Isu Papua Merdeka akhir-akhir ini semakin intesif dan gencar diperbincangkan baik pada lingkup nasional, maupun internasional. Pembahasan ini semakin memanas ketika dalam pidatonya di sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-75 yang dibacakan pada Minggu 27 September 2020, Perdana Menteri Vanuatu Bob Loughman menuduh Indonesia melakukan pelanggaran HAM di Papua. Kemudian disusul dengan kehadiran Benny Wenda, Ketua The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang mendeklarasikan pemerintahan sementara Papua Barat pada 1 Desember 2020 lalu di Inggris.
Pernyataan Perdana Menteri Vanuatu dan deklarasi yang dilakukan oleh Benny Wenda bukanlah dua hal yang tidak berkaitan satu sama lain. Jika kita mencermati, dua momen tersebut akan kita temui adanya suatu kesatuan yang bertujuan mengundang simpati masyarakat internasional agar memberi dukungan kepada elemen-elemen pro Papua Merdeka untuk menentukkan nasibnya sendiri.
Bermula sejak tahun 1969 ketika digelar Act of Free Choice atau yang dikenal dengan PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat), yaitu sebuah momentum saat masyarakat Papua Barat diminta untuk memilih, antara tetap bergabung dengan Indonesia atau tidak. Dan hasil dari Pepera menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Papua Barat memilih untuk tetap menjadi bagian dari Indonesia. Namun, Vanuatu meyakini bahwa pihak Indonesia telah berlaku tidak adil dan memaksa rakyat Papua Barat untuk memilih pilihan tersebut. Vanuatu pun meminta International Court Justice (ICJ) untuk memberi klarifikasi atas legalitas terkait serangkaian peristiwa yang terjadi pada tahun tersebut, khususnya Pepera. Mereka meminta agar Pepera dilakukan ulang dan melibatkan pengawasan internasional sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Baca: Ada apa dengan Vanuatu, Papua Barat, dan Indonesia?
Selain itu, tindakan nyata lain yang Vanuatu lakukan adalah pada saat KTT Pacific Island Forum (PIF) pada 2010 lalu, saat itu Vanuatu menjadi tuan rumah dan momen tersebut telah memberikan mereka kekuatan lebih kuat lagi untuk menyampaikan berbagai pernyataan dan pendapat, khususnya mengenai Papua Barat.
Parlemen Vanuatu berharap agar masyarakat Papua Barat yang diwakili oleh Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk mencapai status sebagai observer di pertemuan para pemimpin Melanesian Spearhed Group (MSG) dan PIF.
Walaupun Vanuatu berjuang keras pada KTT tersebut, tetapi mereka belum berhasil mewujudkan keinginannya, yaitu agar ULMWP menjadi observer dalam MSG dan FIP. Namun pada tahun yang sama, parlemen Vanuatu mengadopsi Rancangan Undang-Undang yang menegaskan pengakuan Vanuatu atas kemerdekaan Papua Barat dari Indonesia. Hal tersebut menunjukkan betapa gencar dan kuatnya niat Vanuatu dalam mendukung pembebasan Papua Barat dari genggaman Indonesia.
Setelah lima tahun terus-menerus menyuarakan dukungannya, ULMWP pada akhirnya mendapatkan posisinya sebagai observer di MSG pada tahun 2015. Momen tersebut diresmikan pada KTT ke-20 MSG yang diadakan di Kepulauan Solomon. Walaupun sebelumnya, posisi ULMWP tersebut sempat ditolak karena negara-negara anggota MSG menganggap organisasi tersebut bukanlah representasi sepenuhnya dari masyarakat Papua Barat.
Republik Vanuatu merupakan satu-satunya negara di MSG yang sangat konsisten mendukung Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk memisahkan diri dari Indonesia. Meariknya, jika kita cermati hubungan RI-Vanuatu yang terjalin sejak 1995 sampai saat ini, sepertinya hubungan kedua negara mengalami pasang surut ketimbang pasang naik. Hal ini bias kita lihat bahwa sampai sekarang kedua negara yang hanya menghasilkan enam naskah perjanjian.
Apalagi saat ini ketika hubungan kedua negara inipun semakin diperburuk ada pergeseran ketika kebijakan luar negeri Republik Vanuatu terang-terangan memihak kepada gerakan seperatisme OPM, yang bisa dibaca sebagai unjuk sikap tidak bersahabat dengan mencampuri kedaulatan nasional Indonesia, sehingga merugikan bangsa Indonesia.
Lantas, sikap apa yang perlu diambil oleh Indonesia?
Indonesia seharusnya bercermin kepada pengalaman pahit ketika Timor Leste lepas dari NKRI, dimana dunia internasional memberikan tekanan kepada Indonesia, sehingga Presiden BJ Habibie mengizinkan diselenggarakannya referendum di provinsi Indonesia yang ke-27 yang waktu itu masih bernama Timor-Timur.
Pasca perang dingin (Cold War), Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan isu sensitif sebab selain demokrasi dan lingkungan hidup, ketiga isu tersebut menjadi isu global di panggung internasional. Selain itu, seiring dengan lajunya arus globalisasi yang mana hubungan antarbangsa dalam system hubungan internasional mengalami perluasan lingkup peran, maka hubungan antarbangsa tidak semata-mata ditentukan oleh aktor negara (state actors), melainkan juga aktor-aktor non-negara (non-state actors). Sehingga baik Non-Governmental Organizations (NGOs) maupun berbagai elemen masyarakat internasional memiliki hak dan ruang bermain dalam menyorot suatu kasus yang berhubungan dengan masalah human right.
Dalam konteks Papua, pemerintah Indonesia semestinya menyelesaikan segala persoalan yang berada di propinsi Timur Indonesia ini, terutama terkait masalah pelanggaran HAM yang terjadi di sana. Sebab manakala pelanggaran HAM terhadap masyarakat Papu kemudian menyentuh hak-hak social-budaya, seperti tanah adat dan tanah ulayat warga, maka gerakan OPM yang dibantu oleh komunitas internasional maupun negara-negara yang secara terang-terangan mendukung gerakan separatisme OPM, bakal semakin gencar dan intensif menginternasionalisasikan isu Papua Merdeka.
Maka itu penting kiranya mencermati secara serius Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua yang sebagaian besar pasalnya benar-benar mengingatkan adanya akar-akar konflik Papua yang mana dalam praktiknya tidak dijalankan atau dibahas sehingga akar-akar konflik di Papua bukan saja tidak ditangani secara serius. Bahkan bisa memicu eskala konflik yang lebih meningkat, sehingga para pihak yang mendukung internasionalisasi isu Papua akan semakin intensif.
Walaupun dalam kancah internasional Indonesia telah mengambil langkah-langkah diplomatik yang cukup baik dengan membantah pernyataan Vanuatu di forum PBB dan forum-forum lainnya, maupun dengan melayangkan protes kepada perwakilan Inggris di Indonesia atas pembiaran tindakan yang dilakukan oleh Benny Wenda di negara The Three Lion. Namun hal itu jadi sia-sia belaka jika sumber-sumber masalah yang terjadi di Papua sendiri tidak segera diselesaikan secara cerdas oleh Pemerintah Indonesia.
Mengabaikan upaya penyelesaian akar-akar konflik di Papua yang erat kaitannya dengan hak-hak social-budaya masyarakat Papua seperti hak tanah adat dan ulayat, maka suara-suara yang mendukung kemerdekaan Papua akan berdengung terus-menerus sehingga menarik perhatian dunia internasional. Dan apabila hal itu terjadi, maka konsekuensi terburuknya adalah Papua akan lepas dari kedaulatan nasional NKRI seperti ketika Timor Timor lepas dari Indonesia.
Husni Mubarak Raharusun, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial-Politik, Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Nasional, Jakarta