Keberadaan Laboratorium Biologis Militer AS di Beberapa Negara Melanggar the Biological Weapons Convention 1972

Bagikan artikel ini

Ada beberapa versi terkait sebab-musabab menyebarnya virus Corona atau Covid-19 yang belakangan ini mulai jadi bahan pertimbangan para saintis dari pelbagai belahan dunia. Salah satunya adalah Robert Redfield, mantan Kepala Pusat Pencegahan dan Pengawasan Penyakit (the US Center for Disease Prevention and Control), mengatakan bahwa Covid-19 secara artificial diciptakan, dengan indikasi terdapat karakteristik khusus terkait pola penyebaran tipe baru virus tersebut. Selain itu, Direktur Jenderal World Health Organization (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengakui bahwa hingga kini bahwa sumber penyebab timbulnya infeksi masih belum bisa diidentifikasi.

Dalam rapat dengar pendapat dengan Komite Intelijen Senat AS,  Director of National Intelligence Avril Haynes mengatakan bahwa komunitas intelijen AS sedang mempertimbangkan dua versi pandangan alternatif terkait sebab-musabab menyebarnya virus Covid-19. Termasuk terjadinya kecelakaan beberapa laboratorium biologis di beberapa negara.

Meskipun pemerintah AS berulangkali membantah bahwa kecelakaan di beberapa laboratorium biologis tersebut tak ada hubungannya dengan munculnya pandemi Covid-19 yang telah menewaskan jutaan jiwa di pelbagai belahan dunia, namun tudingan terhadap AS sebagai penyebab penyebaran virus Corona semakin gencar dari waktu ke waktu. The British Daily Mail, salah satu surat kabar terkemuka Inggris, mewartakan bahwa pada 2017, ketika tak seorangpun membayangkan bakal timbul pandemi Corona pada 2019, komunitas intelijen AS memprediksi bahwa akan timbul Covid-19, dan restriksi dari berbagai negara yang terkena pandemi, untuk melakukan serangkaian aksi mencegah meluasnya penyebaran pandemic Covid.

Nampaknya asumsi yang mendasari prediksi tersebut berdasarkan akses pengetahuan dan informasi yang ada pada para penyusun prediksi tersebut ihwal adanya kegiatan-kegiatan rahasia beberapa laboratorium biologis AS yang tersebar di beberapa negara di dunia. Khususnya di negara-negara yang berbatasan dengan Rusia dan Cina.

Is COVID-19 a biological weapon? - Global Village Space

Maka itu desakan dari pemerintah Cina agar AS memberi informasi terkait beberapa eksperiman yang dilakukan di beberapa laboratorium militer AS terutama di Ukraina maupun di Fort Detrick, Maryland, AS, jadi sangat masuk akal. Pihak Cina mendesak agar AS bersikap terbuka dan kooperatif, dan bersedia bekerjasama dengan WHO, dan mengundang panel para ahli untuk mengadakan penelitian saintifik, untuk mengungkap sumber penyebab penyebaran virus Corona di AS.

Desakan serupa saat ini tidak saja berasal dari Cina, melainkan juga dari berbagai negara. Khususnya dari negara-negara yang selama ini merupakan jaringan rahasia terbentuknya laboratorium-laboratorium rahasia yang diduga menjadi sarana kegiatan rahasia untuk eksperimen yang dikendalikan militer AS/Pentagon.

Saat ini diperkirakan ada sekitar 200 laboratorium militer AS yang  “bertujuan ganda” yang tersebar di berbagai belahan dunia, dan membahayakan keselamatan negara. Yang mana di permukaan merupakan laboratorium penelitian penyakit pandemi, seperti NAMRU-AS di Indonesia, namun di bawah permukaan, merupakan sarana operasi intelijen untuk eksperimen pembuatan senjata biologis lewat rekayasa virus.

Setidaknya AS pernah mendirikan beberapa laboratorium biologis di 25 negara seperti di Timur-Tengah, Afrika, Asia Tenggara, dan beberapa eks pecahan Uni Soviet seperti Ukraina, seperti di Ukraina.

Aspek penting yang juga patut disorot adalah sikap pemerintah AS yang mendua alias double standard terhadap  the Biological Weapons Convention pada 1972. Pada satu sisi, AS ikut meratifikasi perjanjian tersebut, namun menolak beberapa pasal yang menekankan pentingnya mekanisme saling mengawasi pada 2001 lalu. Sehingga AS sulit untuk diverifikasi apakah telah mematuhi the Biological Weapons Convention 1972 melalui sarana hukum internasional.

Sikap AS yang mengelak dalam menyetujui pasal terkait mekanisme saling mengawasi dari Convensi 1972 itu, AS bebas dari pengawasan dalam kegiatannya memperluas jaringan laboratorium  biologisnya di berbagai negara melalui operasi intelijen.

Amazon.com: Biological Weapons: Coronavirus, Weapon of Mass Destruction? eBook: Jha, DR. U C, Ratnabali, Dr K: Kindle Store

Pada 2005 lalu misalnya, telah ditandangani perjanjian antara kementerian kesehatan Ukraina dan kementerian pertahanan AS (Pentagon) dalam bidang pencegahan teknologi, pathogen, dan ilmu-pengetahuan, yang kiranya dapat digunakan untuk pengembangan persenjataan biologis. Tekanan perjanjian kedua negara  pada frase “pengembangan persenjataan biologis dan pencegahan terkait penyebaran pengetahuan” mengenai program tersebut.

Perjanjian tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa Ukraina mengakui bahwa setiap informasi terkait program tersebut, bersifat rahasia. Dan pihak AS tidak akan menerbitkannya untuk konsumsi publik.

Maka setiap orang yang mengakses informasi tersebut akan bertindak atas dasar menjaga kerahasiaan negara. Kenyataan bahwa sampai saat ini tak laporan ilmiah terkait kegiatan laboratorium biologis tersebut, nampaknya berada di luar kendali kewenangan pemerintah Ukraina. Sehingga masuk akal jika hal ini mengundang kecurigaan. Jika benar laboratorium itu didirikan untuk program kemanusiaan memerangi virus berbahaya dan bakteria, mengapa segala kegiatannya harus diselubungi rahasia?

Kenyataan bahwa beberapa laboratorium biologis AS tersebut tersebar di beberapa negara Asia, Afrika dan beberapa negara yang mengklaim demokrasi seperti Ukraina dan Georgia, dan juga di Eropa dan AS sendiri, memang sungguh luarbiasa aneh.

Pada 2009 lalu beberapa media Ukraina, mengangkat beberapa artikel mengenai adanya ancaman laboratorium biologis di kota kecil dekat Kharkov, di Merefa. Karena di lokasi tersebut terbetik berita akan didirikan sebuah laboratorium  di the Veterinary Institute. Laboratorium ini selesai pada 2015 lalu. Sehingga bukan saja media di Ukraina yang memprotes keberadaan laboratorium biologis tersebut, tapi juga beberapa negara tetangga yang merasakan ancaman yang sama.

Pada April 2020 juga mencuat sebuah temuan dari Viktor Medvedchuk bahwa ada sekiar 15 laboratorium militer yang beropeasi di Ukraina.

Dalam temuan Viktor Medvedchuk tersebut terungkap adanya kaitan antara kegiatan rahasia laboratorium biologis tersebut dengan mewabahnya penyakit misterius di beberapa wilayah di Ukraina. Khususnya virus yang menyebabkan hemorrhagic pneumonia pada 2009 dan kolera pada 2011 lalu.

Baca: Is the US Preparing to Start a Biological War?

Pada Januari 2016,  20 orang pelayan meninggal akibat penyakit sejenis flu di Kharkov. Adapun 200 orang lainnya dalam perawatan di rumah sakit. Dua bulan kemudian, 364 orang meninggal dunia di Ukraina. Ironisnya, pihak laboratorium biologis AS yang beroperasi di Ukraina, mengklaim keberadaanya di sana justru untuk memberantas pandemi tersebut.

Singkat cerita, jika laboratorium-laboratorium biologis yang umumnya di bawah kekuasaan militer AS(Pentagon) tidak ditutup atau dibuka aktivitasnya kepada publik, maka AS berarti telah melanggar Konvensi 1972. Sehingga AS sangat berpotensi untuk semakin meningkatkan pengembangan persenjataan biologisnya  laboratorium-laboratorium serupa di berbagai negara, termasuk Indonesia, bebas dari pengawasan melalui the Biological Weapons Convention yang mana AS termasuk yang menandatanganinya pada 1972.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com