Jejak “Asing” di Papua

Bagikan artikel ini

Tim Riset Global Future Institute (GFI)

Pengantar Redaksi: Untuk melengkapi artikel terdahulu dari Ahmad Sofyan, bertajuk Referendum di Papua : Belajarlah dari Sudan, berikut kami sertakan rincian manuver campur-tangan asing dalam ikut serta mengkondisikan sikap perlawanan berbagai kelompok separatis pro kemerdekaan Papua sepanjang rentang waktu antara 2002 hingga 2009.

29 Mei-4 Juni 2009
Digelar Kongres Papua yang dihadiri Sekretaris Kedutaan Besar Amerika, utusan Australia, Inggris dan negara asing lainnya. Kongres tersebut sepakat menggugat penyatuan Papua dalam NKRI yang dilakukan pemerintah Belanda-Indonesia dan PP pada masa pemerintahan Presiden Sukarno.
7 Desember 2009
Terjadi penyerangan kantor Polsek Abepura oleh sekelompok  orang bersenjata golok dan parang. KPP HAM Komnas HAM menyimpulkan telah terjadi pelanggaran beat hak asasi manusia berupa kejahatan terhadap kemanusiaan.
31 Maret 2001
Sekelompok orang bersenjata menyerang PT Darma Mukti Persada (DMP) di kecamatan Wasior.
November 2001 
Kerusuhan di Sentani pasca pembunuhan Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay.
April 2003
Terjadi pembobolan gudang senjata api milik kodim Wamena.
31 Agustus 2002
Terjadi penembakan di Mile 62-63 jalan Timika Tembagapura yang menewaskan tiga karyawan Freeport Indonesia. Dua warga Amerika Serikat dan satu WNI. AS menggunakan momentum ini untuk mengangkat isu Papua ke dunia internasional. FBI dan CIA datang ke Papua untuk mengusut peristiwa itu. Persoalan Papua berhasil diangkat menjadi perhatian negara-negara di dunia maupun masyarakat internasional sebagai kasus pelanggaran HAM.
Maret 2004
Uskup Desmon Tutu, parlemen Irlandia, parlemen Eropa, LSM, mendesak PBB untuk meninjau ulang Pepera 1969.
28 Juni 2004
19 senator AS berkirim surat kepada Sekretaris Jenderal PBB Kofi Anan, agar menempatkan perwakilan khusus untuk Indonesia guna memonitor kondisi hak asasi manusia di Papua Barat dan wilayah Aceh.
Juli 2005
Kongres AS membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) 2601 yang memuat masalah Papua, yang akhirnya disetujui oleh Kongres AS. RUU tersebut menyebutkan adanya kewajiban Menteri Luar Negeri AS untuk melaporkan kepada kongres tentang efektivitas otonomi khusus dan keabsahan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969.
Akhir 2005
Kongres AS mempermasalahkan proses bergabungnya Irian Barat(Papua) dengan Indonesia.
Maret 2006
Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) Syamsir Siregar mensinyalir ada upaya LSM yang didanai asing ikut memprovokasi kerusuhan di Abepura.
Maret 2006
Kementerian Imigrasi Australia memberikan visa sementara bagi 42 aktivis pro kemerdekaan Papua yang meminta suaka politik.
28 November 2007
Anggota Kongres AS, Eny Faleomavaega, kembali melakukan kunjungan ke Indonesia. Secara khusus Eny melakukan kunjungan ke sejumlah wilayah Papua seperti Biak dan Manokwari, untuk melihat langsung kondisi Papua setelah enam tahun otonomi khusus (otsus).
16 Juni 2008
ICG (International Crisis Group) mengeluarkan laporan “Indonesia: Communal Tension in Papua.” Disimpulkan bahwa pemerintah mendukung aktivitas Islam untuk menganeksasi minoritas non Muslim di Papua.
Juli 2008
40 anggota Kongres AS mengirimkan surat ke Presiden SBY, mendesak untuk membebaskan segera dan tanpa syarat Filep Karma dan Yusak Pakage.
Diolah dari berbagai sumber. 
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com