Siapa Sesungguhnya Musuh Kita dan Bagaimana Postur Kejayaan Indonesia

Bagikan artikel ini

Sebuah Permenungan Geopolitik

Musuh kita bukanlah ras, golongan, etnis dan/atau agama tertentu, ataupun aliran-aliran (agama) nyleneh di masyarakat. Bukan. Bukan itu saudara-saudara!

Musuh bangsa ini adalah kemiskinan tak bertepi yang diakibatkan oleh sistem kekuasaan yang menindas. Lantas, semacam apa kekuasaan yang menindas itu?

Ya. Sistem kekuasaan itu sekurang-kurangnya berasal dari dua sumber. Dan sumber teraktual antara lain yaitu:

Pertama, adalah sistem politik yang dibidani oleh reformasi 1998 dalam ujud paling brutal melalui 4 kali amanden UUD 1945. Itu titik awal. Kenapa? Karena dari amandemen UUD baru —orang menyebutnya UUD 2002— lahirlah berbagai produk UU, dan UU tersebut selain tidak berpihak kepada rakyat bahkan merugikan geopolitik Indonesia, juga UU dimaksud justru memiliki potensi membawa lari kekayaan bangsa ini ke luar;

Kedua, kuatnya oligarki dalam dunia perpolitikan serta berakibat banyak kebijakan yang dibuat oleh rezim justru hanya untuk melayani sekelompok oligarki, baik itu oligarki yang berbentuk penguasa yang merangkap sebagai pengusaha maupun si pemilik modal itu sendiri.

Selanjutnya format dan postur Indonesia Jaya di masa depan, mutlak harus dimulai dari diskusi, permenungan dan/atau penelitian intensif lagi tajam di semua strata masyarakat, guna memahami, selain mengenali karakter bangsa sendiri, juga mengurai model rezim semacam apakah yang cocok untuk bangsa yang plural lagi majemuk ini? Ini penting agar bangsa ini tidak meraba-raba, supaya bangsa ini mengenal “dirinya sendiri” dan tidak dipermainkan oleh manuver geopolitik para adidaya.

Rusia contohnya, ternyata ia tidak cocok dengan keterbukaan dan demokrasi ala Barat yang mengakibatkan Uni Soviet pecah berkeping-keping. Ketika Putin naik ke kursi kepemimpinan dengan sistem otoriter, misalnya, rakyatnya tidak peduli dengan sistem dan model apapun yang diterapkan para elit dan pimpinan yang penting mereka makmur dan Rusia diperhitungkan dunia. Jepang pun demikian. Sikap konservatif, disiplin, mengagungkan local wisdom dengan sistem kekaisaran, ia mampu bangkit usai kekalahannya dalam Perang Dunia II dan kini Jepang terpandang di dunia.

Pertanyaannya, “Bagaimana dengan Indonesia?”

Apakah perlu kembali lagi ke demokrasi terpimpin ala orde lama; atau mengulang demokrasi (Pancasila) ala orde baru; atau model seperti era reformasi kini? Ataupun, kembali pada sistem kerajaan seperti Majapahit tempo doeloe? Ini memang perlu diskusi, permenungan, ataupun penelitian secara mendalam.

Ya. Sembari kita diskusi, merenung dan sembari meneliti tentang sistem semacam apa yang cocok bagi format kejayaan Indonesia ke depan, seyogianya Indonesia kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden dan diperlukan beberapa dekrit tambahan untuk pembatalan UU yang merugikan (geopolitik) Indonesia. Kenapa harus kembali ke UUD 1945? Banyak pakar menyatakan, bahwa sistem yang bersumber dari amandemen UUD telah menyesatkan bangsa ini dari tujuan awal pendiri bangsa yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Ibarat orang tersesat, kita mutlak harus kembali ke titik mula, bukannya terus berjalan dengan cara yang menduga-duga.

Ada filsafat dari Timur Tengah yang perlu direnungkan, “Barang siapa mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhannya”. Ya. Tuhan adalah TUJUAN semua makluk entah ia jin, malaikat, manusia, binatang dan seterusnya. Siapapun makhluk; siapapun organisme yang hidup, berkembang, menyusut dan mati; apapun negara jika ia tidak kenal dirinya maka tak akan sampai pada TUJUAN-nya yakni masyarakat adil berkemakmuran serta makmur berkeadilan.

Terima kasih

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com