Poin-Poin Penting Hubungan Diplomatik RI-RRC Sejak Era Pembekuan Hubungan Diplomatik Hingga Era Pasca Normalisasi Semasa Pemerintahan Soeharto

Bagikan artikel ini

Diolah dari buku karya Leo Suryadinata, Politik Luar Negeri Indonesia Di Bawah Soeharto. Jakarta: LP3ES, 1998.

Pandangan Beragam Faksi di Pemerintahan Suharto Ihwal Peristiwa G-30 September 1965

Dalam melakukan telaah strategis berkaitan dengan sikap RRC terhadap peristiwa September 1965.

Soeharto saat masih menjadi petinggi TNI Angkatan Darat. Pada 1967, ia mulai menjabat presiden dan mengadopsi pemahaman yang dipelajarinya sewaktu muda.

  1. China menyetujui kudeta dan memasok persenjataan di luar sepengetahuan dan control otoritas militer Indonesia.
  2. Para pejabat China dan Beijing mengetahui kudeta enam jam setelah peristiwa tersebut berlangsung dan memberikan daftar jenderal Indonesia yang seharusnya dibunuh.
  3. Laporan CIA mengungkapkan kemudian bahwa tidak ada bukti kuat RRC berada di balik kudeta tersebut, tetapi laporan itu mengatakan bahwa karena ketua Aidit berkunjung ke China dan awal persiapak PKI untuk kudeta hampir bersamaan dengan kembalinya Aidit dari China, suatu kasus yang dibuat berdasarkan bukti tidak langsung menunjukkan bahwa China telah memberikan inspirasi terjadinya kudeta di Indonesia.
  4. Pandangan lain mengatakan bahwa Beijing tidak menyetujui kudeta dengan beberapa alasan sebagai berikut. Pertama, situasi sebelum kudeta sangat menguntungkan Beijing dan sulit dipahami mengapa Beijing merencanakan kudeta yang akan memperburuk situasi ini. Adanya sejumlah kecil senjata China setelah kudeta, memberi kesan bahwa China tidak terlibat.
  5. Selain itu, adalah tidak mungkin partai komunis yang besar seperti PKI akan mendengar perintah dari Beijing.

header img

Politik Luar Negeri RI Terhadap China Pasca 1965.

  1. Para penguasa baru Indonesia pasca Sukarno yang berada di bawah kendali Suharto, meyakini bahwa China berada di belakang kudeta 1965. Mereka tidak hanya curiga namun juga bermusuhah dengan China.
  2. Sebaliknya RRC juga bermusuhan terhadap para penguasa militer Indonesia pasca Sukarno. Mereka menggambarkan militer Indonesia itu “reaksioner” dan “fasis.” Selain itu Beijing memnberikan suaka politik kepada beberapa tokoh PKI. Alhasil hubungan Indonesia-RRC memburuk dan bulan Oktober 1967 Jakarta memutuskan hubungan diplomatic dengan Beijing. Seraya mengakhiri hubungan perdagangan langsung dengan China.
  3. Seturut memburuknya hubungan RI-RRC, hubungan Indonesia-Taiwan sebaliknya justru semakin membaik. Meski demikian Indonesia tetap menjalankan kebijakan satu China dan menolak membangun hubungan diplomatic dengan Taiwan. Meski taka da hubungan diplomatic, para pemimpin Taiwan dan delegasi perdagangan melakukan kunjungan informal berulang kali ke Indonesia.
  4. Pada 1970an, RRC mulai melaksanakan politik luar negeri yang lebih moderat, yang bertujuan untuk menanamkan persahabatan dengan negara-negara Dunia Ketiga dengan harapan melakukan lebih banyak pengaruh kepada mereka. Pada 1974 dan 1975, China berhasil membina hubungan diplomatic dengan tiga negara ASEAN: Filipina, Malaysia, dan Thailand. Indonesia tetap tidak berubah. Singapura yang didominasi etnis China dengan pertimbangan menghindari kecurigaan Indonesia, memutuskan untuk tidak menormalisasi hubungan dengan Beijing sebelum Jakarta melakukan.
  5. Pada 1977 setelah Deng Xiaoping menduduki kekuasaan menggantikan Mao Zhe Dong, politik luar negeri RRC lebih moderat. China dengan melancarkan Program Empat Modernisasi (Pertanian, Industri, Ilmu Pengetahuan-Teknologi, dan Militer), memerlukan investasi asing, teknologi tinggi, dan situasi politik yang stabil.
  6. Sejak 1978 RRC makin menaruh perhatian besar kepada Asia Tenggara menyusul invasi Vietnam ke Kamboja pada 1978 dan yang kemudian disusul dengan Perang China-Vietnam pada awal 1979. Sejak itu diputuskan bahwa mempunyai hubungan baik dengan Indonesia, negara terbesar di Asia Tenggara, akan memperkuat posisi dan juga menguntungkan RRC. Intinya, RRC ingin bersahabat dengan Indonesia dan ASEAN.

Pandangan Beberapa Faksi di Internal Pemerintahan Suharto ihwal hubungan RI-RRC

Ini Perbedaan Deng Xiaoping Bapak China Modern dan Soeharto Bapak Pembangunan (Ilustrasi)

  1. Sejatinya para pemimpin Indonesia di era Suharto terpecah pandangannya mengenai hubungan Indonesia-China. Hal ini semakin mencolok setelah naiknya Deng Xiaoping. Beberapa kalangan melihat ada keuntungan yang bisa diraih dengan semakin eratnya hubungan Ri-RRC. Adapun faksi yang lain melihat ada kerugian dalam normalisasi hubungan Jakarta-Beijing.
  2. Kelompok pro normalisasi termasuk para usahawan dan pejebat kementerian luar negeri seperti Adam Malik dan Mochtar Kusumaatmadja. Para usahawan Indonesia menganggap bahwa normalisasi hubungan kedua negara akan mendorong ekspor Indonesia ke RRC dan ini akan membantu menggairahkan bisnis di Indonesia. Selain itu, kementerian luar negeri menganggap normalisasi akan memrproyeksikan citra Indonesia sebagai negara non-blok di luar negeri. Lebih mudah berhubungan dengan China secara langsung atas sejumlah masalah internasional. Sayangnya, kelompok pro normalisasi kalah pengaruh saat itu.
  3. Adapun kelompok anti-normalisasi yang jauh lebih besar pengaruhnya terhadap Suharto kala itu terdiri dari Presiden Suharto sendiri, militer, para pejabat di kementerian pertahanan, dan surat kabar harian Merdeka milik tokoh Partai Murba, BM Diah, kelompok Islam, dan lobi Taiwan di Indonesia.
  4. Kelompok militer dalam rejim Suharto menentang normalisasi dengan China dengan alasan khawatir pemeritnah RRC akan memanfaatkan China perantauan di Indonesia untuk mempromosikan kepentingan mereka sendiri. Kelompok Islam pada dasarnya anti-komunis juga khawatir terhadap RRC. Mereka khawatir Beijing akan mendukung gerakan kiri di Indonesia setelah mereka menciptakan hubungan normal dengan Jakarta.
  5. Lobi Taiwan juga khawatir bahwa normalisasi Jakarta-Beijing akan memepengaruhi hubungan Taiwan dengan Jakarta.
  6. Presiden Suharto dan menteri luar negeri pertama di era Orde Baru, Adam Malik, juga berbeda pendapat mengenai normalisasi hubungan Jakarta-Beijing. Adam Malik mulai tertarik untuk membuka hubungan diplomatik Jakarta-Beijing sejak 1976. Adam Malik memandang sudah tidak ada lagi masalah krusial antara Jakarta-Beijing sehingga hubungan diplomatik sebenarnya sudah bisa dibuka kembali. China sudah tidak lagi mendukung PKI dan sudah menghentikan propaganda anti-Indonesia.
  7. Namun Suharto tidak sepakat. Presiden Suharto menyebuat bahwa Adam Malik sering membuat pernyataan yang tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah dalam isu-isu politik, walaupun ia adalah bagian dari pemerintah.
  8. Terkait isu normalisasi, Suharto mengatakan bahwa Indonesia masih membatasi hubungan dengan RRC, tetapi pernyataan Adam Malik menimbulkan kesulitan bagi pemerintah. Sesungguhnya Suharto masih berpendapat bahwa RRC telah menyokong PKI dan melihat hal ini sebagai internvensi dalam masalah-masalah dalam negeri Indonesia.
  9. Suharto menuntut RRC agar memutuskan hubungan dengan partai-partai komunis di wilayah Asia Tenggara sebelum berhubungan diplomatik dapat dinormalkan kembali.
  10. Kelompok Militer malah lebih keras lagi dibanding Suharto. Pada 1984, melalui Harian Angkatan Bersenjata, koran resmi Militer, Kelompok Militer menuntut agar RRC mengakhiri hubungan dengan PKI, mengakui keterlibatannya dalam kudeta September 1965, dan meminta maaf kepada Indonesia.
  11. Nampak jelas di sini ada perbedaan antara Suharto dan Militer terkait persyaratan untuk menuju normalisasi dengan RRC. Bagi Suharto, nampaknya membuka hubungan diplomatik dengan Beijing hanya soal mencari momentum yang tepat. Dan pada decade 1980an, buat Suharto belumlah tepat. Sedangkan bagi militer sepertinya memang harga mati bahwa normalisasi dengan RRC sebaiknya tidak dilakukan.
  12. Namun sejak 1985-1989, hubungan kerjasama perdagangan Indonesia dan RRC mulai dibuka meskipun berjalan secara lamban. Namun hubuingan kedua negara mulai membaik setelah peringatan 30 tahun Konferensi Asia-Afrika.
  13. Pada 23 Febaruari 1989, Indonesia secara tiba-tiba mengumunkan bahwa ada kemungkinan bagi Jakarta dan Beijing untuk membuka kembali hubungan diplomatik. Nampaknya keputusan tersebut bertumpu pada kondisi obyektif China pasca Mao Zhe Dong. Pertama, sejak pemerintahan Deng China menjadi lebih lunak dan berorientasi ke dalam. Juga China tidak lagi mengekspor revolusi. Dan sesungguhnya, dukungan China pada partai-partai komunis di ASEAN telah menurun drastis setelah Deng.
  14. Reaksi terhadap keputusan pemerintah Suharto membuka kembali hubungan diplomatik dengan China beragam dan sarat pro dan kontra. Harian Kompas dan Suara Pembaruan nampaknya menilai positif normalisasi Jakarta-Beijing atas dasar penilaian bahwa hal itu akan bermanfaat bagi kepentingan nasional masing-masing. Namun Harian Angkatan Bersenjata dan Harian Suara Karya yang dipandang mewakili haluan politik Golkar, tetap memandang China sebagai ancaman potensial. Begitu juga beberapa politisi Muslim dari Partai Persatuan Pembangunan. Inti keberatan masih tetap berkisar soal dukungan Beijing kepada komunis, dan peran etnis China perantauan di Indonesia.
  15. Namun Suharto justru merupakan figur sentral yang ingin mempercepat proses normalisasi Jakarta-Beijing. Sehingga sejak 1989 memasuki decade 1990an, hubungan Jakarta-Beijing semakin konstruktif.
  16. Isu lain uang mempengaruhi hubungan Indonesia-China adalah hubungan antara Jakarta dengan Taiwan. Sejak Suharto berkuasa, hubungan Jakarta-Taipei semakin membaik. Meski menganut kebijakan Satu China, Indonesia tetap mempertahankan hubungan ekonomi dengan Taiwan yang seringkali berbau politik.
  17. Meskipun hubungan China-Indonesia membaik, masih ada isu-isu yang mungkin mempengaruhi hubungan kedua negara di masa depan. Seperti soal etnis China, kemungkinan konflik di Laut China Selatan atas Kepulauan Spratly, persoalan wilayah perairan Natuna dan hubungan Jakarta-Taipei. Terkait Laut Cina Selatan dan Spratly maupun Natuna, jika China menerapkan pendekatan yang agresif, Jakarta bisa bereaksi keras dan memperburuk kembali Jakarta dengan Beijing. Sebaliknya, bagi Beijing jika Jakarta mempererat hubungannya dengan Taipei, maka Beijing bisa menganggap Indonesia menjalankan Kebijakan Dua China. Otomatis akan memperburuk kembali hubungan Jakarta-Beijing.

Diolah Kembali oleh Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com