KAA, Cermin Kesadaran Geopolitik Indonesia

Bagikan artikel ini

“Saya tegaskan kepada anda semua, kolonialisme belumlah mati. Dan, saya meminta kepada Anda jangan pernah berpikir bahwa kolonialisme hanya seperti bentuk dan caranya yang lama, cara yang kita semua dari Indonesia dan dari kawasan-kawasan lain di Asia dan Afrika telah mengenalinya. Kolonialisme juga telah berganti baju dengan cara yang lebih modern, dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual, dan kontrol langsung secara fisik melalui segelintir elemen kecil namun terasing dari dalam suatu negeri. Elemen itu jauh lebih licin namun bisa mengubah dirinya ke dalam berbagai bentuk.” (Bung Karno)

“If you are not with us, you are against us!” (“Kalau kalian tidak berpihak kami, berarti kalian menentang dan jadi musuh kami”!) nada ancaman itu keluar dari mulut mantan Menlu AS John Foster Dullers ketika Konferensi Bandung, atau lebih dikenal dengan Konferensi Asia Afrika (KAA) berhasil diselenggarakan pada 18 sampai 24 April 1955 di Bandung.

Dunia terhenyak! Suatu konferensi yang terdiri dari bangsa-bangsa dan negeri-negeri merdeka, seperti Ethiopia, Mesir, Thailand, India, Burma, Indonesia dan Jepang; yang dalam proses merdeka, seperti Ghana dan Vietnam Selatan mampu diselenggarakan. Bahkan dihadiri oleh negeri-negeri yang terikat dengan pakta-pakta militer Barat SEATO, CENTO DAN NATO.

Bagaimana mungkin negeri-negeri yang begitu beraneka ragam politik luar negeri dan aliansi militernya, bisa berkumpul dan mencapai persetujuan bersama? Apakah mungkin suatu negeri atau kelompok negeri-negeri untuk berdiri sendiri, tidak ‘memihak sana’ tidak ‘memihak sini’? Bukankah di antara yang hadir di Bandung itu ada yang terikat dengan blok Barat, seperi Filipina dan Thailand yang anggota SEATO, yang dikepalai oleh AS? Bukankah Tiongkok dan Vietnam Utara, adalah bagian dari Blok Timur yang dikepalai oleh Uni Soviet? Bukankah Turki anggota NATO, dan bukankah Irak anggota CENTO (Pakta Organisasi Timur Tengah atau METO, juga dikenal seperti Pakta Baghdad), yang dikepalai oleh AS? Selain itu terdapat negeri-negeri yang menempuh politk luar negeri yang ‘bebas dan aktif’, yang sering dikatakan ‘netral’, tidak memihak sana dan tidak memihak sini, seperti India dan Indonesia?

Namun, para utusan dari negeri-negeri Asia Afrika itu menepis semua keraguan. Mereka bisa berunding, bisa musyawarah dan telah mencapai kata sepakat. Mereka mewakili bangsa-bangsa dan negeri-negeri yang mendambakan kermerdekaan dan kebebasan, kerjasama, kemajuan dan perdamaian dunia. Musuh bersama mereka adalah kolonialisme dalam segala manifestasinya!

Dari KAA tersebut lahirlah sebuah konsensus. Sebuah rumusan yang secara implisit mengecam Uni Soviet maupun negara-negara barat kala itu. “Kolonialisme dalam segala pernyataannya (colonialism in all of its manifestations) harus dikutuk..!”.

Memang ketika itu, lahirnya dua blok kekuatan yang bertentangan secara ideologi, dimana Blok Barat yang dikomandoi oleh Amerika Serikat (kapitalis) dan Blok Timur dibawah pimpinan oleh Uni Soviet (komunis), semakin memanaskan situasi dunia. Perang Dingin berkembang menjadi konflik perang terbuka, seperti di jazirah Korea dan Indo-Cina. Perlombaan pengembangan senjata nuklir meningkat. Hal tersebut menumbuhkan ketakutan dunia akan kembali dimulainya Perang Dunia.

Meskipun pada masa itu telah ada badan internasional yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfungsi menangani masalah dunia, namun pada kenyataannya badan ini tidak mampu menyelesaikan persoalan tersebut, sementara akibat yang ditimbulkan oleh masalah-masalah ini sebagian besar diderita oleh bangsa-bangsa di Asia dan Afrika.

Kala itu, pada saat lahirnya KAA,  Indonesia yang dicerminkan melalui Bung Karno, begitu ‘superior’. Indonesia mampu menunjukkan ketegasan sikapnya atas ketidakpuasannya terhadap keengganan negara-negara barat untuk memandang negara-negara Asia Afrika sebagai mitra berunding, tentang langkah dan kebijakan mereka yang berdampak terhadap bangsa-bangsa yang baru merdeka, dan yang sedang berjuang untuk merdeka di dua benua itu.

Bangsa-bangsa Asia-Afrika yang berkumpul di Bandung selama seminggu itu, menyatakan bahwa mereka berhasrat dan bertekad untuk hadir di dunia ini sebagai kekuatan politik yang berjuang untuk bebas berdiri sendiri, tidak menjadi embel-embel daril blok-blok yang merupakan pihak-pihak terlibat dalam ‘Perang Dingin’. Hal mana sesungguhnya merupakan fenomena baru yang muncul di dunia geopolitik internasional.

Dalam kesempatan itu, Presiden Soekarno menyampaikan pidato yang bersejarah dengan judul Let A New Asia And New Africa Be Born (Mari Kita Lahirkan Asia Baru dan Afrika Baru). Berikut cuplikan pidato Bung Karno:
“Saya tegaskan kepada anda semua, kolonialisme belumlah mati. Dan, saya meminta kepada Anda jangan pernah berpikir bahwa kolonialisme hanya seperti bentuk dan caranya yang lama, cara yang kita semua dari Indonesia dan dari kawasan-kawasan lain di Asia dan Afrika telah mengenalinya. Kolonialisme juga telah berganti baju dengan cara yang lebih modern, dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual, dan kontrol langsung secara fisik melalui segelintir elemen kecil namun terasing dari dalam suatu negeri. Elemen itu jauh lebih licin namun bisa mengubah dirinya ke dalam berbagai bentuk.”

Kooptasi Asing terhadap Geopolitik Indonesia

Keberanian Bung Karno lahir dari kesadarannya terhadap geopolitik yang dimiliki Indonesia. Luas wilayah yang mendominasi kawasan, penduduk terbanyak dan sumber daya alam terkaya di kawasan Asia Tenggara, menempatkan Indonesia sebagai kekuatan utama dan kunci stabilisator keamanan kawasan. Bukan suatu yang berlebihan, bila Indonesia menjadi bagian yang penting bagi kepentingan maupun kemajuan perekonomian kawasan dan dunia. Konsekuensi logisnya, Indonesia harus mampu memainkan peranan penting sebagai kunci stabilitator keamanan kawasan.

Pertanyaan yang kemudian muncul, akankah saat ini hingga di masa-masa mendatang Indonesia tetap mampu memainkan peran pentingnya. Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia dan terletak di posisi silang antara dua benua dan dua samudera. Konsekuensi logisnya banyak kapal-kapal asing, baik itu kapal niaga sampai kapal induk untuk kepentingan perang  yang akan melalui jalur laut teritorial di Indonesia. Hal ini menjadikan Indonesia layaknya aquarium raksasa yang bebas dimasuki oleh lalu lalang kapal-kapal asing tesebut.

Namun apa mau dikata, kesepakatan hukum internasional yang telah ditetapkan berdasarkan Hukum Laut Internasional/UNCLOS 1982, melalui apa yang dinamakan ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) yaitu suatu alur laut di wilayah perairan Indonesia yang dapat dilewati oleh kapal dan pesawat udara asing secara  terus menerus dan langsung serta secepat mungkin tidak mampu ‘dikontrol’ terhadap lalu lalang kapal yang terjadi di alur tersebut. Dimana saat ini Indonesia memiliki 3 ALKI dan 1 SloC (Sea Lane of Communication).

Meskipun Indonesia telah menyediakan 3 ALKI sebagai jalur lintas damai –merupakan bentuk ratifikasi dari UNCLOS 1982-  yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik serta laut Tiongkok Selatan, tetapi negara-negara barat memiliki ambisi tertentu. Amerika Serikat tetap menginginkan tambahan ALKI IV yang menghubungkan dari Timur ke Barat melalui laut Jawa. Keinginan ini disampaikan menteri pertahanan Amerika Serikat pada forum The 7th IISS Asia Security Summit Shangri-La Dialogue di Singapura tahun 2008 (Ali Helvas,2008).

Dapat dirasakan, dengan posisi yang sangat strategis ini, Indonesia sudah terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan negara barat melalui berbagai hukum dan perjanjian internasional. Hal ini mengingat jalur perdagangan dunia hari ini berkorelasi dengan kepentingan dagang negara-negara maju. Berdasarkan keterangan Kementerian Perhubungan, dari Asia Timur ke Eropa hingga Amerika hampir 90% perdagangan Internasional diangkut melalui jalur laut. Dari 40% perdagangan Internasional itu semuanya melewati jalur ALKI.

Kesadaran Geopolitik dalam KAA

Dalam paparan tulisan Hendrajit selaku Direktur Global Future Institute (GFI) yang berjudul  Bung Karno dan “Garis Hidup Asia-Afrika” di situs The Global Review menjelaskan bagaimana Bung Karno begitu sangat menguasai betul dimensi geopolitik dari kolonialisme dan imperialisme. Pemahaman geopolitik Bung Karno terlihat dalam pidato pembukaan KAA yang mampu menginspirasi para peserta:
“Saudara-saudara, betapa dinamisnya zaman kita ini. Saya ingat, bahwa beberapa tahun lalu saya mendapat kesempatan membuat analisa umum tentang kolonialisme. Dan bahwa saya pada waktu itu meminta perhatian pada apa yang saya namakan ‘Garis Hidup Imperialisme.’ Garis itu terbentang  mulai selat Jibraltar, melalui Lautan Tengah, Terusan Suez, Lautan Merah, Lautan Hindia, Lautan Tiongkok Selatan (Sekarang Laut Cina Selatan) sampai ke Lautan Jepang. Daratan-daratan sebelah-menyebelah garis hidup yang panjang itu sebagian besar adalah tanah jajahan. Rakyatnya tidak merdeka. Hari depannya terabaikan kepada sistem asing. Sepanjang garis hidup itu, sepanjang urat nadi imperialisme itu, dipompakan darah kehidupan kolonialisme.”

Hendrajit memperjelas bahwa melalui paparan ini, Bung Karno secara inspiratif memberi sebuah gambaran nyata sekaligus memetakan akar masalah sesungguhnya konflik global dan betapa pentingnya para pemimpin Asia-Afrika yang hadir di KAA tersebut untuk membangun solidaritas bangsa-bangsa Asia-Afrika atas dasar nasib yang sama menjadi sasaran geopolitik negara-negara kolonial atas dasar garis hidup imperialisme yang secara geopolitik digambarkan Bung Karno.

Jelas, kehadiran KAA yang kemudian menjelma menjadi Gerakan Non Blok (GNB) sangat membahayakan eksistensi dua kubu yaitu AS dan Uni Soviet. Keberadaan GNB bukanlah semata gerakan netral blok, akan tetapi merupakan upaya membentuk blok alternatif selain AS dan Uni Soviet. Netral bukanlah tidak berposisi, melainkan sebuah posisi alternatif.

Bung Karno menolak tegas pengaruh kedua negara yang hendak menjadikan Indonesia di bawah kepemimpinannya menjadi ‘anjing peliharaan’ bagi kedua negara terkuat dunia kala itu. Kebijakannya tersebut didampingi oleh sikap beraninya dalam menghimpun pemimpin-pemimpin dunia ketiga untuk menyatakan sikap yang menolak gerakan blok. Inisiatif Bung Karno dalam menolak gerakan blok yang ada ditandai dengan terselenggaranya KAA yang di dalamnya terdapat negara-negara Asia dan juga Afrika yang baru saja merdeka pasca berakhirnya Perang Dunia II.

Keasadaran Geopolitik Elit Politik

Mantan Menhan Joewono Soedarsono mengibaratkan Indonesia layaknya open book  bagi kekuatan militer asing yang dapat dengan mudah dipantau kekuatannya oleh Amerika Serikat (AS), Australia, Jepang, Rusia, Cina, bahkan Singapura dan Malaysia. Bahkan menurutnya, hal ini sudah terjadi sejak tahun 1960-an.

Meskipun sudah diingatkan, namun sangat ironis, elit politik di negeri ini memperlihatkan kesadaran geopolitik yang sangat rendah. Dengan berada di posisi silang, letak geopolitik Indonesia seharusnya membuat bargaining position-nya menguat, bukannya malah menjadikan Indonesia bagai “buku terbuka bagi militer asing”. Idealnya negara yang dicerminkan oleh kepala negara memiliki visi geopolitik yang dikenal dengan istilah spatially enabled government. Kombinasi kesadaran antara dua pihak ini akan mendukung tegaknya sebuah peradaban yang tinggi, yang tentu sangat dipengaruhi oleh kekuatan ideologinya.

Bahkan mantan Ketua Program Kajian Stratejik Ketahanan Nasional UI, Wan Usman, menilai Pemerintah Republik Indonesia dalam banyak hal terus menerus didikte negara lain seperti Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa, karena peta kekuatan militer di laut dan udara masih relatif lemah. Menurutnya, era abad ke-21, suka atau tidak suka, negara yang mampu mendominasi kekuasaan laut dan udara akan mengendalikan dunia, karena berkaitan dengan kemampuan menguasai teknologi, termasuk profesionalisme militer. Amerika Serikat dengan Armada lautnya (kapal selam) gentayangan di mana-mana, menggerayangi lautan Indonesia, dengan gratis. Satelit ruang angkasa yang dikontrolnya telah menguasai informasi di seluruh dunia.

Dalam kesempatan di Diskusi Terbatas yang diselenggarakan GFI, M. Arief Pranoto (Direktur Program Studi Geoppolitik dan Kawasan) juga mengingatkan, secara geoposisi, meniscayakan republik ini merajut hubungan dengan berbagai negara pada kedua benua tersebut. Tak bisa tidak. Ia akan memegang posisi kunci di antara negara-negara tersebut di satu sisi, namun pada sisi lain, ia bisa saja ‘diplokoto’(diperkuda) — mungkin hanya dijadikan buffer zone (wilayah penyangga) belaka, atau jangan-jangan cuma sekedar proxy war (lapangan tempur) bagi kepentingan negara-negara lain tetapi mengambil lokasi di Bumi Pertiwi. Silahkan pilih mana atau mau jadi apa, maka tergantung geostrategi dan policy pemerintah serta bagaimana anak bangsa ini menyikapi secara cerdas takdir geo (politik) posisi tersebut.

Sejatinya penguasaan aspek geopolitik bangsa menjadi visi besar suatu pemerintahan dalam sebuah negara. Di negara-negara maju, 80% pengambilan kebijakan telah didasarkan kepada informasi geopolitiknya. Dan Indonesia merupakan negara kepulauan dengan wilayah yang membentang luas, sekitar 8 juta kilometer persegi, dari Sabang hingga Merauke. Indonesia juga memiliki sekitar 17.504 pulau yang tersebar di seluruh kedaulatan Indonesia. Oleh karenanya kesadaran geopolitik  merupakan keniscayaan bagi para elit politik di negeri ini maupun rakyat Indonesia.

Dalam bukunya yang berjudul The Geopolitics of Superpower-nya Colin S. Gray mengawali kajian “kapling-kapling dunia” berbasis geostrategi dalam politik global. Munculnya Sir Halford Mackinder dari Inggris pada abad ke 19 dengan mengklasifikasikan dunia menjadi empat kawasan. Kawasan pertama Heartland atau World Island: mencakup Asia Tengah dan Timur Tengah (World Island)kawasan kedua disebut Marginal Lands: mencakup kawasan Eropa Barat, Asia Selatan, sebagian Asia Tenggara dan sebagian besar daratan Cina; kawasan ketiga dinamai Desert adalah wilayah Afrika Utara, dan kawasan terakhir adalah Island or Outer Continents: meliputi Benua Amerika, Afrika Selatan, Asia Tenggara dan Australia.

Di awal tesisnya, Mackinder sudah mengatakan bahwa siapa negara menguasai Heartland (Timur Tengah dan Asia Tengah) yang memiliki kandungan sumberdaya alam dan aneka ragam mineral, maka bakal menuju arah “Global Imperium”. Masih di buku yang sama, teori Nicholas Spyman, ilmuwan geopolitik AS berbeda asumsi dengan Mackinder tetapi ada kesamaan soal penguasaan wilayah Heartland. Ia mengatakan: “Who rules the World Island commands the World”. Memang teori Spyman berbeda pada proses namun ujungnya tetap merujuk ke Timur Tengah dan Asia Tengah. Benang merahnya sama atau sebangun.

Tampaknya uraian kedua pakar di atas, pada era 1920-an dipakai Karl Haushofer, profesor geografi Universitas Munich sebagai policy advice kepada Adolf Hitler. Ia menjelaskan bahwa tesis tersebut bisa dijadikan gagasan bagi Jerman untuk mendominasi Rusia melalui kawasan Heartland. Begitu besarnya buah pikir Mackinder bagi Jerman, karena dijadikan rujukan pokok dalam saran Haushofer kepada Hitler.

Oleh karenanya, jika sebuah negara memiliki kesadaran geopolitik yang komprehensif, maka akan terkelola potensi dan posisi geopolitiknya demi melindungi, menyejahterakan, dan memajukan seluruh rakyatnya. Sebuah negara dengan kesadaran geopolitik artinya memiliki kesadaran kewilayahan. Dengan kesadaran geopolitik, seorang kepala negara akan mampu mengelola potensi pertambangan, pertanian dan perkebunan apa saja yang ada di wilayahnya sehingga dia mampu secara maksimal melindungi dan mensejahterakan rakyatnya. Seorang Jenderal yang memiliki kesadaran geopolitik akan betul-betul menguasai posisi strategis wilayah teritorialnya, sehingga mampu merancang strategi terbaik untuk mempertahankan kedaulatan negaranya dan bahkan bisa melakukan ekspansi wilayah ke luar negerinya.

Dari paparan diatas, penulis mengajak pembaca untuk merenungkan kembali apa yang pernah Bung Karno sampaikan: “Pertahanan nasional hanya dapat dilaksanakan secara sempurna, bila suatu bangsa mendasarkan pertahanan nasional atas pengetahuan geopolitik. Pengetahuan geopolitik yang dimaksud adalah pandangan geopolitik Indonesia yang dikembangkan berdasarkan tiga faktor yang membentuk karakter bangsa Indonesia, yaitu sejarah lahirnya negara, bangsa dan tanah air, serta cita-cita dan ideologi bangsa.“

Berdasarkan ketiga hal tersebut, bangsa Indonesia telah mengembangkan pandangan geopolitik yang bersumber pada nilai-nilai kesejahteraan yang sudah dimulai sejak era prakolonialisme hingga era kemerdekaan RI.
Saran Bacaan:

  • Sastroamidjojo, Ali, 2012, Tonggak-tonggak di Perjalananku, Penerbit PT. Kinta
  • Abdulgani, Roeslan, Dr. H, 1980, THE BANDUNG CONNECTION: Konperensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955, Penerbit PT. Gunung Agung.

Referensi:

  • http://ibrahimisa.blogspot.com/2014
  • http://hidupmahasiswaindonesia.com/
  • http://geostrategicpassion.blogspot.com

Penulis: Ferdiansyah Ali, Peneliti Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com