Kebijakan Luar Negeri AS Terhadap India Masih Didasari Skema Neokolonialisme

Bagikan artikel ini

Hubungan India dan Amerika Serikat sebagai negara adikuasa sejak awal tidak didasari niat tulus untuk menjalin kerjasama bilateral maupun multilateral yang setara dan saling menghargai urusan dalam negeri masing-masing negara. Seperti tulisan saya terdahulu, caranya adalah dengan mendorong terciptanya hubungan yang memburuk antara India dengan negara-negara Barat yang merupakan sekutu strategis AS seperti Kanada. Atau mendorong cipta kondisi memburuknya hubungan antara India dengan negara-negara berkembang. Seperti persengketaan perbatasan antara India versus Cina. Atau antara India versus Pakistan.

Narendra Modi, India’s prime minister, during a news conference in Sydney, Australia

Misalnya dalam tulisan saya terdahulu terkait memburuknya hubungan India-Kanada, Pemerintahan AS dan Kanada terlihat jelas memihak kelompok separatis Sikh menyusul tewasnya  pemimpin separatis Sikh, Hardeep Singh Nijjar, di depan sebuah kuil di Surrey, dekat Vancouver. Kasus tewasnya Hardeep Singh Nijar baru sebagian dari cerita. Di Amerika Serikat, ketika Perdana Menteri India Narendra Modi berkunjun ke Gedung Putih pada 22 Juni 2023 lalu, Presiden Joe Biden mendesak agar pemerintah India menyatakan secara terbuka keterlibatan aparat keamanan dan intelijen India dalam pembunuhan terhadap Gurpatwant Singh Pannun, warga negara AS keturunan Sikh yang tergabung dalam di New York-based Sikhs for Justice,  yang mana aktif mengadvokasi kelompok-kelompok  separatis  yang tinggal di  provinsi Punjab di India Utara, untuk memisahkan diri  dari India, serta membentuk Negara Sikh Merdeka. 

Fakta bahwa NGO yang mengadvokasi para aktivis kelompok separatis yang inin membentuk Negara Sikh Merdeka tersebut bermarkas di New York, merupakan bukti nyata bahwa AS secara terbuka dan terang-terangan mendukung aksi separatisme Sikh tersebut.

Baca:

From India, a plot was allegedly hatched to murder an American. Now what?

Berdasarkan kasus inilah pihak AS menuduh bahwa seorang  aparat keamanan India yang bertugas di bidang manajemen keamanan dan intelijen, telah terlibat dalam persekongkolan membunuh Gurpatwant Singh Pannun.  Melalui kasus ini, nampak jelas AS maupun Kanada punya sudut pandang yang sama. Bahwa kasus Hardeep Singh Nijjar maupun Gurpatwant Singh Pannun, AS maupun Kanada mengembangkan kasus ini  untuk menyerang pemerintah India dalam pelanggaran   hak-hak asasi manusia. Dengan mengabaikan sudut pandang India bahwa kasus tewasnya Gurpatwant Singh dan Hardeep Singh Nijar merupakan konsekwensi logis dari aksi separatisme kelompok Sikh yang ingin membentuk Negara Sikh Merdeka lepas dari kedaulatan India.

India memandang tewasnya Hardeep Singh Nijjar maupun Gurpatwant Singh Nijar merupakan bukti nyata bahwa aksi-aksi separatis Sikh ala Hardeep Singh maupun Gurpatwant Singh Pannun  pantas untuk diklasifikasi sebagai aksi terorisme yang layak untuk dibasmi sampai ke akar-akarnya.

Baca: AS Berkepentingan Dengan Memburuknya Hubungan Kanada-India

Oleh sebab kasus tewasnya Hardeep Singh , maka AS yang dalam hal ini menggunakan Kanada sebagai alat penekan terhadap India untuk mendesak pemerintah India untuk melakukan investigasi dan pengusutan atas  kematian Hardeep Singh Nijar, maka bisa disimpulkan bahwa AS tidak berniat menjalin kerja sama dan hubungan baik dengan India secara setara dan saling menghargai politik dalam negeri masing-masing negara.

Melalui penyikapan AS dan Kanada terkait tewasnya Hardeep Singh Nijar, nampak jelas bahwa ketiga negara Barat tersebut tetap mempertunjukkan superioritas nilai-nilai peradaban Barat melalui isu hak-hak asasi manusia. Mengutamakan hak-hak asasi manusia seraya mengabaikan sudut pandang India yang memandang aksi-aksi yang dilakukan oleh kelompok Sikh merupakan  kelompok militan terlarang yang telah menggunakan aksi terorisme sebagai modus operandi, berarti AS dan negara-negara sekutunya dari Barat seperti Inggris dan Kanada, sejatinya tetap memandang India sebagai obyek kolonisasi.

Buktinya, dengan memihak kelompok separatis Sikh dengan dalih India telah melanggar hak-hak asasi manusia, berarti AS dan sekutu-sekutu Barat-nya, telah melancarkan destabilisasi politik dalam negeri India.

Baca: The roots of the India–Canada stoush

Dalam kerangka  Strategi Global AS, India harus diupayakan agar bersedia masuk dalam persekutuan strategis AS untuk membendung pengaruh Cina utamanya di kawasan Asia Pasifik. Seraya mengendalikan perekonomian nasional India lewat investasi. Seakan AS dan blok Barat pura-pura tidak tahu atau memang tidak mau tahu, bahwa saat ini India juga menjalin aliansi strategis yang saling menguntungkan dengan Cina dan Rusia baik di Shanghai Cooperation Organization (SCO) maupun blok ekonomi-perdagangan BRICS yang dimotori lima negara Brazil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan. Bahkan saat ini reputasi BRICS sebagai kekuatan regional semakin meningkat dengan bertambahnya lima negara anggota baru seperti Iran, Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Etiopia.

Maka itu  di sinilah faktor krusialnya. Melalui kerja sama ekonomi dan investasi, AS  berusaha menekan India agar selain bersedia ikut serta dalam Strategi Indo-Pasifik AS untuk membendung Cina, India juga harus bersedia mendukung politik luar negeri AS di pelbagai forum internasional yang bersifat multilateral, untuk memberikan sanksi ekonomi yang keras terhadap negara adikuasa yang dipandang musuh oleh Washington, yaitu Rusia.  Jika India menolak, maka AS akan menghentikan kerja sama ekonomi dan investasi dengan India.

Salah satu contoh yang cukup krusial misalnya  adalah tentang Trade Agreement Act-designated country status. Sebagaimana dilansir oleh situs berita India Hindustimes, India sangat ingin mendapatkan status negara yang ditunjuk oleh Undang-Undang Perjanjian Perdagangan dari AS dan mungkin mengupayakan pemulihan manfaat Sistem Preferensi Umum. Sebagai imbalannya, AS mungkin akan meminta India untuk memfasilitasi ekspor Amerika dan mengatasi permasalahan seperti akses pasar, hak kekayaan intelektual, dan kebijakan e-commerce.

New Delhi India sangat ingin mendapatkan status negara yang ditetapkan oleh Amerika Serikat berdasarkan Undang-Undang Perjanjian Perdagangan dan mungkin akan mendorong Washington untuk memulihkan manfaat Sistem Preferensi Umum (GSP), sementara AS mungkin akan meminta New Delhi untuk memfasilitasi ekspor Amerika untuk menjembatani defisit perdagangan bilateral AS-India yang mana AS mengalami defisit.

Baca:

TAA, GSP and removal of trade barriers may be discussed during Tai’s India visit next week

Status India sebagai salah satu negara yang ditunjuk TAA akan membantu dunia usaha India untuk menjual produk mereka kepada pemerintah AS, namun kesepakatan semacam itu sering kali didasarkan pada negosiasi menyeluruh dan timbal balik yang bersifat quit pro quo.

Nah dalam proses negosiasi seperti inilah, pemerintah AS selalu berusaha mendikte negara-negara mitranya, terutama dari negara berkembang seperti India, agar menerapkan agenda-agenda  non ekonomi-perdagangan seperti demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Dengan memanasnya hubungan AS-India terkait pembunuhan Gurpatwant Singh Pannun yang kebetulan terjadi di wilayah AS, besar kemungkinan kerja sama ekonomi-perdagangan AS-India tidak akan berjalan lancar karena kecenderungan Washington untuk menjadikan isu demokrasi dan hak-hak asasi manusia sebagai prasyarat untuk terciptanya  kerja sama ekonomi dan perdagangan.

 

US Trade Representative Katherine Tai is set to visit India next week. (PTI)

US Trade Representative Katherine Tai visited India (PTI)

 

Dari sini nampak jelas, bahwa Kebijakan Luar Negeri AS terhadap India masih didasari Skema Neokolonial. Hal ini semakin terang-benderang ketika India hingga kini masih tetap menolak mendukung AS terkait perang di Ukraina. Sehingga AS beranggapan bahwa India lebih condong memihak Rusia. Padahal India justru mempertunjukkan betapa dalam menjalin hubungan kerja sama dengan Rusia, didasari prinsip setara dan saling menghargai politik dalam negeri masing-masing negara mitra-nya.

Baca:

India Bukan Sekutu AS—dan Tidak Pernah Ingin Menjadi Sekutu 

AS dan sekutu-sekutu Barat-nya sepertinya semakin khawwatir bahwa persekutuan strategis Cina-Rusia sejak dideklarasikannya Shanghai Cooperation Organization (SCO) maupun blok kerja sama ekonomi BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan), telah menjadi benih tumbuh-berkembangnya kerja sama-kerja sama internasional yang tidak lagi bersifat Unipolar atau Pengkutuban Tunggal yang bertumpu pada AS dan Uni Eropa sebagai “polisi dunia” melainkan bergerak menuju kerja sama bersifat Multipolar alias ragam kutub. Sehingga Rusia dan Cina muncul sebagai simpul-simpul alternatif seturut menguatnya pergeseran dari Unopolar ke Multipolar.

Bergabungnya India ke dalam blok negara-negara berkembang yang sedang bangkit dari keterpurukan (emerging countries) inilah, maka AS dan negara-negara sekutu Barat-nya tetap bersikeras untuk mempertahankan India tetap dalam pengaruh blok Uni Eropa dan NATO. Nampaknya, bergabungnya India ke dalam gerakan Global South yang mana Rusia dan Cina dipandang sebagai simpul alternatif, AS dan blok Barat merasa sangat khawatir.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com