“Jawa Bangsa Langit”

Bagikan artikel ini

Peradaban Jawa memanglah sangat diluar akal pikiran. Berbagai peninggalan baik itu berupa bangunan, ilmu, atau teknologi sudah dipakai ratusan tahun. Generasi muda sudah sepatutnya memaknai ini bukan hanya sekedar teoritis, akan tetapi dengan mengilhamis setiap proses kehidupan nenek moyang kita dulu. Tindakan kita sebagai pewaris ilmu dari setiap keahlian yang beragam ini patut dipertanyakan. Leluhur kita sudah memberi beberapa kode yang begitu absurd, tekesan tahayul dan tanpa dasar ini memang setelah abad 19-20 ini mulai ditinggalkan.  Kemudian sebagai pewaris segala hal yang ada didaerah masing-masing ini apakah kita tetap ogah mempelajari atau mendalami atau lagi membuktikan secara ilmiah ilmu-ilmu orang jawa dulu yang hebat.?  Kami kembalikan pada pembaca masing-masing agar kedepan tidak mudah takjub akan budaya dan ilmu luar.  Minimal mengenal diri sendiri menjadikan kita lebih tahu dan “rumongso”. Asupan luar yang kita konsumsi dari pelbagai sumber online atau offline membuat sikap tidak kenal asal muasal. Mengeleminir kebudayaan dalam diri bangsa langit ini sudah dialami semenjak abad 15 saat pertama kali portugis datang di Melaka.

Pada leading sector kesehatan saya mencoba mentautkan hati saya lantas bergerak pada sisi ilmu yang dalam idiom jawa “nambani“. Rupanya ada beberapa manuskrip kuno yang memaparkan dengan jelas akan penyakit, cara pengobatan sekaligus ramuan apa saja yang dipakai. Sebutlah itu, antara lain, Buku Primbon Jampi Jawi, tersimpan di Perpustakaan Museum Sonobudoyo, Pratelan Jampi Sakit Warni-warni, Perpustakaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Yogyakarta, Buku Jampi, Perpustakaan Widya Pustaka Pura Pakualaman, Pakem Tarugana, Perpustakaan Widya Pustaka Pura Pakualaman, Serat Primbon Jampi Jawi, Perpustakaan Reksa Pustaka Pura Mangkunegaran, Serat Primbon Reracikan Jampi Jawi Jilid 2, Perpustakaan Sasana Pustaka Keraton Surakarta, Kawruh Bab Jampi-jampi Jawi, Perpustakaan Sasana Pustaka Keraton Surakarta, Serat Reracikan Jampi Warni-warni, Perpustakaan Sasana Pustaka Keraton Surakarta, Racikan Jampi Jawi, Perpustakaan Sasana Pustaka Keraton Surakarta, dan Kawruh Bab Jampi-jampi Jawi, Perpustakaan Sasana Pustaka Keraton Surakarta. Namun sejalan dengan dominasi dan hegemoni pengobatan modern, bicara sistem pengobatan tradisional ironisnya kini tidak banyak dipahami oleh masyarakat pewarisnya sendiri. Pasalnya pewarisannya seringkali bersifat lisan atau hanya sebatas turun-temurun melalui keluarga yang memiliki keahlian profesi tersebut.

Apa yang menarik dicatat di sini ialah, Serat Primbon Reracikan Jawi ini terdiri empat jilid. Kembali merujuk riset Tjandrasih Adji di atas, disebutkan bahwa pada jilid 1 terdapat 497 ramuan; jilid 2, 455 ramuan; jilid 3, 489 ramuan; dan jilid 4, 293 ramuan. Maka total keseluruhan dari 4 jilid Serat Primbom Reracikan Jawi ini berjumlah 1.734 ramuan. Apa yang dapat disimpulkan? Langsung atau tidak, besarnya angka ini memperlihatkan, bahwa masyarakat Jawa pada waktu itu sudah maju dalam seni pengobatan. Mudah diduga, masyarakat Jawa saat itu sudah paham akan berbagai fungsi dari bahan-bahan yang tersedia, takaran, cara meramu, dan cara pemanfaatan ramuan. Pengetahuan tentang pengobatan tradisional ini diperoleh masyarakat berdasarkan pengalamannya secara empiris dalam mengelola kehidupan mereka.

Lantas ihwal kedua yang saya ingin uraikan ala kadarnya adalah ilmu astronomi jawa.Pawukon merupakan sistem penanggalan tradisional yang mempunyai waktu terukur, dan dipergunakan sebagai dasar penentuan segala aktifitas daur hidup dan kematian masyarakat Indonesia. Pawukon menunjukan kearifan lokal. Berdasarkan prasasti dan temuan-temuan arkeologis menunjukkan bahwa Pawukon  merupakan budaya asli masyarakat Indonesia yang dipergunakan dan mengakar secara turun-temurun. Hingga saat ini Pawukon masih relevan dipergunakan oleh masyarakat pendukungnya hampir di seluruh Indonesia terutama di sepanjang pulau Jawa, Madura, Bali, Lombok (periksa Sudharta, 2008: 20-21).

Pawukon digunakan masyarakat Indonesia sebagai dasar perhitungan mengenai “Pranata mangsa” (tata waktu). Pranata mangsa di Nusantara dibagi dalam dua belas mangsa (Tanojo, 1962). Pranata mangsa dimulai dari mangsa kasa (musim pertama) yang dimulai pada tanggal 23 Juni dalam kalender masehi (Sudhartha, 2008). Tiap-tiap mangsa menandai perubahan pembawaan iklim atau cuaca sehingga mempengaruhi aktifitas kehidupan sehari-hari, bahkan lebih mendalam lagi juga mempengaruhi sifat dan karakter bayi yang terlahir, perilaku fauna, pertumbuhan flora-fauna dan lain sebagainya. Keberadaan inilah yang kemudian Pawukon mendasari pranata mangsa yang menjadi pedoman dalam beratifitas hidup pada tiap-tiap mangsa (Tanojo, 1962).

Manuskrip Serat Pawukan koleksi Museum Radyapustaka menjelaskan bahwa Pawukon  sebagai penanggalan tradisional masyarakat Jawa menggunakan dasar perubahan rotasi yang terjadi dalam waktu setiap 7 hari (sapta wara) yang dimulai dari hari redite (minggu) sampai hari tumpak (sabtu). Pawukon bersandar pada konsep astronomi dan membaginya menjadi 30 wuku. Tiap wuku bergeser tiap 7 hari sehingga dalam satu rotasi wuku terdiri dari 210 hari (7 hari x 30 wuku). Manuskrip Pawukon Jawi yang dibuat pada era Keraton Kartasura (abad XVII) yang dikoleksi Museum Brojobuwono memberikan penjelasan yang sama dan menambahkan dengan ilustrasi gambar tiap-tiap wuku dengan baik. Setiapwuku disimbolkan pada figur keluarga Prabu Watu Gunung, yaitu: Prabu Watu Gunung sendiri, 2 orang istrinya (Sinta dan Landhep), beserta 27 putra-putranya yang bernama : Wukir, Kurantil, Tolu, Gumbreg, Warigalit, Warigagung, Julung Wangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Mondosio, Julung Pujud, Pahang, Kuruwelud, Mrakeh, Tambir, Madangkungan, Maktal, Wuye, Manail, Prangbakat, Bala, Wayang, Wugu, Kulawu, dan Dukut.(periksa pula Sudhartha, 2008; Tanojo, 1962; Ranoewidjojo, th 2009).

Manuskrip Pawukon (koleksi Sasana Pustaka Karaton Surakarta Hadiningrat) telah memberikan penjelasan secara mendetail tiap-tiap wuku, demikian pula yang tertera dalam Kitab Centini  yang dibuat pada era Susuhunan Paku Buwana IV menjelaskan bahwa tiap-tiap nama Pawukon  memiliki tanda, sifat, dan makna tertentu yang disimbolkan melalui nama-nama dewa yang menaunginya. Beberapa sifat dewa itulah yang digunakan sebagai dasar penentuan aktifitas daur hidup dan kematian masyarakat pendukungnya. Pawukon digunakan sebagai dasar dalam penentuan musim dengan bersandar pada tanda alam sehingga, Pawukon sebagai dasar musim tanam, musim panen dan jenis tanaman yang dipilih untuk ditanam para petani yang populer disebut “Pranatamangsa”. Pawukon digunakan sebagai dasar menengarai perubahan cuaca (angin barat dan angin timur) untuk para nelayan, selain itu digunakan sebagai dasar musim ikan sebagai hasil tangkapan. Lebih jauh Pawukon  digunakan sebagai dasar  setiap aktifitas daur hidup dari kelahiran, pernikahan, pendirian rumah, perayaan hari-hari besar, upacara adat dan upacara keagamaan, dan lain sebagainya hingga upacara kematian (Hadikoesoema, 1985; Periksa pula Sudhartha, 1958).

Masyarakat Nusantara memiliki pandangan bahwa pengaruh unsur-unsur yang diterima bumi oleh planet-planet lain juga akan berpengaruh pada kehidupan manusia. Bumi mendapat pengaruh dari planet-planet lainnya demikian pula halnya dengan diri manusia, sehingga menimbulkan sifat, perangai, dan nasib yang berlainan. Hari pada saat seseorang lahir ke bumi mendapat pengaruh juga dari planet-planet yang mempengaruhi bumi. Memang pada dasarnya nasib manusia bergantung perbuatannya yang ditentukan Tuhan, tetapi dalam perjalanan hidupnya manusia dipengaruhi oleh kekuatan yang berasal pada planet-planet yang kebetulan sesuai dengan hari kelahirannya (Departemen P dan K Jakarta, 1988; Sudhartha, 2008:3). Oleh karena itu Pawukon  secara personal juga dapat digunakan sebagai dasar penentuan kecenderungan karakter, sifat, perilaku, perawakan seseorang yang dilihat melalui wuku kelahirannya. Melalui Pawukon inilah seseorang akan memahami kelebihan dan kekurangan yang ada dalam dirinya sehingga akan berusaha menyikapinya dengan baik (Departemen P dan K Jakarta, 1988; Surija, 1960). Lantas sudah menjadi kebiasaan atau memang sengaja para leluhur meninggalkan ilmu dengan yang diubah sandi. Entah itu ketakutan mereka akan diklaim luar atau dengan sengaja mengisyaratkan agar kita pewaris menerjemahkan yang dalam bahasa jawa ”babagan” ilmu yang di buat cerita dongeng.

Saya ambilkan contoh dari tulisannya Raden Ngabehi Ronggowarsito supaya mudah, karena kita hanya membuka satu kisah saja. Kalau kita mencoba membahas semua dongeng disini, tidak akan mungkin bisa mengupas artinya karena terlalu banyak variasi ceritanya, sehingga akhirnya bukan mengupas sandi tapi membahas cerita dongeng sampai dunia kiamat. Dalam buku “Pustoko Rojo Purwo” gubahan Mas Ronggowarsito ada cerita lakon “WATUGUNUNG” yang mengisahkan hidupnya sejak kecil sampai menjadi raja di Negara Gilingwesi yang diuraikan sebagai berikut:Dewi Sinto yang keluar dari dalam tanah, untuk dapat bertemu dengan Begawan Wrahaspati harus memasak daging Banyak (Angsa) dan daging Wedhus Pedro (Domba).

Cerita tersebut sesungguhnya adalah kiasan sandi ilmu perbintangan, yaitu Wrahaspati adalah Planet Jupiter, Dewi Sinto yang keluar dari tanah melambangkan Bumi (Dunia). Banyak/Angsa adalah lambang gugusan bintang “Banyak Angrem” yaitu bintang Scorpio. Sedangkan Wedhus Pedro atau Domba adalah bintang Aries..Dalam cerita diterangkan bahwa pertemuan Wrahaspati dengan Dewi Sinto menghasilkan anak yang namanya Radite yaitu Matahari yang dibesarkan oleh Begawan Radi titisannya Batara Surya. Pertemuan Wrahaspati dengan Dewi Landep menghasilkan anak R.Wukir. Pertemuan Wrahaspati dengan Dewi Somo (Bulan) menghasilkan anak Anggoro (Mars), Sukro (Venus) dan Budo (Mercury). Pertemuan Dewi Somo dengan Radite menghasilkan anak Dewi Tumpak (Saturnus). Raden Radite ini akhirnya menjadi raja Watugunung.Sinto, Landep, Wukir dan Watugunung termasuk menjadi nama Wuku dan ke 26 nama wuku lainnya adalah nama anak Wrahaspati yang lahir dari beberapa istri lainnya.

Lantas membahas pendidikan karakter hari ini, jawa sudah lebih membahas ihwal tersebut. Dalam Serat Wedhatama adalah sebuah karya sastra Jawa Baru yang bisa digolongkan sebagai karya moralistis-didaktis yang sedikit dipengaruhi Islam. Karya ini secara formal dinyatakan ditulis oleh KGPAAMangkunegara IV. Walaupun demikian didapat indikasi bahwa penulisnya bukanlah satu orang. Disebutkan bahwa penulis lainnya yakni Raden Ngabehi Ranggawarsita dan beberapa pujangga lainnya. Serat ini dapat diklasifikasikan menjadi lima nilai yaitu nilai karakter manusia terhadap Tuhan, nilai karakter untuk diri sendiri, nilai karakter manusia terhadap sesama, nilai karakter manusia terhadap lingkungan dan nilai karakter manusia terhadap kebangsaan.

Nilai-nilai relegius dalam Serat Wedatama banyak disajikan dalam bentuk anjuran bagaimana manusia melakukan hubungan manusia sebagai hamba untuk memuja kepada penciptanya atau yang kuasa. Dalam Serat Wedatama Tuhan disebut dengan berbagai istilah, istilah yang berbeda-beda itu disesuaikan dengan konteksnya. Seperti yang diungkapkan dalam pupuh pocung bait ke 12.

“Bathara gung

Inguger graning jajantung

Jenek Hyang Wisesa

Sana pasenedan suci

Nora kaya si mudha mudhar

Angkara”

Terjemahan:

 

“Yang maha baik di tempatkan di

Dalam hati, yang maha kuasa

Kerasan ditempat peristirahatan

Yang suci. Tidak seperti ulah

Si muda yang menuruti nafsu angkara “

Kata Bathara Gung pada ungkapan diatas merupakan nama lain untuk penyebutan Tuhan yang berada pada disetiap manusia, sehingga Tuhan Maha Mengetahui, apapun yang diperbuat oleh hambanya di dunia. Oleh karena itu segala perbuatan dan tingkah laku manusia haruslah dihaturkan kepada Tuhan sebagai penghambaan dirinya kepada sang pencipta yang menguasai segala sesuatu. Hamba dalam pupuh pucung tersebut diartikan sebagai manusia. Hamba artinya kecil atau banyak memiliki keterbatasan. Tuhan yang Maha Kuasa sedangkan manusia hanyalah titah yang harus sujud pada Sang Penciptanya. Hakikat nilai religious diwujudkan dengan ketundukkan jiwa yang timbul karena hati merasakan cinta akan Tuhan yang dipuja dan merasakan kebesarannya.

Dalam akulturasi budaya jawa dan islam ditemukannya mushaf kuno. Salah satu mushaf kuno yang dikenal dengan sebutan Mushaf Kanjeng Kiai Qur’an yang sekarang masih tersimpan di Perpustakaan Widya Budaya, di lingkungan keraton Yogyakarta. Mushaf ini merupakan salah satu benda warisan berupa mushaf Al-Qur’an kuno yang selesai ditulis pada tahun 1799 (Abad 18 M) di Surakarta Hadiningrat. Mushaf ini ditulis oleh salah satu Abdi Dalem Keraton Surakarta yang bernama Ki Atma Parwita dan diselesaikan dalam waktu dua bulan setengah pada tahun 1724 (Jawa) atau bertepatan dengan 1212 H dan 1797 M. Mushaf ini dinamakan “Kanjeng Kiai Qur’an” karena dikaitkan dengan kepercayaan orang Jawa tentang kesaktian yang dimiliki oleh manusia, hewan atau benda-benda yang dikeramatkan. Adapun jenis qira’at yang digunakan dalam mushaf tersebut adalah qira’at Imam ‘Ashim yang diriwayatkan oleh Imam Hafsh.

Pada kolofon mushaf ini tertulis:

“Kagungan dalem Qur’an ingkang nerat Abdi Dalem Ki Atma Perwita Hurdenas Sepuh. Kala wiwit anerat ing dinten Arba’ wanci pukul setengah sewelas tanggal ping selikur ing wulan Rabiul Akhir ing tahun jim awal angkaning warsa 1724. Kala sampun aneratipun ing dinten salasa wanci pukul setengah sanga tanggal ping nem ing wulan Ramdhon ing Surakarta Adiningrat hadza baladi Jawa.”

“Qur’an milik Tuan yang menyalin Abdi Dalem Ki Atma Perwita Hurdenas Sepuh. Mulai disalin pada hari Rabu pukul 10.30 tanggal 21 Rabi’ul Akhir tahun Jim Awal 1724. Selesai disalin pada hari Selasa pukul 8.30 tanggal 6 Ramadan di Surakarta Adiningrat, negeri Jawa.”

Mushaf Al-Qur’an ini awalnya dimiliki oleh putri Sultan Hamengkubuwana II, yang bernama Kanjeng Gusti Raden Ayu Sekar Kedhaton (1772-1828). Yang diperoleh dari pengajaran Al-Qur’an yang diampu oleh Haji Mahmud, salah satu modin di keluarga Keraton. Pemilik naskah ini adalah istri dari Raden Tumenggung Notoningrat, anak pangeran Notokusumo.  Mushaf yang memiliki ukuran 40 x 28 cm dengan ketebatalan 11 cm ini ditulis menggunakan khat Naskhi. Terdapat 15 baris pada setiap halamannya, dengan jumlah 575 halaman termasuk halaman kolofon. Sampul yang berbahan kulit dengan hiasan sederhana namun mengesankan dengan seni keraton yang eksoterik. Adapun jenis rasmnya merupakan perpaduan antara rasm utsmani dan imla’i.  Mushaf ini ditulis dengan menggunakan tinta hitam untuk huruf dan tinta merah untuk harakat. Setiap awal surat ditandai dengan kotak yang di dalamnya tertulis nama surat, jumlah ayat, dan tempat diturunkannya ayat tersebut.

Yang membuat mushaf ini menarik adalah komposisi ornamen iluminasinya. Ornamen itu terdapat pada setiap halaman dengan komposisi warna merah, emas, biru, hitam, pink, dan hijau muda. Motif ornamennya berupa sulur bunga, motif saton, serta garis tegas yang membingkai teks berwarna emas dan merah. Ornamen yang lebih mewah terdapat pada awal mushaf (Surat al-Fatihah dan Surat al-Baqarah), tengah mushaf (Surat al-Kahfi), dan akhir mushaf (Surat al-Falaq dan an-Nas). Kemewahan lain dalam surat-surat itu terlihat dari baris perhalaman yang hanya berisi 5-7 baris dengan motif silangan garis-garis tegas yang membentuk motif kotak-kotak dan segitiga. Penggunaan motif-motif ini menegaskan jika sebagai produk budaya, Al-Qur’an bisa berdialektika dengan kultur, sejarah, dan tradisi setempat. Seni yang ditampilkan dalam mushaf tersebut tergolong seni tinggi dan berbeda dengan mushaf biasanya.

Maka pelbagai uraian diatas patut kami kembalikan kepada para pembaca. Guna dipelajari sekaligus dikembangkan. Khazanah di atas seharusnya berbicara bahwa kita adalah pewaris. Sangatlah keterlaluan jika nenek moyang adalah penemu segala macam ilmu sedangkan kita generasi penerus mudah dibodohi dengan berbagai asupan dari budaya luar yang hulu hilirnya sudah jelas merusak jati diri bangsa.

Muhammad Taufik Ismail, Pemerhati Sosial, tinggal di Gresik Jawa Timur; Andini Dwi Maghfiroh, Mahasiswi Fakultas Ilmu Kesehatan, AM Shoviy Ajeng Manila dan Galuh Ivani Istina Putri, Mahasiswi Pendidikan Agama Islam tinggal di Lamongan, Jawa Timur.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com