Kajian Doktrin Kontroversial AS

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Peminat Masalah Internasional

Monroe Doctrine (baca: Doktrin Monroe) dinyatakan sebagai doktrin utama di depan Kongres Amerika Serikat (AS) tahun 1823-an oleh James Monroe, Presiden AS ke-5. Monroe adalah doktrin negara yang substansinya adalah: “AS menganggap segala campur tangan pihak luar dalam urusan negara-negara di benua Amerika sebagai (ancaman) bahaya terhadap keamanan dan keselamatan”.

Ada empat poin penting isi doktrin tersebut yaitu :

  • Satu    :    AS tidak akan terlibat dalam masalah internal dan perang negara  Eropa.
  • Dua    :   AS mengakui dan tidak melibatkan diri dengan daerah jajahan dan apa yang disebut dengan dependensi di belahan bumi barat.
  • Tiga    :    Belahan bumi barat tertutup bagi kolonialisasi baru.
  • Empat    :   Upaya apapun kekuatan Eropa yang bertindak terhadap belahan bumi barat dianggap sebagai tindakan yang bermusuhan dengan AS.

Monroe versus Komunis

Alasan pokok yang melatar-belakangi Monroe sebagai doktrin adalah:

  1. Munculnya kembali kekuatan politik Eropa pasca Napoleonic Wars bertujuan menguasai kembali dunia melalui The Great Powers yang terdiri atas Austria, Prusia, Rusia dan Inggris dengan aliansi Quadraple Alliance berdasarkan Traktat Perancis (Treaty of Paris) tahun 1815. Juga setelah berkuasanya Raja Bourbon di Perancis, maka Quadraple Alliance diubah menjadi Quintuple Alliance dengan masuknya Perancis sebagai anggota;
  2. ketakutan berlebihan tanpa dasar AS atas tumbuh-suburnya komunisme di Benua Amerika serta besarnya pengaruh Uni Soviet terhadap Kuba.

Dengan situasi dunia seperti itu, ia khawatir kebangkitan kembali kolonialisasi baru di Amerika, terutama koloni Perancis dan Spanyol, sebab sebagian besar negara di Amerika Latin dahulu merupakan  jajahan  Spanyol dan Perancis. Kolonialisasi dapat membawa ketidak-stabilan, dimana sebagian besar negara di benua Amerika baru merdeka. Hal ini bisa mempengaruhi keberadaannya sebagai salah satu negara di benua Amerika.

Demikian juga dengan ancaman komunisme. Ketika Fidel Castro pada 1 Januari 1959 menggulingkan rezim diktator Jenderal Fulgencio Batista yang didukung AS, maka pemerintahan Eisenhower dan Kennedy menilai bahwa keberpihakan Kuba kepada Uni Soviet tidak bisa ditolerir dan merupakan ancaman bagi Amerika, selain bahaya kolonialisasi baru Eropa.

Jika melihat inti doktrin dan empat point diatas, terlihat bahwa tujuan Monroe sebagai doktrin adalah demi terciptanya perdamaian di benua Amerika. Namun sayang sekali, dalam praktek operasionalnya, berbagai ”kasus” terjadi disebabkan justru ia sendiri melanggar doktrin tersebut.

Contoh di era Perang Dingin (1947-1991). Ia sering melakukan invasi militer ke negara lain baik secara terang-terangan maupun tersembunyi berkedok “mencegah tumbuhnya komunis”. Mengapa demikian karena berbagai kasus intervensi AS ternyata bukan karena mencegah komunisme, atau menghambat menjalarnya kolonialisme,  tetapi semata-mata karena kepentingan (nasional) AS sendiri. Dengan perkataan lain, komunisme dan kolonialisme hanya dalih agar bisa “masuk” ke wilayah berdaulat lain.

Salah satu pelanggaran AS terhadap doktrin Monroe ialah invasinya ke Teluk Babi (The Bays of Pigs Invation). Yaitu invasi militer tahun 1961-an dengan memakai para imigran gelap Kuba guna menggulingkan Fidel Castro. Namun invasi itu gagal total karena kebocoran pada aspek perencanaan yang dirancang oleh Central Intelligence Agency (CIA). Pada akhirnya invasi militer tersebut dapat diantisipasi oleh Castro.

Itulah sekilas tentang Monroe Doctrine, dimana dampaknya dirasakan hingga sekarang oleh rakyat Kuba berupa embargo ekonomi hampir setengah abad, kendati Uni Soviet sebagai “mBah”-nya komunis sudah ambruk tahun 1991-an, namun Kuba seolah-olah tetap dianggap sebagai ancaman melebihi induknya. Secara politis, Monroe sudah harus ditinggalkan AS dengan berakhirnya Perang Dingin.

Pre-emtive Strike versus Teroris

Sedangkan doktrin Pre-emtiv Strike dicanangkan oleh pemerintahan George W Bush tahun 2002-an, setahun pasca pengeboman gedung kembar World Trade Centre (WTC) tanggal 11 September 2001 di New York yang kemudian dituding-arahkan kepada “al-Qaeda” sebagai kelompok teroris yang harus bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.

Sesungguhnya peristiwa WTC diatas cuma “pemicu” dari suatu grand strategy AS yang telah disiapkan jauh sebelumnya untuk mengumumkan doktrin tersebut kepada publik global. Memang sempat terjadi kontroversi baik kalangan internal maupun eksternal; sebab menghadapi komunisme yang nyata, AS lebih banyak menerapkan containment stategy (strategi pembendungan), tetapi menghadapi teroris yang belum jelas dan samar keberadaannya, mengapa menggunakan Pre-emtive Strike?

Ada beberapa intelektual AS keturunan Yahudi yang menjadi think thank Gedung Putih era George W Bush.  Salah satunya ialah Samuel P Huntington, penasehat politik kawakan Gedung Putih. Melalui buku Clash of Civilization (1998) ia menyatakan: bahwa konflik Islam dan Barat merupakan konflik sebenarnya. Sedangkan konflik antara kapitalis dengan marxis sifatnya cuma sesaat dan dangkal. Dari 32 konflik besar dunia di tahun 2000-an, dua pertiganya ialah antara Islam dengan Non Islam, tanpa ia mengurai detail sebab-akibatnya dan mengapa konflik terjadi. Seperti ada manipulasi data.

Pada gilirannya Huntington merekomendasikan Pre-emtive Strike (serangan dini) terhadap ancaman kaum militan Islam. Idenya sangat efektif mewarnai kebijakan luar negeri AS terutama era Bush Jr.

Inti kontroversi doktrin ciptaan Hutington adalah dengan pertimbangan pembelaan diri —cukup melalui asumsi— suatu negara boleh menyerang kedaulatan negara lain. Istilahnya memukul lebih dulu sebelum dipukul.

Banyak opini mengatakan, doktrin tersebut lahir akibat phobia Barat terhadap Islam. Phobia adalah ketakutan berlebih tanpa dasar. Maka dengan beragam alasan, ia pun menebar sentimen keagamaan atas tragedi 11 September 2001 melalui agitasi dan propaganda “perang melawan teroris” guna meraih dukungan internasional. Pada akhirnya propaganda itu pun bergeser (atau sengaja digeser) maknanya: bahwa teroris identik dengan Islam. Lagi-lagi, dunia mengamininya. Memang itulah tujuannya.

Dalam ulasannya, Huntington menyebut berbagai faktor penyebab meningkatnya konflik antara Islam dan Barat, antara lain:

  1. tumbuh cepatnya penduduk muslim telah memunculkan pengangguran jumlah besar. Ini menimbulkan ketidakpuasan kaum muda muslim;
  2. kebangkitan Islam memberi keyakinan umatnya akan tingginya dan keistimewaan nilai Islam dibanding Barat;
  3. Di sisi lain, Barat berusaha mengglobalkan nilai dan institusi guna menjaga superior militer serta ekonomi dan turut campur tangan pada konflik-konflik di negara mayoritas Islam. Hal ini memicu kemarahan kaum muslim;
  4. Porak-porandanya Uni Soviet telah mengubah musuh (komunisme) bersama, sehingga antara Islam dan Barat merasa sebagai ancaman;
  5. meningkatnya interaksi keduanya, mendorong perasaan baru masing-masing bahwa identitasnya berbeda dengan yang lain.

Di buku terbarunya berjudul Who Are We (2004), Huntington semakin tegas menggambarkan ide-idenya. Artinya, meski ditambah predikat ‘militan’ – namun di berbagai penjelasan, definisi Islam militan melebar kemana-mana mengaburkan makna sesungguhnya. Pada gilirannya, tatkala perang dingin usai, maka Islam (militan) benar-benar mengganti posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS dan sekutunya.

Perbedaan dan Persamaan Kedua Doktrin

Dari uraian sederhana diatas, terlihat perbedaan dan persamaan antara kedua doktrin tersebut pada pola kebijakan pemerintahan AS. Untuk perbedaannya, selain waktu dan pencetusnya, adalah sebagai berikut :

  1. bahwa Doktrin Monroe guna menangkal “ancaman nyata” di benua Amerika yaitu komunisme dan kolonialisme baru; sedangkan Pre-emtiv Strike dilahirkan guna menghadapi  “ancaman yang belum nyata” atau samar-samar;
  2. kelahiran Monroe tidak menimbulkan gejolak baik di internal maupun eksternal AS, sebaliknya Pre-emtive Strike menimbulkan pro-kontra hingga kini;
  3. sasaran operasional Monroe hanya komunis dan kolonial baru, sedangkan target Pre-emtiv Strike sifatnya “bergerak”, misalnya hari ini senjata pemusnah massal, besok berubah teroris, besok lagi mungkin berganti melawan pemimpin tirani, atau genosida, demokrasi dan seterusnya.
  4. dan lain-lainnya.

Adapun persamaan kedua doktrin tersebut, antara lain:

  1. doktrin-doktrin negara itu lahir akibat phobia (rasa takut berlebihan tanpa dasar) terhadap “sesuatu” yang diasumsikan sebagai ancaman negara bahkan ancaman bagi perdamaian dunia;
  2. operasional doktrin tersebut, akhirnya cenderung sebagai alat politik guna melakukan tindakan (intervensi) kepada negara lain;
  3. sebelum dimunculkan doktrin, dibuat dahulu stigma atau dalih guna “pembenaran tindakan” yang akan, sedang dan telah diambil oleh AS;
  4. muara dari semua pencitraan (propaganda) terhadap negara yang ditarget, ujungnya selalu invasi militer sebagai metode pamungkasnya;
  5. stigma yang diberikan kepada wilayah atau kelompok tertentu bersifat “lentur”, artinya cap tersebut boleh bergerak dan berubah sebutannya mengikuti kondisi aktual di lapangan;
  6. Hanya ada dua opsi kepada negara-negara di dunia : “Bergabung Dengan Kami atau Anda adalah Musuh Kami”. Tidak ada kata netral, non blok dan/atau tidak memilih.

Demikian sekilas kajian tentang doktrin-doktrin kontroversi AS yang dalam praktek operasionalnya seringkali menimbulkan kontroversi di dunia, terutama di negara-negara yang dianggap tidak patuh atas hegemoni AS dan sekutunya.
Jakarta, 21 April 2009

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com