Perang Saudara di Amerika

Bagikan artikel ini
Prakiraan Kecil Geopolitik
Konstelasi geopolitik di Amerika Serikat (AS) kian hari semakin memanas, seru lagi menarik. Telaah kecil ini tak lagi membahas kecurangan Joe Biden dan/atau klaim sepihak Donald Trump, misalnya, atau America Spring yang kemarin menerjang Capitol Hill, atau perihal inagurasi, ataupun konflik partai republik versus demokrat, konflik internal di Negeri Paman Sam dan lain-lain. Bukan! Telaah ini mencoba menyelam lebih dalam lagi.
Ya. Supremasi sipil saat ini (parlemen) memang berada dalam genggam Biden di satu sisi, karena parlemen memiliki amandemen 25, punya electoral collage, impeachment dan lain-lain. Sedang Trump merupakan proxi militer/Pentagon di sisi lain. Ia punya executive order dan sewaktu-waktu dapat mengeluarkan insurrection act of 1807, ini seperti supersemar —situasi darurat— zaman Orde Lama, di Indonesia tempo doeloe.
Lantas, siapa sebenarnya massa pro-Trump yang menyerbu kongres; adakah manuver nirmiliter tersebut merupakan false flag operation guna memantik terbitnya insurrection act alias negara dalam keadaan darurat: siapa si penggerak massa pro-Trump? Kita lanjutkan telaah kecil ini.
Lepas dari dua sisi yang saling berhadapan di atas, ada fenomena tak lazim di Negeri Paman Sam bahwa hampir seluruh toko senjata di AS kewalahan memenuhi permintaan konsumen, sementara di pihak lain Trump justru mau menerapkan insurrection act of 1807. Dua puzzle yang saling bersambut. Negara dalam keadaan darurat perang (saudara) alias civil war.
Pentagon memegang kendali pemerintahan usai terbitnya keadaan darurat. Artinya apa, ketika telah keluar insurrection act maka impeachment oleh kongres terhadap Trump, atau amandemen 25 pun, justru dianggap makar secara konstitusi. Makar kepada siapa? Ya, makar terhadap militer (selaku pengendali pemerintahan sementara) maupun makar terhadap negara. Nah, makanya di atas dijelaskan sekilas bahwa konstelasi politik di AS itu sesungguhnya bukan soal Trump melawan Biden semata, atau republik melawan demokrat, melainkan kekuatan jaringan militer versus jaringan politik sipil. Dalam hal ini, Biden dan Trump cuma proxi atau pion terdepan kedua entitas tadi.
Pertanyaan selidik muncul di permukaan: “Kenapa militer tidak lagi percaya terhadap sipil yang selama ini memimpin serta memegang kendali di AS?”
Singkat kata, pihak militer menilai bahwa penguasa sipil sudah sangat korup, anti-nasionalisme, mementingkan oligarki, menguntungkan para taipan dan segelintir elit kekuasaan, sedangkan kepentingan nasional dan rakyat terabaikan. Justru terpinggirkan. Itu versi militer. Intinya, praktik konstitusi telah melenceng jauh dari cita-cita founding fathers tempo doeloe. Ini yang kini terjadi di bawah permukaan.
Adakah kekuatan asing yang turut bermain pada kisruh politik di AS?
Tentu ada. Jangankan negara superpower seperti AS, selevel Mali, atau Sudan, negeri-negeri kecil di Afrika saja — Inggris, Prancis dan lain-lain ikut intervensi karena faktor sumber daya di sana. Apalagi negara sebesar Paman Sam yang memiliki sumber daya sangat besar?
Lantas, apa motif anasir asing bermain di AS dan kemana tujuannya?
Sangat panjang untuk diurai semua. Intinya adalah tata ulang kekuasaan global. Status adikuasa, misalnya, siapa yang tak mau? Atau “polisi dunia”, mata uang (dolar) global, monopoli, dan lain-lain. Semua serba menggiurkan bagi para adidaya baik yang lama maupun adidaya baru.
Kembali ke AS. Bahwa secara filosofi, perubahan di muka bumi selalu diawali karena ada dan/atau muncul ketidakpercayaan (distrust) terhadap sesuatu. Apapun ujud distrust tersebut. Jika ia —distrust— dibiarkan maka akan menggumpal sedikit demi sedikit, kemudian membesar, meluas dan akhirnya “meledak,” lalu menimbulkan perubahan. Itu gambaran sepintas. Sementara kepercayaan itu sendiri berasal dari dua arah, yaitu logika dan hati. Logika itu tentang nilai baik dan buruk, sedangkan hati soal adil dan tidak adil. Distrust muncul akibat lebìh dominannya keburukan pada sisi logika, juga tebalnya ketidakadilan di sisi hati. Nah, puncak ketidakpercayaan (akan meledak) lazimnya berupa gejolak sosial, atau riot, ataupun konflik internal dan lain-lain. Poin intinya timbul gejolak massa akibat gunungan distrust.
Jika gejolak massa tadi dapat diredam atau dibungkam oleh rezim —sistem dan aturan saat itu— maka yang akan muncul kelak justru gejolak alam. Ini yang tak bakal bisa dibungkam serta diredam oleh rezim siapapun, kapanpun, dimanapun.
Nah, mengendus fenomena dan indikasi-indikasi di Negeri Paman Sam dari waktu ke waktu, tampaknya gejolak massa akibat public distrust di AS kemungkinan berupa civil war alias perang saudara!
End
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com