Pada 15 November 2022 lalu ada sebuah peristiwa yang luar biasa bagi Universitas Pertahanan RI dan Kementerian Pertahanan RI. Yaitu penandatanganan kerja sama berupa Memorandum of Understanding (MOU) antara Pemerintah Republik Indonesia dan World Health Organization (WHO) perihal Berdirinya dan Pengoperasian A Multy-Country Hub Health for Emergenccy Operational Readiness termasuk Emergency Medical Teams (EMT) Training Hub di Universitas Pertahanan RI.
Sampai di sini tidak yang ada yang cukup mengkhawatirkan. Karena sesuai dengan kesepakatan yang termaktub, Indonesia dan WHO bersepakat akan berkolaborasi mendirikan Pusat Pelatihan Health Emergency Operational Readiness termasuk Pelatihan Emergency Medical Teams sebagai Pusat Pelatihan Kesiapan Darurat Kesehatan berskala nasional, regional kawasan, hingga pada taraf internasional.
Namun ada satu masalah krusial kalau kita menelisik ke belakang, ketika Menteri Pertahanan RI dan WHO menjajagi kerja sama kolaborasi pada November 2021 lalu yang kemudian ditindaklanjuti melalui pertemuan berikutnya pada Juni 2022, ketika Menteri Pertahanan RI mengusulkan Universitas Pertahanan RI sebagai Center of Excellence dalam membangun pusat pelatihan peningkatan kapasitas kesiapan darurat, khususnya di bidang Bio-Security danBio-Defense.
Nah, adanya frase kata Bio-Security dan Bio-Defense ini sepertinya cukup mengkhawatirkan mengingat pengalaman traumatik Indonesia terkait beroperasinya aktivitas laboratorium NAMRU-2 AS yang mana pada 2009 lalu terungkap bahwa sejatinya NAMRU-AS itu merupakan laboratorium bertujuan ganda. Di permukaan merupakan laboratorium penelitian penyakit menular seperti Malaria dan TBC, namun pada kenyataannya merupakan laboratorium biolologis-militer yang berada di bawah kendali Angkatan Laut Amerika Serikat.
Dengan demikian, cukup beralasankah kita untuk menghawatirkan kerja sama kesehatan antara Indonesia dan Australia yang telah ditandatangani pada 15 November 2022 lalu tersebut? Mari kita mulai dengan menelisik peran dari Australian Defense Force Malaria and Infectious Desease Institute (ADF MIDI), yang merupakan mitra kerja sama Kementerian Pertahanan RI dari pihak Australia terkait Skema Kerja Sama Kesehatan RI-Australia.
Di sini ada dua peristiwa kebetulan yang cukup menarik untuk dicermati. Pada 20 April 2022 lalu Rektor Universitas Pertahanan RI yang diwakili oleh Wakil Rektor I Mayjen TNI Jonni Mahroza menerima kunjungan delegasi dari ADF MIDI yang dipimpin oleh Prof Dennis Shanks, Direktur ADF MIDI, selaku Ketua Delegasi.
Adapun ADF MIDI itu sendiri sebagai badan pusat penelitian penyakit menular sepertinya memang tidak beralasan bagi kita untuk khawatir. Namun ada dua indikasi yang cukup mengkhawatirkan. Pertama, ADF MIDI itu sendiri ada kesamaan model dengan NAMRU-AS yang pernah beroperasi di Indonesia sejak 1970an hingga ditutup atas keputusan Ibu Siti Fadilah Supari pada 2009.
Kedua, reputasi Prof Dennis Shanks sebagai Direktur ADF MIDI yang pernah menjadi salah satu ahli yang bergabung di AFRIMS, The Armed Forces Research Institute of Medical Services, rasa-rasanya kita cukup beralassan untuk bersikap hati-hati dan penuh kewaspadaan. Sebab sejak 2017 AFRIMS disinyalir merupakan proyek yang sama persis atau bisa dianggap sebagai kelanjutan dari NAMRI-2 AS yang pernah beroperasi di Indonesia sejak awal 1970-an hingga ditutup atas perintah Menteri Kesehatan Siti Fadila Supari pada 2009 lalu, atas sebab misi terselubungnya sebagai sarang intelijen Angkatan Laut di Indonesia. Dan Prof Dennis Shanks ini, selain pernah aktif di AFRIMS yang bermarkas di Thailand, juga pernah aktif di NAMRU-2 AS Indonesia.
Reputasi Prof Dennis Shanks yang erat kaitannya dengan AFRIMS di Thailand dan NAMRU-2 di Indonesia, kiranya para stakeholders kesehatan maupun pertahanan RI sudah cukup punya alasan kuat untuk waspada dan hati-hati, seraya mengkaji berbagai kemungkinan yang mengindikasikan adanya agenda-agenda tersembunyi ADF MIDI di balik Skema Kerja Sama Kesehatan RI-Australia.
Baca:
Apalagi peran dan kiprah AFRIMS berdasarkan penelisikan tim riset Global Future Institute (GFI) pada 2017 lalu, ternyata sudah menyebar ke beberapa negara di kawasan Asia Tennggara seperti Vietnam, Laos, Singapura, Thailand dan Filipina.
Baca:
Waspadai AFRIMS, NAMRU-2 AS Gaya Baru di Asia Tenggara
Selain indikasi yang mengkhawatirkan terkait reputasi Prof Dennis Shanks, Direktur ADF MIDI terkait Kerja Sama Kesehatan Indonesia-Australia, ada satu lagi peristiwa terpisah yang kiranya cukup beralasan bagi kita untuk menaruh kekhwatiran dan kewaspadaan. Pada 12 Desember 2022, Rektor Universitas Pertahanan RI Laksdya TNI Prof Dr Amarulla Octavian, menerima kunjugan kerja Wakil Sekretaris Jenderal NATO Bidang Kebijakan Politik dan Keamanan, Bettina Cadenbach, beserta rombongan. Menariknya lagi, ikut serta mendampingi dalam kunjungan Wakil Sekjen NATO tersebut, beberapa pejabat Kedutaan Besar Jerman di Jakarta.
Baca: Rektor Unhan RI Terima Wakil Sekjen NATO
Berdasarkan rangkaian dua peristiwa tersebut di atas, kedatangan Direktur ADF MIDI Prof Dennis Shank maupun Wakil Sekjen NATO Bettina Cadenbach, ke Universitas Pertahanan RI bertemu beberapa pucuk pimpinan universitas tersebut, maka kerjasama Indonesia-Australia terkait dengan berdirinya dan pengoperasian A Multy-Country Hub Health for Emergency Operational Readiness termasuk Emergency Medical Teams (EMT) Training Hub, perlu dicermati secara lebih hati-hati dan penuh kewaspadaan.
Sebab berdasarkan beberapa informasi yang berhasil ditelisik tim riset Global Future Institute (GFI), sejatinya NATO lah yang punya ide dan prakarsa untuk membangun A Multy-Country Hub Health for Emergency Operational Readiness termasuk Emergency Medical Teams, yang nantinya akan diproyeksikan sebagai laboratorium bio-military plus pharmacy yang disamarkan sebagai pusat program penelitian dan pelatihan bersama (Joint Educated and Research Programs, Trainings on the basis of Civilian Peace Keeping Force).
Maka itu, seluruh stakeholders kesehatan dan pertahanan RI baik yang di pemerintahan, DPR, perguruan tinggi, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), maupun Lembaga swadaya masyarakat, sudah seharusnya segera membahas masalah tersebut secara terbuka. Sehingga mampu mencegah masuknya agenda tersembunyi yang disusupkan melalui Skema Kerja Sama Kesehatan antara RI-Australia maupun nantinya dengan skema yang serupa, dengan negara-negara mitra Indonesia lainnya.
Kita sebagai elemen-elemen bangsa, kiranya wajib untuk hati-hati dan waspada, mengingat pengalaman buruk kita dengan aktivitas NAMRU-2 di Indonesia. Sehingga Kerja Sama Kesehatan Indonesia-Australia maupun nantinya dengan negara-negara lainnya atas dasar skema serupa, haruslah dibangun atas dasar transparansi, kesetaraan, saling menguntungkan kedua belah pihak. Dan tentu saja saling terbuka satu sama lain. Tidak boleh ada agenda tersembunyi.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)