Kekhawatiran Beroperasinya Kembali Laboratorium Biologi Militer Berkedok Pusat Penelitian Sains dan Teknologi Cukup Beralasan

Bagikan artikel ini

Salah satu segi sensitif yang mengkhawatirkan di balik Skema Kerjasama Kesehatan antara RI dan Australia pada 15 November 2022 lalu adalah keterkaitan antara keberadaan laboratorium penelitian dan eksperiimen di bidang sains dan teknologi dengan proyek-proyek di bidang kemiliteran. Menelisik beberapa kajian seputar isu-isu tersebut, rasanya kekhawatiran semacam itu cukup beralasan.

Baca artikel saya sebelumnya:

Ada Indikasi Menghawatirkan Di Balik Skema Kerjasama Kesehatan RI-Australia

Salah satunya adalah kajian yang dilakukan oleh Jerry E. Smith dalam bukunya berjudul: Weather Warfare. yang terbit pada 2013 lalu. Khususnya terkait fokus bahasan yang menyorot kaitan antara aplikasi Geofisika sipil dengan militer melalui Program Riset Aktif Frekuensi Tinggi atau High-frequency Active Auroral Research Program-HAARP.

Seperti telaah Smith secara lebih rinci dalam bukunya, HAARP meskipun selintas terkesan memiliki penampilan sebuah proyek sipil dengan akses terbuka dan mempekerjakan para ilmuwan sipil, namun proyek tersebut dikelola oleh gabungan komite Angkatan Udara dan Angkatan Laut AS, sertai didanai oleh anggaran Departemen Pertahanan (Pentagon).

Aktivitas yang menjadi jantung dari program HAARP tersebut berkenaan dengan Instrumen Penelitian Ionosfer, yang dikerjakan oleh salah satu kontraktor pertahanan terbesar di dunia yang berada di bawah arahan Defence Advance Research Agency (DARPA), organisasi pusat penelitian dan pengembangan untuk Pentagon. DARPA mengelola dan mengarahkan proyek penelitian dan pengembangan dasar dan terapan yang terpilih untuk Pentagon yang mencari riset dan teknologi di mana resiko dan biayanya sangat tinggi di mana keberhasilannya memberikan kemajuan yang dramatis bagi peran dan misi militer tradisional.

Mari kita telisik lebih rinci fakta-fakta penting dari proyek Darpa atas arahan dari Pentagon dan Skema Proyek HAARP. Sejak 1990, HAARP berkenaan dengan Instrumen Penelitian Ionosfer, mulai membangun antenna-antena di sebidang lokasi di wilayah tenggara Alaska. Fasilitas itu selesai pada akhir 2005 dan mulai diumumkan di situs DARPA pada Maret 2006. Apa hasil dari proyek tersebut?

Mengenal HAARP, Program Rekayasa Cuaca AS yang Picu Teori Konspirasi Bencana

Sebagai pemancar frekuensi radio dengan daya pancar efektif 3,6 juta watt-lebih dari 72.000 kali lebih kuat daripada daya pancar stasiun radio AM tunggal di AS yang hanya berdaya pancar 50.000 watt. Lantas apa yang dilakukan DARPA? Melalui Instrumen Penelitiann Ionosfer ini, DARPA menggunakan kemampuan unik yang telah dipatenkan untuk memfokuskan energi radio frekuensi yang dihasilkan oleh sebidang antena-antena tersebut, menyuntikkan ke sebuah tempat di bagian paling atas dari atmosfer.

Alhasil, tembakan energi ini memanaskan atmosfer tipis tipis wilayah ionosfer beberapa ribu derajat. Maka oleh HAARP disebut Pemanas ionosfer. Pemanas ini memungkinkan para ilmuwan untuk melakukan sejumlah hal dengan ionosfer. Pengendalian dan pengarahan proses serta kekuatan ionosfer tersebut disebut “peningkatan ionosfer.”

Seperti ditulis dalam sebuah dokumen HAARP sebagaimana dikutip oleh Jerry Smith:

“Inti dari program ini adalah pengembangan kemampuan pemanas ionosfer yang unik untuk melakukan percobaan perintyis yang diperlukan untuk menilai secara memadai potensi pemanfaatan teknologi peningkatan ionosfer untuk kepentingan Departemen Pertahanan.”

Pertanyaan krusialnya di sini, apa yang kira-kira menjadi tujuan Departemen Pertahanan? Kalau untuk tujuan memenangkan perang, dengan cara seperti apa tujuan itu dicapai dengan memanfaatkan teknologi peningkatan ionosfer? Teknologi macam apa yang dibutuhkan untuk memenangkan perang masa depan? Sampai di sini, pertanyaan tersebut di atas sudah memantik kekhawatiran kita sebagai warga masyarakat sipil.

Kekhawatiran semacam ini kiranya cukup beralasan. Apalagi ketika Presiden Ronald Reagan pada 23 Maret 1983 pernah berseru pada komunitas ilmiah AS yang berkeahlian sebagai pakar nuklir, agar mulai mengubah bakat besar mereka untuk mengganti senjata nuklir yang sudah dipandang tidak berfungsi dan using, untuk menciptakan sebuah teknologi baru, sebuah senjata atau sistem senjata yang akan membuat perang atom menjadi kuno dan ketinggalan zaman. Maka kala itu muncullah wacana Strategic Defence Initiative (SDI). Meski baru wacana, SDI sempat mengundang kekhawatiran Presiden Rusia Michael Gorbachev sehingga dalam perundingan pengurangan persenjataan nuklir pada 1987 lalu, Gorbachev menekan Reagan Reagan agar tidak meneruskan proyek tersebut, sebagai prasyarat AS maupun Rusia untuk bersama-sama mengurangi jumlah senjata nuklirnya secara maksimum.

Meski kemudian ide mambangun SDI sudah ditinggalkan oleh Pentagon, bukan tidak mungkin ide-ide serupa masih tetap berlangsung secara tertutup dan rahasia. Maka justru di sinilah masalah krusialnya. Tidak semua program-program pengembangan seperti itu dilakukan oleh laboratorium-laboratorium militer.

Mengingat fakta bahwa ide-ide semacam ini melibatkan teknologi atau aplikasi berkaitan dengan senjata-senjata strategis yang dipandang bertentangan dengan perjanjian internasional, maka untuk menghindari kecurigaan dan kecaman publik baik di dalam maupun luar negeri, Pentagon menyamarkan proyek-proyek militer tersebut sebagai program sipil. HAARP hanya sekadar salah satu contoh nyata.

Seperti telah Smith selanjutnya, HAARP AS terungkap telah menciptakan senjata geofisika baru yang integral dan dapat mempengaruhi medius di dekat bumi dengan gelombang radio frekuensi tinggi. Signifikansi lompatan kualitatif ini bisa disamakan dengan transisi dari senjata tangan menjadi senjata api, atau dari senjata konvensional menjadi senjata nuklir. Mengerikan bukan?

Mengenal Cara Kerja HAARP, Penelitian Ionosfer AS yang Dicurigai sebagai Senjata Pembuat Bencana

Sebab implikasi pada tingkatan yang terburuk adalah, senjata sejenis ini mampu mengacaukan komunikai radio, mengganggu peralatan yang terpasang pada pesawat ruang angkasa dan roket, menimbulkan kecelakaan serius dalam jaringan listrik dan jaringan minyak dan pipa gas dan memiliki dampak negatif pada kesehatan mental orang-orang di tempat mana mereka bermukim.

Bagaimana mungkin masyarakat global, termasuk kita di Indonesia, bisa mengetahui apa yang sedang dilakukan para ilmuwan dan para perwira militer terkait proyek-proyek militer yang disamarkan sebagai program sipil?

Sekarang cerita yang lain lagi namun serupa, kali ini terkait laboratorium biologi-militer. Pada 1970, DPR AS menyetujui alokasi pendanaan untuk pengembangan senjata biologis. Proyek yang di bawah pengawasan CIA dan dilaksanakan oleh laboratorium-laboratorium gabungan beberapa universitas dan beberapa perusahaan, ternyata melibatkan juga Divisi Khusus dari Laboratorium Angkatan Darat, di Fort Detrick, sebuah fasilitas senjata biologi rahasia miik Angkatan Darat.

Photo of Sadis!!! Bio Lab AS Bertebaran di Ukraina, Rusia dan China pun Murka: Apa Sebenarnya yang Kalian Mau, Amerika?!

(Baca: Jerry D. Gray, Deadly Mist, Upaya Amerika Merusak Kesehatan Manusia. Jakarta: Sinergi Publishing, 2009)

Maka itu, peran dan keterlibatan Australian Defense Force Malaria and Infectious Desease Institute (ADF MIDI), yang merupakan mitra kerja sama Kementerian Pertahanan RI dari pihak Australia, kiranya perlu dicermati secara seksama, penuh kehati-hatian dan kewaspadaan. Apalagi mengingat fakta bahwa Direktur ADF MIDI Prof Dennis Shanks, merupakan seorang ahli yang pernah bergabung di AFRIMS, The Armed Forces Research Institute of Medical Services, yang beroperasi di Thailand, dan NAMRU-2 AS di Indonesia. Laboratorium yang terkesan merupakan pusat penelitian dan pengembangan penyakit menular dan berkaitan dengan program sipi, namun pada perkembangannya merupakan proyek militer. Sejak 2017 AFRIMS disinyalir merupakan proyek yang sama persis atau dianggap sebagai NAMRI-2 AS gaya baru  yang pernah beroperasi di Indonesia sejak awal 1970-an hingga ditutup atas perintah Menteri Kesehatan Siti Fadila Supari pada 2009 lalu.

Kita semakin beralasan untuk khawatir apalagi ketika ada indikasi yang semakin  kuat bahwa perguruan tinggi maupun lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan sains dan teknologi, merupakan sasaran untuk mengoperasionalkan kembali proyek-proyek militer Pentagon untuk melayani tujuan-tujuan strategis pertahanan AS dengan berkedok sebagai laboratorium-laboratorium penelitian penyakit-penyakit menular seperti Malaria dan TBC.

Semoga pengalaman buruk Indonesia dengan NAMRU-2 AS selama tigapuluh tahun lebih telah digunakan sebagai sarana operasi intelijen Angkatan Laut berkedok laboratorium ilmiah, jangan sampai terulang kembali.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com