Jatuhnya Saigon dan Kabul Bukti Nyata AS Bukan Sekutu Yang Bisa Dipercaya

Bagikan artikel ini

Keberhasilan Taliban merebut Kabul merupakan bukti nyata bahwa Amerika Serikat bukan sekutu yang bisa diandalkan. Negara Paman Sam bukan mitra yang dapat dipercaya. Hal ini nampak jelas melalui pernyataan Presiden Joe Biden bahwa AS sama sekali tidak menyesal menarik mundur pasukannya dari Afghanistan. Lebih aneh lagi ketika Biden mengatakan hal itu karena Taliban akan menguasa seluruh kawasan Asia Tengah.

Pernyataan Biden justru memberikan pesan secara tersirat bahwa negara manapun yang bermaksud menjadi negara proksi kepentingan AS, sebaiknya bersiap-siap satu saat akan dikorbankan atau ditinggalkan. Seperti pernah dinyatakan juga oleh mantan menteri luar negeri AS Henry Kissinger: AS tidak pernah punya sekutu permanen, karena yang permanen adalah kepentingan.

Rejim boneka AS di Kabul sudah melayani kemauan dan kepentingan AS selama 20 tahun, namun setelah 20 tahun perang sia-sia dengan mengorbankan ratusan ribu nyawa manusia dan menghabiskan biaya triliunan dolar AS, dengan tanpa perasaan meninggalkan begitu saja Afghanistan dan rakyat Afghanistan dengan segala derita nasibnya.

Saat Taliban berhasil merebut satu demi satu ibukota provinsi Afghanistan, badan intelijen AS dengan entengnya mengatakan bahwa Kabul bisa jatuh dalam satu bulan. Lebih tidak berperasaan lagi, minggu ini Joe Biden mengatakan bahwa rakyat Afghanistan harus melakukan pertempuran antar mereka sendiri. Artinya, kali ini tanpa bantuan tentara AS.

Lantas dimanakah gerangan retorika AS yang terkenal seperti Pembangunan Bangsa dan Perang terhadap terorisme, melindungi demokrasi dan hak-hak perempuan? Kasus Afghanistan sekali lagi menggambarkan sejarah kelam AS mengorbankan sekutu andalannya dan meninggalkannya dalam keadaan porak-poranda.

Persis ketika 46 tahun yang lalu AS membiarkan Vietnam Utara yang dipimpin Ho Chi Mind dan Panglima Perangnya Vo Nguyen Giap, mengalahkan rejim militer bonekanya dari Vietnam Selatan, pada 1975. Seperti juga cerita tentang kejatuhan Kabul oleh Taliban, begitu pula pada 1975 ketika tentara AS meninggalkan Saigon.

Cerita ihwal jatuhnya Kabul maupun Saigon,merupakan peringatan yang amat mencolok bagi negara-negara yang masih berkeinginan untuk menjalin persekutuan dengan AS.

Begitu pula nasib suku Kurdi Surah Utara. Ketika tanpa perasaan AS membiarkan begitu saja suku Kurdi bergantung pada belas kasihan Turki ketika negara pimpinan Presiden Erdogan itu menduduki Suriah Utara semasa pemerintahan AS masih berada dalam kekuasaan Donald Trump.

 

Baca artikel yang ditulis Finian Cunningham : Afghan Lesson For Uncle Sam’s Running Dogs

 

Ada semacam kontrak kesepakatan tidak tertulis bagi negara-negara boneka AS: Harus bersedia dikorbankan kapan saja Amerika berkeinginan atau merasa sudah tidak nyaman lagi. Kasus jatuhnya Saigon dan Kabul, bukti nyata penghianatan Paman Sam terhadap negara-negara bonekanya. Sekaligus peringatan bagi negara-negara yang masih percaya untuk bersekutu dengan AS.

Taliban fighters take control of Afghan presidential palace after the Afghan President Ashraf Ghani fled the country, in Kabul, Afghanistan, Sunday, Aug. 15, 2021. Person second from left is a former bodyguard for Ghani. (AP Photo/Zabi Karimi)

Begitu pula dengan Ukraina, yang mana rejimnya yang represif dan kejam sepertinya juga masih mengandalkan dukungan AS. Meskipun sudah berabad-abad menyatu dalam kebersamaan dengan Rusia, dengan begitu saja rejim Ukraina tunduk dan mengabdi pada kepentingan militer Washington sejak 2014, setelah menjatuhkan pemerintahan Presiden Viktor Yanukovich atas bantuan dari AS dan Uni Eropa.

Perang saudara yang berlangsung sejak 2014 lalu dan telah menghabiskan dana sebesar 2 miliar dolar AS atas bantuan Washington, pada perkembangannya telah menghancurkan perdamaian dan kesejahteraan rakyat Ukraina. Sekaligus menghancurkan hubungan persahabatan dan bertetangga baik dengan Rusia.

Maka besar kemungkinan ketika para perancang keamanan nasional di Washington mulai menyadari bahwa ternyata sia-sia dalam menggunakan agen-agen proksinya di Ukraina, maka AS akan membiarkan rakyat Ukraina membereskan segala kekacauan yang terjadi menyusul persekutuan Washington dan rejim Kiev.

Begitu pula nasib agen-agen proksi AS di Baltik yang mana mereka bekerja untuk Washington merusak hubungan antara Rusia dan Uni Eropa. Selama bertahun-tahun negara-negara Baltik menolak pipa gas Nord Stream 2 dari Rusia. Anehnya malah meminta ekspor gas dari AS yang lebih mahal dan tidak ramah lingkungan.

Tragisnya, ketika Washington merasa kebijakan tersebut tidak lagi memadai lagi karena bisa berakibat mengundang permusuhan dari Jerman dan Uni Eropa, dengan tanpa rasa bersalah Washington meninggalkan begitu saja agen-agen proksinya di tengah cuaca dingin persis kayak orang bodoh.

Namun negara-negara boneka AS sepertinya belum juga menarik pelajaran pahit dari negara-negara boneka Washington terdahulu. Salah satunya adalah Lithuania, menawarkan jasa pada negara Paman Sama memprovokasi China dengan mengumumkan akan mengakui Taiwan. Tentu saja langkah tersebut mengundang kemarah China karena bertentangan dengan One China Policy yang menyiratkan kedaulatan China atas Taiwan yang menjadi pedoman kebijakan strategis luar negeri Beijing dalam forum internasional.

Sebagai konsekuensi dari manuver Lithuania, pemerintah menarik utusan diplomatiknya dari Vilnius dan mengancam akan menjatuhkan sanksi ekonomi pada negara tersebut. Sebagai mitra Uni Eropa dalam perdagangan, tindakan Luthuania itu dipandang merugikan diri sendiri dengan memprovokasi kemarahan China. Bukan saja akan merugikan Lithuania, negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa pun bisa kena dampak kerugian ekonomi hanya karena Lithuania begitu saja mematuhi agenda  AS untuk melancarkan permusuhan geopolitik Washington terhadap Beijing.

uncaptioned

Saat ini Taiwan sebagai sekutu AS sejak Jenderal Chang Kai Shek terpaksa bertahan di pulau Formosa atau Taiwan pada 1949, sepertinya juga harus hati-hati terhadap kemungkinan penghianatan AS. Beijing sudah memperingatkan AS bahwa penjualan senjata kepada Taiwan merupakan tindakan yang provokatif karena bisa mengobarkan timbulnya gerakan-gerakan separatis di pulau itu. Dan Beijing sudah sudah mengingatkan bahwa China berhak untuk melancarkan serangan militer terhadap Taiwan dan menduduki pulau itu secara paksa, sehingga bisa mengobarkan pula perang antara AS versus China karena AS sudah bersumpah berkali-kali akan mempertahankan Taiwan.

Namun seperti diingatkan melalui kasus jatuhnya Kabul dan Saigon, bisa saja AS pun akan membiarkan Taiwan menghadapi sendiri konfrontasi militernya dengan China daratan.

Singkat cerita tak ada prinsip yang terkandung dalam kebijakan luar negeri maupun dalam skema campurtangan militer Washington terhadap negara-negara yang dipandang sebagai sekutunya maupun sebagai agen-agen proksinya. Selama kepentingan-kepentingan korporasi global AS terpenuhi, Washington tak segan-segan mengorbankan rakyatnya sendiri maupun orang-orang asing.

Diolah kembali oleh Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute.

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com