Memilah Lautan Asumsi
Pada gilirannya terbaca —meski samar— bahwa aksi damai ribuan kepala desa (kades) di depan DPR RI (17/1/2023) dengan tuntutan mengubah masa jabatan kades dari enam menjadi sembilan tahun merupakan praktik ‘desa mengepung kota’ ala Mao Zedong dalam kemasan lain. Mari breakdown kata per/kata siasat Mao di atas.
Bila tuntutan penambahan masa jabatan kades itu ibarat ‘DESA’, maka ‘KOTA’-nya adalah perubahan tiga periode masa jabatan presiden. Sudah barang tentu, hal ini masih asumsi. Sekadar ‘kompas’ tulisan ini agar tidak meluas kemana-mana. Mari kita uji lebih lanjut asumsi dimaksud.
Secara filosofi, aksi damai para kades merupakan modus ‘PENGEPUNGAN KOTA’ oleh para (kepala) desa dan tergolong sukses. Gilang-gemilang. Kenapa? Sebab, baru diorasikan pagi hari dalam aksi di depan di DPR RI, sorenya Presiden Jokowi pun langsung menyetujui melalui (corong) Budiman Sujatmiko, kader PDI-P yang kini duduk di Komisaris PTPN. Hasilnya bagaimana? Akan ada revisi UU No 6 Th 2014 tentang Desa, khususnya masa jabatan kades akan diubah menjadi sembilan tahun sesuai tuntutan para kades. Luar biasa.
Sungguh mengejutkan, salah satu materi dalam orasi para kades ini cukup berani, bahwa para kades akan menghabisi suara partai (dalam Pemilu 2024) yang tak mendukung perubahan UU Desa tersebut. Ngeri.
Kemungkinan juga, hal ini bisa dikatakan sebagai ‘serangan’ balik Pak Jokowi kepada Bu Mega, karena pada acara HUT PDI-P ke-50 (10/1/2023), beliau diplonco habis-habisan oleh Bu Mega, “Kalau gak ada PDI-P, Pak Jokowi kasihan dech!” Katanya disambut gelak applause hadirin yang hadir.
Lagi-lagi, ini juga asumsi bahwa situasi dan kondisi negara akan tergantung situasi provinsi, kondisi provinsi tergantung situasi kota/kabupaten (kokab), kokab tergantung kecamatan, dan kecamatan tergantung desa. Dan situasi dan kondisi di desa akan diwarnai serta berada di genggam elit desa dalam hal ini adalah kades. Demikian asumsi berkembang.
Jadi, secara hakiki — kurang lebihnya, negara itu tergantung apa kata desa. Jika desa-desa serentak mengatakan A maka kemungkinan A pula di pusat (‘negara’). Dan fenomena tersebut terbukti pada demonstrasi para kades di DPR RI kemarin. Aspirasi diorasikan pada pagi hari, di sore harinya tuntutan para kades disetujui oleh Jokowi (secara lisan via Budiman Sujatmiko).
Pertanyaannya, “Apakah persetujuan Jokowi atas perubahan jabatan kades menjadi 9 tahun itu gratis?” Tentu tidak. No free lunch. Tak ada makan siang gratis dalam politik praktis. Niscaya ada timbal balik.
Flashback sejenak. Ketika secara top down (sebelumnya), wacana perubahan masa jabatan presiden tiga periode pernah ditolak berbagai kalangan terutama para ketua partai politik, namun usai aksi damai para kades —bottom up— isu tiga periode dipastikan akan kembali bergulir melalui para elit desa atas nama aspirasi rakyat. Istilahnya, desa mawa cara, negara mawa tata. Pemerintah desa punya aspirasi, pemerintah pusat nanti yang melembagakan. Begitu ‘tiktok politik’-nya.
Pertanyaan lanjutannya, “Bagaimana skenario guna mengubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode?”
Ada beberapa prakiraan (asumsi) skenario beredar, antara lain ialah:
1) diperlukan amandemen ke-5 UUD 1945 untuk mengubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Tetapi, cara ini akan mengalami deadlock, karena MPR RI bukan lagi lembaga tertinggi. Ia tak berwenang lagi mengeluarkan Ketetapan/Tap yang bersifat mengatur (regeling). Asumsi ini kemungkinan batal;
2) menerbitkan Perppu tentang Penundaan Pemilu dengan pertimbangan kegentingan memaksa sebagaimana modus Perppu Ciptaker. Secara asymmetric war, Perppu Ciptaker memang sebatas cek ombak. Sejauh mana reaksi di publik? Ketika di lapangan, ternyata cuma gaduh di level aktifis dan akademis. Hanya elitis. Maka Perppu Ciptaker pun lanjut. Tidak dicabut. Demikian kelak Perppu Penundaan Pemilu. Jika kegaduhan bersifat elitis. Hanya berputar-putar di kalangan akademisi, Perppu Penundaan Pemilu niscaya akan ‘langkah tegap’;
3) step berikutnya ialah terbitnya Perppu tentang Perpanjangan Waktu Jabatan Presiden (extanding extra time), bukan Dekrit Presiden. Dekrit hanyalah preseden (hukum) konstitusi di era Sukarno, bukan hierarki per-UU-an. Lagi-lagi, skenario ini juga lanjutan asumsi atas dua skenario yang diprakirakan muncul di atas.
Dan syarat pokok diterbitkannya instrumen hukum untuk mendasari tiga skenario di atas ialah ‘kegentingan memaksa’. Nah, agaknya winter is coming mulai ditebar ke publik oleh beberapa publik figur di lingkar kekuasaan, bahwa dinamika geopolitik 2023 baik global, regional maupun lokal penuh ketidakpastian.
Ya, winter is coming! Welcome to kegentingan memaksa!
Serpong, 22 Jan 2023
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments