Banyak elit politik di era reformasi kini, justru ‘menikmati ketersesatan’ (meminjam istilah Ichsanuddin Noorsy) di tengah konstitusi liberal ala Barat pasca – amandemen UUD 1945 (1999 – 2002). Maka kebanyakan mereka takut terhadap diksi ‘perubahan’. Entah kenapa. Barangkali, di benak mereka berkata, “Jangan-jangan, perubahan justru mengurangi kenikmatan yang diperolehnya, atau bahkan mencabut segala fasilitas yang didapatnya selama ini?” Ini asumsi penulis. Mari kita breakdown.
Asumsi di atas, terlihat dari perilaku dalam dinamika politik (praktis). Sehingga ketika salah satu bakal calon presiden (bacapres) menggulirkan ide tentang perubahan —Anies Baswedan misalnya— ia pun diserang dari sana-sini serta di- bully habis-habisan. Padahal, perubahan yang dikehendaki Anies masih belum jelas. “Bahkan ada yang menyatakan bahwa Anies itu sentesis dari Jokowi”. Bukankah sintesis itu juga perubahan (dan percampuran) yang selaras?
Jujur harus diakui, bahwa konstitusi negara hasil empat kali amandemen UUD 1945 beserta UU turunannya, berpotensi menciptakan deadlock. Kemacetan konstitusi. Hal ini terlihat dari kegelisahan beberapa Lembaga Tinggi Negara. Kegelisahan tersebut disampaikan oleh Bamsoet, Ketua MPR RI, dalam Pidato Kenegaraan pada Rabu, 16 Agustus 2023 di Gedung Nusantara II:
” .. bagaimana sekiranya menjelang Pemilu terjadi sesuatu yang di luar dugaan kita bersama, seperti bencana alam yang dahsyat berskala besar, peperangan, pemberontakan, atau pandemi yang tidak segera dapat diatasi, atau keadaan darurat negara yang menyebabkan pelaksanaan Pemilu tidak dapat diselenggarakan sebagaimana mestinya, tepat pada waktunya, sesuai perintah konstitusi? Maka secara hukum, tentunya tidak ada Presiden dan/atau Wakil Presiden yang terpilih sebagai produk Pemilu.. “
Bamsoet melanjutkan,
“Dalam keadaan demikian, timbul pertanyaan, siapa yang memiliki kewajiban hukum untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut? Lembaga manakah yang berwenang menunda pelaksanaan pemilu? Bagaimana pengaturan konstitusionalnya jika pemilu ditunda, sedangkan masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, anggota-anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD, serta para menteri anggota kabinet telah habis? Masalah-masalah seperti di atas belum ada jalan keluarnya setelah perubahan UUD 1945 ..”
Tak pelak, kegelisahan Bamsoet pun ditangkap oleh LaNyalla Mattalitti, Ketua DPD RI, kemudian dirumuskan dalam Lima Proposal Kenegaraan. Adapun poin inti proposal DPD RI adalah sebagai berikut:
1. Mengembalikan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara;
2. Membuka peluang adanya anggota DPR RI berasal dari unsur perorangan alias nonpartisan;
3. Memastikan Utusan Daerah dan Utusan Golongan secara bottom up, bukan top down alias penunjukan dari Presiden seperti yang pernah terjadi di era Orde Baru;
4. Memberikan kewenangan kepada Utusan Daerah dan Utusan Golongan untuk memberikan pendapat terhadap materi RUU yang dibentuk DPR bersama Presiden;
5. Menempatkan secara tepat, tugas dan fungsi Lembaga Negara yang sudah dibentuk di Era Reformasi, sebagai bagian dari kebutuhan dari sistem dan struktur ketatanegaraan.
Agaknya, kegelisahan Bamsoet dan LaNyalla disambut secara gegap gempita oleh berbagai elemen masyarakat dan tokoh masyarakat. Di satu sisi, ide kembali ke MPR selaku Lembaga Tertinggi Negara serta Lima Proposal di atas terus bergulir membuat snowball process. Semakin lama kian meluas dan membesar. Namun pada sisi lain, disinyalir ada upaya kanalisasi terhadap isu kembali ke MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Katakanlah, banyak profesor kini panik! Entah mengapa. Yusril Ihza Mahendra (YIM) contohnya, ia menyarankan bila ada calon tunggal, sebaiknya Presiden menerbitkan Perppu untuk menganulir presidential threshold 20% menjadi 0% agar banyak capres bermunculan. Kenapa Prof YIM tidak menyarankan pilpres di MPR sebagaimana mekanisme warisan the Founding Fathers?
Demikian pula Prof Jimly Asshiddiqie. Dalam FGD di Lemhannas (28/8/2023), Jimmly justru membuat statement konyol. Ia menyarankan agar pemilihan Wapres di MPR, namun pilpres tetap dilaksanakan secara langsung (one man one vote). Ini pernyataan lucu lagi absurd.
Demikian gambaran situasi pasca-Pidato Kenegaraan pada hari Rabu, 16 Agustus 2023. Banyak profesor panik menghadapi gelombang gagasan untuk kembali ke MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Dan situasi yang bergulir ke arah deadlock tersebut, diawali dengan Koalisi Perubahan bergeser menjadi ‘perubahan koalisi’ dengan munculnya deklarasi Anies-Cak Imin di Surabaya. Heboh!
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments