Metaverse itu ujud lain internet. Atau, cara baru berinteraksi di dunia maya. Tidak lebih. Poin intinya, teknologi (ala metaverse) cuma alat, bukan tujuan. Smart security misalnya, atau smart government dan lain-lain, itu juga bukan tujuan. Ia hanya sebuah konsep serta upaya penyesuaian tata cara kerja melalui (tantangan) eksisting IT guna meraih hal yang diinginkan. Sekali lagi, metaverse bukan tujuan. Dengan kata lain, ia tidak bisa dijadikan tolok ukur keberhasilan suatu karya, atau menilai kiprah suatu entitas, organisme dan lainnya. Kenapa? Sebab ia cuma alat belaka. Tidak lebih.
Dalam konstitusi kita, inti tujuan negara meliputi: 1) melindungi segenap bangsa; 2) memajukan kesejahteraan umum; 3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan seterusnya sebagaimana termaktup dalam pembukaan UUD 1945.
Pertanyaannya ialah, apakah metaverse bisa melindungi segenap bangsa?
Jawabannya, “Tergantung”. Bisa iya, bisa sebaliknya. Konon, ruang siber Indonesia hanya ter-cover (terlindungi) sekitar lima percent saja, sisanya (90-an percent) masih bolong-bolong. Tak terlindungi oleh kecanggihan IT kita. Kondisi ini tentu mengandung endapan bahaya. Ia dapat mengundang para hacker, ataupun pasukan siber asing masuk secara ilegal. Entah bermaksud mengacak sistem IT atau sekedar test case. Uji kecanggihan.
Ketika kita latah ingin melakukan digitalisasi di berbagai sektor atas nama smart city misalnya, atau smart security dan lainnya, jangan-jangan pasukan siber asing atau kaum hacker justru dapat menyalahgunakan wilayah siber kita untuk hal-hal yang merugikan kepentingan nasional, sedang pihak lain yang diuntungkan. Atau, mereka melakukan false flag operation (operasi bendera palsu), contohnya menyerang sistem IT negara lain tetapi melalui dan/atau menggunakan fasilitas IT milik kita. Sehingga yang terlihat di dunia maya, seolah-olah Indonesia menyerang negara lain.
Adanya teknologi agar manusia bekerja lebih efektif dan efisien, namun jika karena situasi dan kondisi, teknologi justru menimbulkan inefisiensi, kurang efektif, bahkan mengundang bahaya, alangkah bijak bila semangat digitalisasi ditunda dulu sampai infrastruktur serta suprastruktur memenuhi syarat, terutama piranti lunak (UU)-nya sudah tersedia.
End
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments