Kejahatan Perang AS Menghancurkan Warga Sipil dan Infrastruktur Publik Irak

Bagikan artikel ini

Tulisan saya terdahulu sempat menyorot benarkah AS dan NATO merupakan sumber penyulut sesungguhnya aksi terorisme di pelbagai belahan Dunia menyusul invasi militernya ke Afghanistan pada 2001 dan Irak pada 2003? Mari kita simak artikel Ann Scott Tyason di harian Washington Post pada 4 Agustus 2006 lalu, ketika Ann Tyson secara khusus menyorot ihwal invasi AS ke Irak pada 2003:

Baca juga tulisan saya terdahulu:

AS dan NATO Penyulut Meluasnya AksiTerorisme di Timur-Tengah, Afrika dan Asia

 

“Para penduduk berargumen bahwa kehadiran Amerika Serikat telah menyusulut serangan-serangan itu. Mereka menyalahkan militer Amerika alih-alih gerilyawan atas berubahnya kota mereka menjadi zona perang. Mereka bilang bahwa Amerika sebaiknya meninggalkan Irak dan membiarkan mereka menyeleesaikan masalah mereka sendiri.”

 

Kalau kita telisik sejak Perang Teluk I ketika tentara AS membantu Kuwait menghadapi Irak ketika Saddam Hussein melancarkan aksi militer menguasai salah satu wilayah kaya minyak yang berada dalam kedaulatan Kuwait, praktis tentara AS mengebom Irak selama 12 tahun. Sehingga invasi AS dan NATO ke Baghdad pada 2003 merupakan titik-kulminasi dari upaya Washington untuk menginvasi, menjajah dan menggulingkan kekuasaan pemerintahan Saddam Hussein.

 

Saddam Hussein pada 1991.

 

Maka sejak 1991 hingga 2003, rakyat Irak telah kehilangan segalanya. Sebuah studi yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2005 lalu mengungkap 84 persen Lembaga pendidikan tinggi Irak telah dihancurkan, dirusak dan dirampok. Fungsi Sistem Pendidikan praktis lumpuh total.

 

Kondisi kota Baghdad tahun 2016

 

Para intelektual dan kaum akademisi yang bermukim di Irak jumlahnya semakin berkurang secara drastis dikarenakan ribuan akademisi dan professional telah mengungsi ke luar negeri, diculik atau mati dibunuh. Bukan itu saja. Jutaan penduduk Irak yang kebanyakan berasal dari kelas menengah terpelajar pindah ke Yordania, Suriah dan Mesir.

Selain Sistem Pendidikan, Fungsi Sistem Kesehatan juga mengalami kelumpuhan total di Irak. Praktis sejak invasi tentara AS dan NATO ke Irak, tidak ada Lembaga-lembaga yan merawat kesehatan masyarakat. Alhasil infeksi mematikan, termasuk penyakit tifus dan turbekolosis (TBC), menyebar dan mewabah dengan cepat di seluruh wilayah negara. Jaringan rumah sakit dan Pusat Pelayanan Kesehatan di irak dalam keadaan rusak parah akibat dari perang dan penjarahan yang menyusul ditetapkannya Irak sebagai zona perang.

Krisis Pangan dan Kelaparan juga melanda Irak pasca invasi militer AS dan NATO. Program Pangan dari PBB melaporkan bahwa 400 ribu anak-anak di Irak menderita kekurangan protein akut. Kematian akibat kurang gizi dan penyakit tak dapat dicegah, terutama yang dialami anak-anak. Kondisi ini terjadi bukan saja disebabkan invasi militer AS ke Irak, namun juga akibat sanksi ekonomi yang diberlakukan AS dan Uni Eropa sejak 1991. Dengan demikian kemiskinan dan meningkatnya gangguan-gangguan keamanan pada perkembangannya telah menyulitkan akses penduduk terhadap obat-obatan dan pola makan yang baik.

Invasi AS dan NATO ke Irak dengan dalih War on Terror, pada perkembangannya malah merupakan aksi terorisme yang lebih parah bagi warga sipil Irak daripada aksi-aksi teror yang dilancarkan Al-Qaeda atau Laskar Jundullah. Betapa tidak. Ribuan warga sipil Irak telah kehilangan kaki atau tangannya akibat bom Cluster yang tidak meledak saat dijatuhkan oleh tentara AS dari pesawat udara. Sehingga kemudian bom itu berubah fungsi jadi ranjau darat.

Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat/NGO yang menangani isu-isu hak-hak asasi manusia mengecam keras bom Cluster dan menganggapnya sebagai momok bagi warga sipil Irak. Terutama bagi anak-anak yang tidak tahu apa-apa, kemudian mengambilnya dari tanah.

Selain itu, partikel uranium yang berasal dari ledakan artileri tentara AS menyebar di udara Irak, dihirup oleh tubuh manusia dan selamanya menjadi radiasi yang mengontaminasi air, tanah, darah, gen hingga akhirnya terbawa oleh bayi baru lahir, yang mengakibatkan bayi-bayi yang baru lahir mengalami cacat fisik. Para dokter bahkan mengatakan kepada BBC bahwa kota Falujah memiliki angka yang tinggi terhadap bayi lahir dengan cacat fisik. Para dokter juga menyalahkan keadaan tersebut pada senjata kimia yang digunakan oleh AS dalam serangan militernya pada 2004 lalu.

 

(Simak William Blum, America’s Deadliest Export Democracy, The Truth About US Foreign Policy and Everything Else, terbitan tahun 2013).

 

Persediaan air minum maupun sistem pembuangan limbah, dan persediaan listrik yang sebelum invasi militer AS ke Irak aman dan lancer, pada pasca invasi 2003 semuanya hancur.

Sebagaimana hasil observasi dan penelisikan berbagai sumber, William Blum dalam bukunya juga mengungkap bahwa AS telah dengan sengaja menghancurkan sistem air dan pembuangan limbah, sebagaimana infrastruktur lainnya di Irak.

Yang tak kalah dramatis dan memilukan, warisan kuno yang berada di Irak dihancurkan dan dijarah, termasuk dokumen-dokumen sejarah penting yang menggambarkan kejayaan era Babilonia di masa silam. Tentara AS membiarkan situs-situs bersejarah tanpa perlindungan karena disibukkan untuk melindungi fasilitas-fasilitas minyak.

Maka bukan hal yang mengejutkan ketika sutradara film Amerika Michael Moore pada 24 Maret 2006 lalu berkata:

 

“Saya mengetahui bahwa di Frontline PBS minggu ini terdapat dokumentasi yang disebut sebagai “Perangnya Bush.” Selama ini , saya pun menyebutnya demikian. Bukan “Perang Irak.” Irak tidak punya senjata pemusnah massal. Namun Irak memang memiliki bioskop dan bar serta Wanita yang memakai apa pun yang mereka inginkan dan populasi umat Kristiani yang signifikan dan beberapa pusat kota Arab dengan sebuah sinagoge. Sekarang, semuanya sudah hilang. Kau akan ditembak di kepala kalau kau memutar suatu film. Lebih dari seratus wanita dihukum mati karena tidak mengenakan jilbab.”

 

Nampaknya begitulah gambaran nyata kejahatan perang tentara AS terhadap warga sipil Irak. Pengeboman yang dilancarkan AS secara terus-menerus di Irak menyebabkan kehancuran yang tak terhingga terhadap rumah, perkantoran, masjid, jembatan, jalanan, dan semua hal yang memegang peran penting dalam kehidupan peradaban modern.

Maka itu menarik ketika William Blum ditanya seseorang saat Saddam Hussein berhasil ditangkap dan dilucuti kekuasannya sebagai Presiden Irak. “Katakan kepada saya apakah kamu senang bahwa Saddam Hussein sudah tidak lagi memegang kekuasaan di Irak?” William Blum mengagetkan si penanya ketika menjawab “tidak.”

Begini jawaban Blum: “Kalau kamu mendapatkan operasi untuk cedera lutut, tetapi operasi itu ternyata akhirnya menyebabkan seluruh kaki anda diamputasi, apa yang akan kamu pikirkan saat seseorang kemudian bertanya kepadamu, ‘apakah kamu senang bahwa kamu sudah tidak lagi memiliki cedera lutut?’ Rakyat Irak kini tidak lagi memiliki masalah dari Saddam.”

Sebuah analogi yang pas dan genius. Saya jadi berpikir, terhadap siapa sebenarnya invasi AS dan NATO ditujukan? Terhadap kekuasaan Saddam Hussein atau terhadap rakyat sipil Irak?

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute

 

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com