M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Sedih dan bela sungkawa kepada para korban serta keluarga yang ditinggalkan. Duka lara mendalam. Sepertinya, ini bukan emosi para wayang (pion) yang out of control, bukan pula sikap kesurupan para dalang, tapi kuat diduga adalah mainan si penanggap, sang pemilik hajatan itu sendiri. The owner. Turun tangan langsung. Siapa? Senyap. Tak bakal terungkap karena mereka selalu berlindung di balik bully: “Ah, itu teori konspirasi“.
Ya. Bahwa rentetan kejadian terorisme di Jawa Timur/Jatim telah membawa efek psiko-sosiologis luar biasa di hampir semua lapisan masyarakat selain dampak materiil, luka-luka sosial, bahkan korban jiwa baik dari aparat keamanan, warga sekitar lokasi kejadian maupun para bombarder itu sendiri, juga meluasnya rasa takut masyarakat terhadap keramaian. Jatim ibarat diguyur “hujan terorisme” di bulan Mei 2018.
Dari perspektif asymmetric warfare yang berpola ITS (Isu-Tema/Agenda-Skema), tragedi kemanusian di Mako Brimob, di Surabaya, di Sidoarjo, dan di Mako Polrestabes Surabaya, entah esok mana lagi. Tapi semoga berakhir. Bahwa isu yang ditebar hanyalah pintu pembuka saja. Permulaan. Kejadian tersebut klasifikasinya cuma isu. Kenapa? Karena ada arah dan/atau sasaran lebih tinggi (agenda) dimana akan berujung pada hidden agenda itu sendiri —skema— tujuan yang hendak diraih.
Ketiga tahapan (ITS) di atas dilakukan secara cerdas seolah-olah alami atau tanpa rekayasa, padahal sebenarnya direncanakan secara matang. Ada momentum, pola gerakan, mapping tempat, narasi, dan lain-lain. Ini yang tampaknya berproses masif terkait rentetan terorisme di tanah air.
Merujuk judul catatan ini, kajian asymmetric war memprakirakan akan terdapat tema lanjutan yang akan dimunculkan ke ruang publik setelah isu-isu digelinding. Tema lanjutan dapat berupa, (kemungkinan) antara lain adalah:
1) apakah bermaksud menjatuhkan elektabilitas Jokowi di tengah kian terpuruknya kondisi perekonomian bangsa ini;
2) apakah hendak mendiskreditkan Islam, devide et impera dan melemahkan persatuan umat mayoritas yang tengah menggeliat;
3) apakah mau menjungkalkan kepercayaan (public trust) atas praktik tugas aparat keamanan (TNI-Polri) di lapangan;
4) apakah ada skenario guna penguatan regulasi penanggulangan terorisme yang selama ini dianggap lembek;
5) apakah ingin memangkas Melayu Spring —Musim Semi Rumpun Melayu— sebagaimana geliat di negeri sebelah;
6) dan paling klasik, apakah sekedar pengalihan isu belaka atas situasi dan kondisi saat ini? Dan banyak lagi kemungkinan dan/atau prakiraan lain.
Setiap tujuan niscaya membawa korban. Tidak ada dosa ataupun pahala melainkan tujuan tercapai. Makanya ada istilah “tumbal”, dan itu sudah jamak bahkan dianggap kredo di dunia politik dan intelijen. Konflik lokal bagian dari konfigurasi geopolitik global terutama area dan/atau negara yang memiliki nilai strategis (seperti Indonesia) bagi kepentingan nasional (national interest) para adidaya maupun sang superpower. Dan tampaknya, Jatim punya nilai strategis di mata global.
Jangan bersedih Ibu Pertiwi! Jangan saling bertengkar antara satu dengan lainnya akibat tebaran isu bertajuk “hujan terorisme” di Jatim. Jatim adalah permulaan tapi juga barangkali pengakhiran. Kenapa dipilih Jatim? Sejarah dunia mencatat, terdapat dua jelaga hitam di muka “mereka” yang hingga kini tak mampu dihapus, pertama, telinga Meng Khi —utusan Khubilai Khan— dipotong oleh Kertanegara serta balada serbuan militer yang gagal total, kedua, pemenang Perang Dunia II pun harus menjadi pecundang pada 10 Nopember 1945 di Surabaya. Jatim itu barometer. Epicentrum kekuatan. Tanpa disadari mereka, kaum yang terhijab oleh teori konspirasi, gerakan “panik”-nya justru mengetuk pintu nirwana para syuhada, membangunkan kembali sel-sel pejuang dan perjuangan segenap anak bangsa.
Retorika pamungkas, bila Indonesia cuma penghasil jambu mente, mungkinkah terorisme akan tumbuh subur di Bumi Pertiwi? Tatkala logika kepentingan (kolonialisme) bertemu dengan nalar kebodohan sebagian warga maka lahirlah para bombarder mengatas-namakan jihad!
Jangan bersedih Ibu Pertiwi.