua dignitaries tersebut, sekalian saya menfaatkan untuk menyampaikan buku ‘Menyusuri Jalur Sutera’ yang merupakan kumpulan tulisan tentang negara-negara ‘Stan’ Asia Tengah yang di masa lampau merupakan lintasan utama jalan darat Jalur Sutera.

Meski tidak setenar Jalur Sutera, istilah Jalur Rempah memiliki sejarah yang tidak kalah pentingnya dalam khazanah peradaban dunia. Jalur Rempah dapat dianggap sebagai pasangan tandem Jalur Sutera dimana keduanya sudah terbentuk sekian ratus tahun sebelum pehitungan awal tarikh Masehi dimulai. Setelah Dinasti Qin (221-207 SM) berhasil mengkonsolidasikan suku-suku bangsa di wilayah China, maka rezim kekuasaan penggantinya, yaitu Dinasti Han (202 SM-220 M) mulai merambah wilayah yang lebih jauh dengan cara melakukan hubungan dagang dengan suku bangsa Eropa, Timur Tengah dan Afrika melintasi daratan wilayah Asia Tengah dan Asia Barat.

Pertemuan para pedagang dari berbagai wilayah, bermacam-macam suku-bangsa serta latar belakang kehidupan yang berbeda selama bertahun-tahun telah menimbulkan interaksi masyarakat dunia yang bukan saja melakukan jual-beli barang komoditi tetapi juga merupakan ajang pertukaran berbagai ide/gagasan, budaya dan agama/kepercayaan. Dari sinilah terbentuk sarana pertemuan dan pembentukan peradaban antar-bangsa di dunia. Ilmuwan Jerman Ferdinand von Richthofen yang pertama kali memunculkan istilah ‘Silk Road’ atau Jalur Sutera pada tahun 1877 terhadap rute perjalanan yang menghubungkan wilayah Asia, Eropa dan Timur Tengah dengan komoditi utama dalam kontak dagang tersebut adalah kain sutera. Adapun komoditi lain yang diperjualbelikan adalah porselin, parfum, obat-obatan, batu permata, emas, perak, gading. dan rempah-rempah.

Jalur Dupa, Jalur Sutera, Dan Jalur Rempah

Jalur perdagangan kuno yang menghubungkan wilayah Eurasia serta Afrika dan mempertemukan berbagai suku bangsa dan budaya dunia populer disebut sebagai Jalur Sutera/Silk Road atau ‘Sichou Zhilu’, pada bagian jalur tertentu serta periode tertentu dikenal juga sebagai Jalur Rempah atau ‘Xiangliao Luxian’ maupun Jalur Dupa, tergantung komoditi unggulan dan yang lebih dominan pada masanya. Barang dagangan unggulan termaksud biasanya berharga mahal karena selain sumber perolehan dan proses pembuatannya sulit juga produknya banyak dicari oleh kalangan masyarakat tertentu untuk menjadi status simbol maupun keperluan kehidupan lainnya dan untuk kesehatan.

Pada periode yang hampir bersamaan dengan berkuasanya Dinasti Han di China, sekitar abad ke-3 SM sampai 2 Masehi, di Jazirah Arab berkembang perdagangan bahan wewangian seperti kemenyan, damar serta berbagai jenis bahan dupa lainnya. Rute perjalanan kafilah onta yang membawa barang dagangan berbagai macam dupa dari wilayah Arab bagian Selatan menuju Mediterania ataupun dari India menuju wilayah Arab, Mesir, Jerusalem, Yaman sampai ke Roma dikenal sebagai ‘Jalur Dupa’ atau ‘Tariq Albukhur’ (bahasa Arab). Bahan dupa yang berguna untuk ramuan obat-obatan, balsam mayat dan upacara sesembahan keagamaan merupakan barang berharga yang bisa menjadi sumber kekayaan pedagang dan kejayaan penguasa.

Dari catatan sejarah, seni pembuatan sutera sudah meluas di China sejak abad ke-3 SM, namun berkembang menjadi produk industri yang bernilai ekonomi terjadi pada Dinasti Han (abad 2 SM sampai 3 Masehi). Di era Dinasti ini produk kain sutera bahkan dijadikan komoditas ekspor unggulan ke negara-negara Asia, Eropa dan Timur Tengah. Guna menjaga agar harganya tetap tinggi, rezim pemerintah kedinastian di China terus berusaha merahasiakan teknik mengembangbiakkan ulat sutera serta seni menenun benang sutera menjadi kain sutera. Dengan makin tingginya kebutuhan akan kain sutera di wilayah Mediterania serta wilayah Eropa lainnya, dengan harga kain yang tetap mahal, maka tercatat Kaisar Justinian I dari Bizantium (527-565 M) membujuk dua orang biksu Persia yang telah tinggal di China agar menyelundupkan ulat sutera dan membawanya ke Konstantinopel.

Komoditi rempah-rempah yang merupakan salah satu barang dagangan dalam Jalur Sutera, makin meningkat permintaannya dari Mesir, Roma, Yunani, dan Babilonia. Guna menjaga harga supaya tetap tinggi, para pedagang yang dikuasai oleh bangsa Arab dan Parsi serta pemasoknya India merahasiakan sumber perolehan rempah. Mereka menebarkan cerita bahwa rempah-rempah tersebut berasal dari tebing-tebing karang yang curam. Kayu manis sebagai komoditas rempah favorit bahkan disebutkan berasal dari pohon yang tumbuh di danau dipenuhi dengan binatang semacam kelelawar yang agresif sambil mengeluarkan lengkingan suara keras.

Pada abad ke-15 terutama setelah pelaut ulung Portugis, Vasco da Gama pada tahun 1497 menemukan jalur pelayaran singkat dari Eropa ke India dengan memutari Tanjung Harapan di ujung Benua Afrika, maka Portugis menjadi kekuatan Eropa pertama yang lebih dulu berkembang dari perdagangan rempah. Selain berlayar ke Calicut dan Kerala di India, armada kapal dagang Portugis kemudian juga mendarat di Pulau Banda di Kepulauan Maluku yang kaya dengan tanaman rempah, seperti kayu manis, merica, pala, cengkeh, jahe, tembakau, kopi, teh, kelapa, dll. Keberhasilan Portugis menemukan sumber rempah-rempah diikuti oleh Spanyol, Inggris dan Belanda. Jalur perdagangan laut atau Jalur Sutera Maritim ini kemudian lebih sering dikenal sebagai Jalur Rempah (Spice Road)

Bertemunya Peradaban Antar-Bangsa

Tempat-tempat persinggahan para saudagar sepanjang lintasan Jalur Sutera yang disebut ‘caravanserai’ yang berfungsi sebagai pusat perdagangan internasional dan sekaligus menjadi tempat pertukaran ide, gagasan, paham keagamaan, seni-budaya, ilmu pengetahuan, bahasa, dan adat-istiadat. Peradaban Timur dan Barat sejak Kedinastian Han di China dan Kekaisaran Roma di Eropa di era sebelum Masehi sampai awal tarikh Masehi melakukan interaksi beriringan dengan kegiatan transaksi dagang, pemberian hadiah, pembayaran upeti serta penyebaran agama. Pada Jalur Sutera Maritim atau Jalur Rempah, transaksi perdagangan serta interaksi kebudayaan dan pengetahuan berlangsung di kota-kota pelabuhan seperti di Alexandria-Mesir, Venesia-Italia, Constantinople-Byzantium, Istanbul-Turki, Kolkota-India, dan Guangzhou-China.

Sebelum bangsa-bangsa Eropa menemukan ‘Spice Islands’/Kepulauan Rempah (Pulau Banda, Seram, Ambon, Buru) dan pulau-pulau di Kepulauan Maluku lainnya, rumpun suku-suku bangsa Austonesia telah melakukan kegiatan dagang antar pulau dengan perahu. Bangsa ini selain berdagang rempah-rempah dengan bangsa India, Srilanka dan Afrika juga mengenalkan seni-budaya dan teknologi yang telah dikuasainya seperti: pembuatan perahu, seni tatto, pembangunan rumah panggung, penggosokan batu permata, serta pertanian sawah. Interaksi dengan bangsa di luar kawasan mulai terjadi ketika para pedagang Arab sering berlayar di Jalur Maritim Lautan Hindia yang membawa serta ajaran agama Islam, menambah ajaran agama Hindu dan Budha yang terlebih dulu menyebar di Nusantara. Menyusul kemudian ajaran agama Kristen dan Katolik di Abad ke-15 bersamaan dengan datangnya bangsa-bangsa Eropa (Portugis, Inggris, Belanda) ke wilayah Nusantara.

Lintasan bersejarah Jalur Sutera yang merupakan warisan dunia tak ternilai telah mendapatkan perhatian dan pengakuan dari UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization). Jalur Sutera dari kota Xian sampai Pegunungan Tianshan (China) telah dinobatkan sebagai ‘A World Cultural Heritage’ oleh badan dunia tersebut pada tahun 2014. Di Uzbekistan yang menjadi lintasan utama Jalur Sutera telah dideklarisasikan oleh UNESCO pada tahun 1987 dengan sebutan “The Silk Road is a Road of Dialogue”. Selain itu dalam rangka mempromosikan ‘Jalur Sutera’ sebagai konsep wisata dunia, UNWTO (United Nations World Tourism Organization) berturut-turut telah mengesahkan ‘Samarkand Declaration on Silk Road Tourism’ (1994) dan ‘Bukhara Declaration on Silk Road Tourism’ (2002).

Sementara itu dalam upaya untuk melanggengkan roh Jalan Sutera sebagai tempat bertemunya ide-ide besar dan berkembangnya prinsip kesetaraan, menghormati dan mengakui keberadaan masing-masing, serta meningkatkan kerjasama dan saling pengertian di antara sesama, Kazakhstan telah membentuk Forum Dialog bernama CICA (Conference on Interaction and Confidence Building Measures in Asia). Dengan dukungan UNESCO, satu wadah serupa dibentuk pada tahun 2021, di Astana Kazakhstan bernama ICRC (Internasional Centre for the Rapprochement of Cultures). Badan ini dimaksudkan untuk meningkatkan saling pengertian, toleransi dan hidup berdampingan secara damai, serta dialog antar agama dan budaya yang berbeda.

Guna tetap memelihara dan bahkan mengembalikan peran China sebagai pemrakarsa peristiwa historis konektivitas masyarakat antar bangsa, China telah meluncurkan prasarana Jalur Sutera modern. Presiden China Xi Jinping telah mengumumkan pembentukan OBOR (One Belt One Road) atau BRI (Belt and Road Initiative) di Kazakhstan dan Indonesia. Dalam kunjungan kenegaraannya ke Astana pada bulan September 2013, Presiden Xi Jinping secara resmi telah menyampaikan peluncuran ‘Silk Road Economic Belt’ sebagai infrastruktur darat yang menghubungkan China dan Eropa melalui wilayah negara-negara Asia Tengah. Sebulan kemudian Oktober 2013, dalam jamuan kenegaraan di Jakarta, Presiden China Xi Jinping mengumumkan programnya yang kedua ‘21st Century Maritime Silk Road’ yang merupakan lintasan laut menghubungkan China dengan negara-negara Asia Tenggara, Asia Selatan, wilayah Teluk Persia sampai Afrika.

Mendudukkan ‘Jalur Rempah’ Yang Semestinya

Berbeda dengan lintasan sejarah ‘Jalur Sutera’ yang dikenal dunia dan telah dikukuhkan oleh UNESCO sebagai mana mestinya sebagai ‘World Cultural Heritage’ dan ‘Road of Dialogue’, Jalur Rempah yang berporos di wilayah Nusantara masih dipahami secara luas sebagai produk penemuan kolonial bangsa Eropa. Bermula dari penemuan Vasco da Gama terhadap jalur maritim dari Eropa ke pantai India bagian Selatan untuk mendapatkan komoditi rempah-rempah langsung tanpa melalui perantara pedagang Arab dan Parsi. Setekah berhasil menguasai Malaka pada tahun 1511, tahun berikutnya ekspedisi laut Portugal dibawah komandan Antonio de Abreu sampai ke pusat rempah Nusantara di Pulau Banda, Kepulauan Maluku. Bangsa Eropa yang kemudian bersaing memperebutkan monopoli rempah di Nusantara adalah Inggris dan Belanda.

Berbicara di Webinar ‘The Diverse Flavors of Indonesia’ yang disponsori oleh Toko Buku Periplus bulan September 2020, Dirjen Kebudayaan Kemdikbud & Ristek Hilmar Farid ingin mendudukkan posisi historis Jalur Rempah ke tempat yang semestinya. Pernyataan ini dikemukakannya dalam menepis anggapan umum bahwa membicarakan Jalur Rempah berarti mengenang kembali suasana masa kolonialisme, terutama era penjajahan bangsa Belanda yang mulai datang ke wilayah Nusantara didahului dengan pembentukan perusahaan dagang VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) untuk menguasai perdagangan rempah di Asia. Peran VOC kemudian dilanjutkan oleh pemerintah Kerajaan Belanda yang melakukan penjajahan di Indonesia selama 350 tahun.

Dirjen Farid meminta agar kita tidak pernah melupakan bahwa rempah-rempah di Nusantara sudah populer jauh sebelum era kolonial, saat bangsa Austronesia berniaga antar pulau di Nusantara dengan perahu dayung ribuan tahun ke belakang bersamaan dengan era Greco Romawi di Eropa. Sayang sekali sejarah masyarakat lokal Austronesia ini tidak tercatat dan sulit dilacak. Disinilah pangkal permasalahannya. Sinolog dari Universitas Indonesia Dr. Nurni Wahyu Wuryandari menyayangkan absennya catatan dari bumi Nusantara yang bisa dijadikan referensi sejarah penulisan tentang perdagangan, pelayaran serta aktivitas masyarakat lainnya. Dr. Wuryandari mendapatkan catatan berharga tentang perjalanan orang Jawa ke China justru dari sumber-sumber China. Dari catatan itu menunjukkan bahwa penduduk di Nusantara ini sudah piawai berlayar dan berinteraksi dengan dunia luar sejak awal tahun Masehi.

Dengan minimnya catatan tertulis, prasasti dan situs-situs peninggalan kuno lainnya, Dirjen Kebudayaan Kementerian Dikbud & Ristek tetap optimis untuk mengusahakan lintasan ‘Jalur Rempah Nusantara’ dapat dinominasikan dan dinobatkan sebagai ‘A World Cultural Heritage’ oleh UNESCO. Misi suci ini telah disosialisasikan dan didiskusikan bersama para ahli dari berbagai disiplin ilmu, terutama Sejarawan, Arkeolog, Sinolog, pakar hubungan Indonesia-India, Indonesia-Timur Tengah, maupun dikerjasamakan dengan berbagai lembaga, seperti Yayasan Negeri Rempah atau ‘Spice State Foundation’, dan BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Kiranya perlu juga dilakukan koordinasi dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dalam rangka meyakinkan UNWTO (UN World Tourism Organization) agar situs-situs penting di lintasan Jalur Rempah Nusantara dapat dideklarasikan sebagai ‘Spice Road Tourism’.

Mohamad Asruchin, Mantan Direktur Kawasan Asia Tengah dan Asia Selatan, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com