Kalau Punya Minat Pada Banyak Bidang, Bagusnya Jadi Wartawan Saja

Bagikan artikel ini

Perbincangan Nesya Aulia, mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Binus Jakarta, yang sedang  magang di  Global Future Institute (GFI),  bersama Satrio Arismunandar, Wartawan Senior yang pernah bekerja di harian Pelita dan Kompas. Pendiri dan Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI). 

Obrolan santai tapi serius dengan wartawan senior Satrio Arismunandar bukan saja asyik, tapi juga informatif, dengan gaya bertuturnya yang menarik.   Buat pria kelahiran Semarang 11 April 1961 itu, jurnalisme atau dunia kewartawanan merupakan panggilan jiwa, passion.  Pria lulusan teknik eletro Universitas Indonesia ini, telah meniti karir di bidang kewartawanan dan tidak pernah keluar dari jalurnya karena merasa  selaras dengan hobi menulis yang sudah muncul sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD). Obrolan yang dilakukan di kediamannya yang berlokasi di Depok, pada pagi hari 7 Januari lalu sekitar jam 9, berlangsung cukup lama hampir 3 jam.

Berikut obrolan selengkapnya yang berlangsung di rumah kediamannya di kawasan Depok, (07/01):  

 

Pak Satrio ini kan lulusan teknik eletro, apa relevan ketika akhirnya malah berkiprah di jurnalistik?

Hmm ya iya saya, S1 elektro UI memang. Bukan itu saja. S2-nya pun mengambil bidang pengkajian ketahanan nasional, juga di UI.  Juga pernah  MBA Asian Institute of Management, Filipina dan S3 Filsafat UI. Kalau ditanya hubungannya apa ya tidak ada hubungan langsung. Sebenarnya gini, saya sejak kecil hobi menulis, dari duduk di bangku SD saya sudah senang menulis. Adapun tulisan pertama telah dimuat di surat kabar kompas pada saat kelas empat SD, di rubrik anak-anak, “membeli ayam betina” karangan pendek itu kan, semacam cerpen. Itu guru saya sangat bangga sekali pada saat itu. Sampai saya diajak ke kelas-kelas lain dan memperkenalkan saya, “ini loh murid saya dimuat di Kompas” seperti itu, pada saat kelas empat SD.

Apakah awal hobi menulis karena belajar sendiri atau seperti apa?

Ohh itu, ketika Ibu saya dulu merupakan guru SMA dan Ayah saya angkatan udara, kebetulan banyak memberi dorongan kepada diri saya sendiri untuk tetap menulis. Jadi memang sepadan dengan hobi saya yang sejak kecil senang menulis. Jadi, mulai dari SD, SMP, SMA saya banyak mengolah majalah dinding dan selalu mengisi majalah dinding. Ketika kuliah pun saya bergabung di berbagai media penerbitan kampus, surat kabar kampus, yang pada saat itu adalah Warta UI.

Jadi walaupun bapak mengambil jurusan Teknik Elektro pada S1, sudah minat menulis juga ya?

Benar. Sejak saya kuliah di jurusan teknik elektro saya minat menulis memang sudah ada sejak masih duduk di bangku sekolah, minat menulis sudah ada. Jadi, saya pada saat itu saya banyak aktif di berbagai media penerbitan kampus mahasiswa. Apapun itu, ketika saya ikut di Pecinta Alam UI, disitu ada buletinnya kan, saya jadi yang memegang bulletin, mengikuti Menwa juga ada buletinnya saya pun ikuti dan nulis. Dari sejak kecil sudah seperti itu, nah ketika sudah menjadi mahasiswa tahun 1986 ketika saya masih kuliah, merangkap bekerja sebagai wartawan di Harian Pelita, dipimpin oleh Akbar Tanjung yang kemudian menjadi Menteri zaman Suharto. Jadi ya itu, sebelum lulus saya telah menjadi wartawan.

Saya juga masih suka menulis cerpen semasa kuliah dan dikirim ke majalah Anita Cemerlang, dimuat di majalah Gadis, tentang cerpen percintaan remaja, memang sembari kuliah sudah mendapatkan nafkah dari menulis cerpen sehingga saya bisa membayar kuliah dari menulis itu. Pada 1988 saya keluar dari Harian Pelita dan diterima di Harian Kompas pada saat belum lulus kuliah pada saat itu hehe. Bahkan dari delapan orang yang diterima dan satu belum sarjana, yaitu saya.

Wah, bagaimana itu bisa pak?

Ketika proses melamar di Harian Kompas, saya kirim photocopy tulisan-tulisan saya, jadi “ini lho, saya belum sarjana tetapi sudah memiliki tulisan dan ini karya saya”, pada akhirnya orang melihat kemampuan. Jadi antara jurnalistik atau kewartawanan dan hobi menulis itu sangat dekat. Jadi kemampuan keilmuan itu mendukung. Karena saya dari S1 teknik elektro mendalami masalah bidang kelistrikan, jadi saya bisa lebih paham, sifatnya mendukung. Intinya tidak mengikat, tapi sebagian besar wartawan bukan dari jurnalistik, bermacam-macam latar belakang.

Jadi lebih ke hobi menulis ya?

Salah satunya iya lebih ke hobi menulis. Nah hobi menulis berkaitan dengan hobi membaca, jadi jarang ada orang dapat menulis bagus kalau tidak hobi membaca. Jadi dua hal itu sangat berkaitan.

Kalau boleh tahu, ketika bapak di Kompas dan Harian Pelita, fokus menulis apa?

Oh, itu bermacam-macam. Kalau wartawan itu tidak dibatasi untuk menulis apa saja. Baik terkait pendidikan, ekonomi, politik, teknologi, iptek, segala macam itu sifatnya bebas. Nah itu satu hal lagi, menjadi wartawan adalah profesi yang tidak dibatasi oleh bidang tertentu. Walaupun dari latar belakang pendidikan elektro, bisa menulis apa saja misal tentang kebudayaan, seni, politik, segala macam tidak dibatasi. Jadi memang untuk orang yang memiliki minat sangat besar dalam berbagai bidang, cocok menjadi wartawan. Bagi saya, ketika S1 jurusan elektro dan bekerja di bidang kelistrikan, saya hanya mengurusi listrik, sambungan listrik, hehe ya karena memang bidangnya listrik. Memang banyak tokoh seperti Bung Karno beliau insinyur sipil, Pak Jokowi juga insinyur kehutanan ya kan hehe.. jadi banyak orang sebetulnya pekerjaannya tidak berangkat dari keahlian itu.

Awal mula mengapa bisa jadi wartawan senior?

Ya sebetulnya itu berangkat dari kecintaan. Saya pikir semua bidang apapun juga, apabila kita senang melakukannya dan mendalami, otomatis akan lebih mudah dijalankan. Berbeda lagi jika saya menjadi wartawan karena adanya unsur paksaan. Nah, kalau orang dipaksa ya hasilnya akan begitu saja, namun jika orang senang, dengan senang hati akan memperlajari semua, seperti baca buku dan segala macam.

Jadi saya menjalani ya memang dengan hobi, kebetulan senang menulis dan menjadi wartawan, jadi pekerjaan menjadi sesuatu yang sangat diminati. Lalu ya tentu banyak faktor, tapi karena sejak semasa kuliah hingga setelah lulus kuliah saya tidak pernah bekerja lain selain menjadi wartawan. Jadi dari tahun 1986 hingga 2012 pensiun dari Trans TV, saya terus-terusan bekerja menjadi wartawan. Jadi ya bukan hanya senior tapi “bangkotan” di dunia kewartawanan hehe sudah puluhan tahun.

Saya juga punya sertifikat kompetensi yang ditandatangani oleh dewan pers bahwa saya kompeten. Jadi bukan Cuma keilmuan, saya punya sertifikat untuk bisa menguji kompetensi wartawan lain apakah pantas menjadi wartawan professional atau tidak, ya seperti itu lah. Kalau dibutuhkan saya bisa langsung kirim gitu. Penguji yang saya maksud adalah penguji tingkat wartawan utama, artinya orang yang ingin menjadi pemred paling tidak sudah bekerja selama 12 tahun menjadi wartawan. Nah, saya sudah di level menguji mereka.

Jadi, bagaimana perasaan bapak selama menjadi wartawan?

Hmm, perasaan yang seperti apa ya? Kalau saya ya senang saja, lebih menikmati ya karena memang sesuai dengan jiwa saya yang suka informasi, membaca, senang menulis, bertualang. Maka dari itu, ketika saya masih di Kompas banyak berkecimpung di liputan politik internasional, nyambung sama kamu hehe. Jadi saya sudah pernah meliput banyak wilayah konflik di seluruh dunia.

Saya sudah pernah ke Palestina, Israel, Irak, Iran, Mesir, Jordania, Rusia, Amerika, India, Sri Lanka, Filipina, Singapura, Malaysia. Jadi di tempat-tempat konflik, jadi kalau ada berita terkait konflik, “ oh ada konflik di Palestina” saya sudah pernah kesana, “ di Yerusalem, Israel di masjid Al-Aqsa ada terjadi bla..bla..bla..” saya sudah pernah kesana.

Bahkan pengalaman saya itu pernah melakukan sholat di tiga tempat suci orang Islam. Di Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Madinah, dan di Masjid al-Aqsa. Nah, ada pengalaman yang paling mengasyikan untuk saya adalah ketika meliput Perang Teluk pada 1991, ya yang pertama antara Presiden Iraq, Saddam Husein sama dengan Presiden Amerika Serikat, George Bush Senior. Jadi saat itu, Irak menyerbu Kuwait pada 1990 kemudian Irak disuruh mundur oleh Amerika dan sekutunya, kalau tidak mundur akan diserang. Namun, keputusan Irak tidak mundur yang akhirnya diserang.

Nah, pada saat itu tahun 1991 saya berada di Baghdad, ibu kota Irak. Pada malam pertama pemboman saya sudah ada disana. Waah, itu sangat mengasyikan. Jadi perasaanya rasa takut-takut sedikit tetapi juga ada gairah. Karena gini, itu merupakan peritiwa yang sangat langka dan tidak semua wartawan bisa menjalaninya dan itu lah adanya liputan CNN siaran langsung perang dari perang yang pada saat itu dilakukan oleh Peter Arnett, siaran langsung dari Hotel Al Rasheed, Banghdad dimana menjadi liputan internasional pertama kali untuk siaran langsung siaran langsung ya itu dari CNN.

Nah, saya kebetulan nginap satu hotel dengan Peter Arnett, ketika pecahnya pemboman pertama saya benar-benar melihat wah di langit seperti ada bintang-bintang dan seperti kembang api, melainkan itu semua adalah peluru (sembari memeragakan suara tembakan peluru), melihat rudal terbang dari jarak sekitar 20an meter, “wah ada rudal kan hehe”. Jadi, itu sebetulnya ada faktor pribadi ya. Sekitar saya masih ada di bangku Sekolah Menengah, saya memiliki teman yang selalu mengejek saya, sepertinya bapaknya pernah bertugas di luar negeri walaupun bapak saya tentara juga belum pernah sempat di tugaskan di luar negeri dan tidak pernah ke luar negeri. Dia mengejek saya dengan sebutan kuper, ketinggalan zaman, dan sebagainya.

Kemudian saya melanturkan doa bahwa “saya ingin suatu pekerjaan yang memungkinkan untuk ke luar negeri.” Dahulu orang ramai sekali menulis tentang Saddam Hussein perihal perang teluk hehe dan saya bahkan pernah mengalami itu. Jadi sekarang kalau ada peristiwa-peristiwa, sudah tidak kaget lagi seperti “oh ada bentrok di jalur Gaza atau Yerusalem, Israel, Libya, Palestina, atau dimana”, saya sudah tahu.

Bahkan saya pernah berkunjung ke Israel dan Palestina sebanyak dua kali, ke Irak sudah pernah meliput perang langsung ketika serangan ISIS di Mosul, meskipun tidak langsung ke daerah ISISnya sekitar tahun 2014-2016 karena pada saat itu saya menulis buku mengenai suka duka para diplomat Indonesia yang ditugaskan di Baghdad, Irak, Afghanistan, dan Suriah. Karena itu merupakan daerah bahaya dan menjadi duta besar disana tidak boleh membawa keluarga. Seperti kejadian di Baghdad, pada saat itu setiap hari selalu ada bom meledak jadi tinggal berdasarkan nasib, nah kalau sekarang tidak keluar karena berdasarkan virus, kalau disana karena ada bom dimana-mana, dan  mengejutkannya lagi, bahkan bom bisa disimpan pada wilayah yang tidak terduga seperti di pasar atau tempat keramaian lainnya.

Memangnya kejadian seperti apa sehingga tidak terlalu terkejut dengan berita-berita tentang peristiwa di Palestina?

Bukan begitu. tidak terkejut dalam arti seperti ini, saya sudah pernah berkunjung kesana. Jadi kebanyakan orang itu banyak lisannya tapi tidak mengerti, saya sudah pernah ke Palestina dan bertemu dengan masyarakat Palestina, bertemu dengan orang Yahudi di Israel, saya masuk ke sana melewati Yordania melalui perbatasan. Pengunjung diperiksa oleh tentara Israel dan dilakukan penggeledahan persyaratan sebelum masuk.

Artinya, karena sudah pernah melakukan interaksi secara langsung dan kalau mendengar berita tuh saya mendengar seperti orang yang pernah interaksi secara langsung berbeda dengan orang yang hanya sekadar dengar saja, kan berbeda. Karena saya pernah berkunjung mengelilingi Israel, bertemu dengan tentara Israel juga, mengelilingi Palestina itu membuat pemahaman kita lebih mendalam dan menghayati dibandingkan dengan orang yang sekadar yang hanya lisannya saja dan tidak pernah kesana. Berbeda deh, kamu mahasiswi hubungan internasional dan membuat skripsi terkait Israel dan Palestina dan tidak pernah berkunjung kesana, pasti hasilnya akan berbeda dengan pernah berkunjung langsung kesana dan interaksi dengan warga lokal. Nah, pemahaman seperti itu akan berbeda dengan orang yang membaca dan sudah pernah mengalami.

Seperti apa tuh pak bedanya. Cerita dong?

Maksud saya realita penjajahan ya begitu, terkadang bentuk penjajahan ditampilkan dalam bentuk indah, tapi tetap, penjajahan ya penjajahan. Misal kita melihat prajurit Israel, mereka banyak yang ganteng mbak.. dan yang perempuan juga cantik-cantik seperti melihat bintang artis. Jadi untuk dapat masuk ke Israel saya melalui Yordania dan pos penjaga mereka ganteng-ganteng betul dan kebanyakan masih muda, banyak senyum. “kok ini penjajah tapi baik-baik?” Tapi ya mungkin ada unsur sengaja dalam menampilkan sisi yang bagus dan kembali lagi penjajahan tetap penjajahan gitu kan, dan kebrutalan tidak ditunjukkan, jadi saya pikir ini bagian dari Humasnya tentara Israel yang menutupi realita penjajahan yang  semakin keras, dimana kita tahu sendiri wilayah Palestina semakin kecil dan Israel secara politik semakin kuat. Saya sulit bayangkan, sebuah negara menjalin hubungan diplomatik dengan Israel seraya berkhianat pada Palestina. Intinya, saya bisa memahami kepedihan itu karena melihat secara langsung dan bukan retorika saja.

Jual Buku CATATAN HARIAN DARI BAGHDAD BY. SATRIO ARISMUNANDAR - Kota Depok - toko buku shaka | Tokopedia

Kejadian seperti apa yang bapak lihat secara langsung?

Kalau disana memang dikuasi oleh Israel, istilahnya tidak bisa melakukan apa saja, karena antara kedua wilayah Israel dan Palestina tidak dapat menyebrang secara sembarang. Kita masuk ke dalam masjid Al-Aqsa juga dijaga ketat oleh tentara Israel agar masuk tidak membawa senjata, itu sudah menjadi suatu rutinitas, jadi penjajahan sudah berlangsung secara rutin dan semakin kuat dan unggul.

Indonesia termasuk negara yang konsisten dalam membela Palestina. Nah kebanyakan orang yang ilmunya hanya “nanggung” kan banyak sekali yang mengagumi Presiden Turki, Erdogan sebagai tokoh Islam. Turki itu anggota NATO dan sekutunya Amerika dan memiliki hubungan diplomatik yang akrab dengan Israel ya kan… Turki mempunyai pesawat tempur dan segala macam itu di percanggih oleh militer Israel. Jadi, ketika ada negara yang membuka hubungan diplomatik dengan Israel, Erdogan justeru malah marah-marah dan mengkhianati Palestina! “ lah, Turki itu sudah bertahun-tahun punya hubungan dengan Israel bahkan impor ke Israel juga semakin meningkat!” makanya, bagi orang yang ilmunya “nanggung” akan menganggap bahwa Erdogan sebagai pahlawan Islam, itu hanya bagian gaya bicara tapi dalam praktik Turki sekutu Amerika Serikat dan sama-sama anggota NATO.

Artinya ketika kita menyerang Amerika, sesuai dengan perjanjian NATO, Turki harus membantu Amerika bukan membantu kita. Faktanya ada hubungan diplomatik walaupun ada gaya bicara yang keras atau bagaimana. Indonesia sendiri Presiden Jokowi tidak pernah mengucap yang macam-macam tapi tetap tidak ada hubungan diplomatic! Jadi, kalau berbicara mengenai konsisten, Indonesia lebih konsisten. Tidak bisa keras tapi Indonesia konsisten dan bukan gaya kita untuk ngomong keras. Bahkan hingga saat ini mendapat bujukan untuk membuka hubungan dengan Israel, dan sampai saat ini tidak membuka hubungan dengan Israel ketika Palestina masih dijajah. Yang justeru sudah melakukan itu. kamu harus mengerti juga apa yang tampil di permukaan dan apa faktanya, gitu saja.

Lalu bagaimana hubungan Indonesia dengan Israel?

Kita tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel apapun adanya peraturan segala macam. Kita memang pada zaman Suharto pernah membeli senjata dari Israel, tapi secara diplomatik tidak ada hubungan, dan hal tersebut adalah hal yang berbeda. Tapi, lain cerita dengan Turki yang punya hubungan diplomatik. Jadi kasarnya seperti ini, ada orang menikah dan ada orang yang punya kedekatan tapi tidak menikah, beda itu! Turki dan Israel itu hubungannya menikah, mereka resmi. Indonesia dan Israel hubungannya hanya sekadar kenal saja. Terkadang kita bisa beli barang. Artinya jika dilihat dari konsistensi perjuangan Indonesia itu konsisten dan harus berbicara apa adanya. Kebanyakan orang kita juga terpukau dengan penampilan, dan muja-muji Erdogan. Ya memang boleh saja tapi faktanya ada hubungan diplomatik dengan Israel hehe.

Jadi antara omongan retorika keras dan kenyataan yang ada itu berbeda. Nah, tugas orang hubungan internasional adalah melihat fenomena itu dan tidak terpukau oleh penampilan yang dapat menipu. Tapi saya memahami hanya sebagai politik saja. Karena seperti ini, teriak dalam realisme hubungan internasional, “lu tuh diukur dari kemampuan lu, mau teriak  seperti apapun tapi tidak memiliki kemampuan, akan diacuhkan saja”, daripada banyak teriak kita memilih untuk konsisten. Atau sekarang ribut ini terhadap Prabowo, “kok Menhan hanya diam saja? Dan tidak banyak teriak soal China?” karena Prabowo tahu kalau kita perang dengan China, Indonesia akan habis dan hancur dalam waktu satu minggu atau bahkan tiga hari saja. Dalam hubungan internasional tidak ada musuh, kita dan China bukan musuh, bagaimana mungkin juga karena Indonesia pun hutang ke China heheh.. dalam realism politik kita mengukur banyak factor, memang China mengganggu dalam aspek Laut China Selatan tapi dalam aspek lain menguntungkan, semisal dalam investasi.

Begitupun dengan Amerika, kita butuh Amerika untuk menjadi faktor pengimbang, kan gitu, bukan putuskan hubungan dengan salah satu pihak. Saya berbicara ini karena menganggap Neisya orang hubungan internasional supaya lebih paham dan belajar teorinya, tetapi hubungan internasional saya belajar dari pengalaman bukan dari teori karena latar belakang pendidikan saya dari teknik elektro. Tapi, sebagai wartawan politik internasional saya suka baca buku terkait politik internasional dan bukan karena ahli hubungan internasional, bukan, dan sudah menulis terkait HI secara praktiknya, hehe…

 Lalu, bagaimana dengan pengalaman bapak di negara lainnya, seperti Rusia mungkin?

Rusia tuh, saya kesana ketika zaman setelah perestroika dan keterbukaan, setelah komunisme runtuh. Tapi secara politik Rusia tidak hal khusus yang saya sorot kala itu, ada dan saya kesana hanya untuk menambah  pengalaman bahwa pernah kesana untuk menambah wawasan. Tapi pengalaman khusus kayak di Irak, tidak ada. karena situasi Rusia ketika itu aman-aman saja.

Wawasan seperti apa itu?

Begini. Sebagai orang yang menulis terkait internasional, saya harus tahu banyak hal, “ masa saya ngomong banyak hal tentang Rusia tidak pernah ke Rusia” hehe.. Kita memang harus seperti itu. ke India pun saya pernah, ada hal yang menarik ketika saya di India. Penduduk India memang banyak tetapi warisan budayanya tinggi. Jadi, banyaknya warga miskin tersebar, dan pernah dikejar-kejar oleh pengemis ya karena minta uang seperti memaksa gitu.

Saya ke India pada saat itu karena terbunuhnya Perdana Menteri India, Rajiv Gandhi, yang kebetulan keturunan dari dinasti Gandhi. Saya datang kesana dan beberapa minggu kemudian saya meninggalkan India. Yang menarik adalah, ketika saya ingin meninggalkan India, sudah terbitn buku tentang terbunuhnya Rajiv Gandhi. Jadi mereka kreatif dan cepat hahaa.  Buat saya itu hebat dan amat berkesan, dalam waktu tiga hingga empat minggu.

India, China, Irak dan Iran memiliki warisan budaya yang hebat. Irak juga peradabannya tinggi, bagaimana lingkungan antara sunni dan syiah. Orang syiah dan sunni sama saja sebagai manusia. Kalau di Sunni kita kenal dengan Islam KTP, di syiah pun sebaliknya, sama saja. Tipe yang beragama tekun, sedang saja, ataupun cuek, di keduanya ada. Jadi, manusia itu sama saja, yang membedakan adalah politik.

Satrio Arismunandar (@Satrio_for_2014) | Twitter

 Politik seperti apa?

Iya politik, misal katanya ada alisansi anti syiah, mereka biasa saja. Kalau ada yang bilang “wah Iran bukan Islam.” bukan Islam seperti apa? Iran jelas sebagai anggota Organisasi konferensi Islam ya kan hehe.. Kalau mereka naik haji bertemu dengan orang Iran juga. logika yang sederhana saja. Ketika dalam politik ada kalanya mendukung dan ada kalanya menjatuhkan. Dahulu adanya syiah dan sunni hanya permasalahan kepemimpinan. Orang yang menganut Syiah, Ali bin Abi Thalib adalah orang arahan dari Rasulullah sedangkan sunni menyangkal siapa saja bisa asal banyak yang menyepakatinya. Akhirnya beruntut panjang hingga kita yang tidak terlibat langsung masih berurusan, hanya permasalahan budaya. Di Irak keduanya bisa saling menikah dan orang syiah bisa sholat di masjid sunni, dan sebaliknya. Untuk apa kita ribut persoalan itu, tidak akan maju, ketika bangsa lain sudah mengembangkan ke angkasa luar.

Apakah ada perasaan takut ketika menjadi wartawan?

Oh tidak, saya justeru bergairah di kewartawanan asal gajinya cukup saja hehe. Tidak ada rasa takut, saya malah senang. Tidak ada takut, bergairah dalam meliput, karena saya senang hal yang mendekati berbahaya seperti petualangan, saya juga senang menggali informasi di balik semua itu. Saya bisa berbicara terkait Syiah dan Sunni karena pernah ke kedua negara tersebut, Irak dan Iran dan bertemu dengan warga masyarakat sana.

Apakah dibutuhkan kemampuan bahasa juga?

Oh iya, dibutuhkan itu mutlak penting. Bahasa Inggris memang mutlak penting dan kalau bisa pandai berbahasa lainnya, kira-kira akan sangat bermanfaat untuk daerah peliputan. Kalau sedang meliput di daerah Arab ya sebaiknya bisa berbahasa Arab. Benar, bahasa sangat penting, bagaiamana dalam pencarian informasi kalau tidak pandai dalam bahasa? Meskipun bahasa saya tidak begitu bagus, tapi saya belajar untuk mengatasi masalah bahasa. Kemampuan bahasa saya lancar karena pengalaman bukan karena lulusan Bahasa Inggris, tapi karena harus banyak baca dan menerjemahkan karena harus menerjemahkan sumber-sumber wahid kedalam Bahasa Indonesia, mau tidak mau membuka kamus, itu penting.

Apakah ada kendala dalam peliputan di Timur Tengah?

Ya,  kendalanya ada di dalam bahasa itu. Saya pakai Bahasa Inggris dan banyak sumber dalam Bahasa Arab, bukan hanya omongan namun sumber lainnya juga, karena saya tidak menguasai Bahasa Arab akhirnya bertanya dengan teman yang tinggal di sana. Atau ketika sedang wawancara saya ajak teman saya untuk membantu menerjemahkan, karena terkadang tidak pandai Bahasa Inggris, idealnya memang kita harus pandai bahasa. Karena sempurnanya terjemahan, akan mengurangi suatu proses yang dapat mengurangi makna.

Kalau orang serius dalam bidang apapun juga, butuh pendalaman, tidak bisa setengah-setengah. Pemahaman setengah-setengah akan goyah dan mudah terombang-ambing. Seperti orang Islam, idealnya harus hafal, tapi tidak semua orang dan mungkin hanya sebagain kecil, tapi apa ada paksaan? Tidak juga, baca saja. Mungkin orang yang tidak hafal Al-Qur’an punya kepandaian ilmu lain untuk keberlangsungan hidup umat manusia. Tidak semua orang memiliki kemampuan sama dan hanya segelintir orang menguasai itu. Semua orang berguna dalam kapasitasnya, justeru karena ada perbedaan dunia berkembang.

Satrio Arismunandar - Bangkitlah Indonesia!: KONSEP-KONSEP KUNCI EKONOMI INFORMASI

Lalu, apakah peran pers pilar keempat masih relevan di Indonesia?

Masih. Kalau itu masih, tinggal bagaimana penerapan dan implementasinya. Karena kalau tidak ada pers siapa lagi yang dapat kontrol terhadap kekuasaan. Tapi, memang sekarang peran pers dapat terganggu karena ada fenomena media social, dimana masyarakat lebih percaya terhadap media social yang isinya tidak dapat dipertanggungjawabkan dan pers sendiri bisa terpengaruh oleh media social. Ini kembali lagi ke masalah literasi media dan profesionalitas wartawan yang bersangkutan. Banyak orang mudah sekali percaya dengan berita bohong atau hoax, kenapa? Ya karena mungkin akalnya lemah dan tidak keritis, jadi permasalahan dari dulu itu ya seperti itu.

Lalu apakah ada cara untuk mencegahnya?

Mecegahnya hanya satu, yaitu dengan ilmu. Harus meningkatkan literasi terhadap kapasitas diri sendiri dan dalam orang lain juga. Bagaimana kita membaca dan tidak menelan mentah-mentah omongan orang lain juga kan? Daya kritis dalam membaca, itu intinya. Karena jika orang sudah punya daya kritis, tidak mudah terintimidasi oleh apupun juga. Orang gampang terintimidasi bisa terjadi karena merasa lemah, kalah dan tidak punya ilmunya. Seperti saya tadi berani mengatakan tentang Syiah dan Sunni, punya rasa percaya diri untuk bersikap. Di semua bagian selalu ada yang tidak benar, mau Islam ataupun agama lain, benar dan tidak benar selalu ada dan dunia dibagi dua oleh orang yang benar dan tidak benar. Kamu pernah nonton film shahrukhan yang berjudul, My Name is Khan? Jadi dalam film itu, ibunya Shahrukhan, dalam cara pandang fanatik, Islam benar dan Hindu salah jadi kita harus waspada dengan orang Hindu dan sebaliknya, ada orang yang baik dan tidak benar, kita lebih anti ke orang yang tidak benar ada  di mana-mana, baik di Islam maupun Hindu. Agama dipelajari sebagai keilmuan, jadi antara pengetahuan dan tindakan tidak selalu nyambung karena manusia selalu punya pilihan.

Gambar mungkin berisi: 1 orang

Menurut pandangan bapak terkait peran pers ketika pemilihan presiden 2019 seperti apa?

Ya pers macam-macam ya, ada yang menjadi bagian pro sana dan pro sini, ada pers yang mencoba netral dan tidak berpihak. Ya banyak juga karena kondisi keuangan yang parah hingga akhirnya pers dijadikan sebagai alat kampanye. Pers menjadi alat kampanye, itu juga tidak menjadi hal yang luar biasa karena di Amerika Serikat juga seperti itu. Pers A cenderung ke Trump dan pers B cenderung ke Biden. Namun, pers diikat oleh aturan kode etik jurnalistik, yang penting tidak boleh memberitakan berita bohong itu sudah pasti dan cover both side, menyampaikan fakta yang tidak menambah dan mengurangi, yang penting profesionalisme dan kode etik jurnalistik. Kalau kepemihakan sulit dihindari karena subjectif ya, tapi selama berpegang pada fakta dan kode etik jurnalistik, tidak masalah.

Apa tips untuk menjadi wartawan yang baik dan dapat menulis dengan cakap?

Simple saja, wartawan yang baik harus banyak membaca dan banyak menulis. Karena keterampilan menulis muncul karena banyaknya latihan, jadi semakin banyak praktik akan mahir. Sama seperti belajar sepeda saja, semakin ahli bisa lepas tangan karena bisa menyeimbangkan, lebih ahli lagi bisa berdiri di atas satu kaki hehhe.. Atau bahkan dengan satu roda. Nah, banyak membaca sifatnya untuk memperluas wawasan, namun, banyak menulis tapi sedikit membaca akibatnya tulisannya tidak mendalam artinya tidak ada hal yang baru dari tulisan tersebut. Jadi harus banyak membaca agar banyak wawasan sedangkan untuk menulis yang cakap lebih sering menulis, dua hal itu saja saya kira jika ingin menjadi wartawan.

Selain itu yang harus punya sifat ingin tahu atau penasaran. Wartawan dan ilmuwan atau scientist hampir sama ya, karena mencari ilmu pengetahuan namun, wartawan itu mencari ilmu pengetahuan disebar ke publik atau media massa dan ilmuwan untuk jurnal. Untuk kecakapan saya di bidang internasional dulu, saya juga senang membaca, misalnya saya ingin pergi ke Irak, saya harus banyak membaca informasi dari berbagai sumber buku terkait Irak, “Irak itu apa? Bagaimana penduduknya? Agamanya? Budayanya?” saya pelajari itu semua dan bahkan dalam pesawat masih saja saya baca buku mengenai Irak. Gunanya supaya saya mempunyai landasan pengetahuan dan saya kaitkan dengan lapangan. Tapi itu sifatnya hanya pengetahuan tapi belum mengkhayati, dan dapat mengkhayati dapat terjadi karena pengalaman.

Misalnya, kamu tinggal di gunung dan belum pernah makan garam, sudah banyak membaca tentang informasi a-z tentang garam, tetapi ketika saya datang membawa garam dan baru mencoba. “oh jadi ini garam ya” Jadi pengalaman mencoba garam itu lah sebetulnya pemahaman tentang garam. Jadi, untuk jadi jurnalis itu berdasarkan pengalaman yang tak tergantikan, bagaimana menulis diprotes oleh orang, diusir ketika melakukan wawancara, dan sebagainya.  Perlahan mendapatkan tambahan wawasan, dan jurnalis itu berdasarkan pengalaman.

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com