Kemana Isu Amandemen Ke-5 UUD 1945 Berlabuh? (Bagian Ke-4)

Bagikan artikel ini
Telaah Kecil Asymmetric War
“Hidup adalah pola permainan tentang teknis yang dimainkan oleh dirinya sendiri dan bermuara pada nasib. Demikian pula negara selaku organisme hidup. Ia lahir, berkembang, menyusut dan mati”.
Dari paparan terdahulu bisa disimpulkan bahwa ada tiga hal prinsip dalam bernegara yang hilang karena faktor amandemen (empat kali) UUD 1945 pada 1999-2002. Dan akibat hilangnya tiga hal prinsip tersebut, selain merugikan rakyat — secara geopolitik, juga membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Adapun tiga hal tersebut ialah sebagai berikut:
1. Rakyat kini tidak memiliki kedaulatan sebab telah diambilalih oleh partai-partai politik. Ini tersurat pada perubahan pasal 1 ayat 2. Buktinya apa? Kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi berubah menjadi lembaga tinggi — sama/selevel dengan DPR, Presiden, MK dan lain-lain.
Jika dianalogikan pada tubuh manusia, MPR adalah “otak”-nya. Central of gravity. Titik dimana semua aktivitas bermula serta pusat musyawarah seluruh organ tubuh guna memutus ‘sesuatu’. Contoh, ketika kaki digigit semut maka otak akan musyawarah, bagaimana langkah terbaik untuk sang semut tadi. Apakah cukup diusap/disingkirkan tanpa dibunuh; atau disentil; ataupun dipites (dimatikan)?
Tatkala otak (sistem musyawarah) dinihilkan maka yang muncul cuma voting. Dan tidak dapat dipungkiri, selain memakan tempo relatif lama karena melibatkan seluruh organ tubuh, keputusan melalui voting belum tentu benar dan efektif sebab rujukannya hanya suara terbanyak.
Contoh lagi sisi negatif voting. Ketika muncul perdebatan terkait halal – haram, misalnya, jika satu ulama menyebut riba itu haram, sedang empat orang lainnya mengatakan riba itu halal —karena via mekanisme voting— hasil akhir pasti: “riba itu halal”. Kenapa? Sang ulama sendirian. Ia kalah dalam hal jumlah. Inilah yang tengah berlangsung dalam praktik konstitusi ketika menggunakan UUD palsu.
Sepertinya rakyat tidak hanya dicekoki agenda semata, tetapi digiring pada kondisi ambiguitas secara sistematis bahwa kebenaran identik dengan suara terbanyak.
Secara filosofi, musyawarah mufakat merupakan kearifan lokal warisan leluhur. Ia selaras dengan sila ke-4 Pancasila. Sedang voting merupakan nilai-nilai impor. Mekanisme dan model yang berasal dari luar.
Sesungguhnya inilah pencerabutan nilai-nilai leluhur secara revolusioner diganti dengan nilai asing namun hampir tidak disadari oleh mayoritas anak bangsa sebab berlangsung senyap. Apakah ini yang disebut silent revolution?
2. Dihilangkannya kalimat ‘orang-orang Indonesia asli’ pada pasal 6, hal tersebut membuka peluang imigran menjadi presiden. Ini bukan rasisme. Jangan didangkalkan menjadi isu hilir. Ini masalah hulu. Kenapa demikian, karena penghilangan kata “asli” berpotensi terhadap bumiputra (seakan-akan) terjajah kembali.
Ada beberapa contoh peristiwa. Termarginalnya kaum Aborigin di Australia, misalnya, atau terpinggirnya suku Indian di Amerika, ataupun orang Melayu yang kini terdepak di Singapura — itu bukan bualan dan cerita kosong. Istilahnya Absentee of Lord. Tuan tanah yang tidak berpijak di tanahnya sendiri. Gilirannya, pribumi justru (seolah-olah) menjadi tamu di negeri sendiri.
Pengalaman ialah guru terbaik. Dan ia tidak harus dialami. Cukup dengan mendengar dan melihat pengalaman orang lain, lalu dipetik hikmahnya.
Adanya kejadian di NTT memberi lampu isyarat, jangankan imigran, sedang WNA saja bisa lolos menjadi Bupati dan bahkan sebelumnya, ada WNA pernah duduk sebagai pejabat negara selevel Wamen. Mengapa? Muara penyebab tidak lain dan tak bukan karena praktik UUD 1945 palsu.
Ada kata-kata bijak: “Jangan biarkan penyimpangan sekecil apapun pada konstitusi, sebab jika dibiarkan maka penyimpangan semakin kompetitif dan akumulatif”;
3. Terdapat penambahan satu ayat pada pasal 33 menyebabkan sistem ekonomi menjadi liberal sehingga melegalkan pencabutan subsidi untuk rakyat.
Dalam materi ajar geopolitik di Lemhannas RI (2016) diuraikan, sekurang – kurangnya ada 12 UU terkait pengelolaan SDA dan lingkungan yang kurang konsisten dalam substansi, khususnya masa depan pengelolaan, antara lain meliputi UU No 11/1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No 31/2004 tentang Perikanan dan lain-lain. Hampir semua UU mengacu pada pasal 33, tetapi orientasinya saling berbeda.
Berdasar UU tersebut, model pengelolaan cenderung bermuara ke swasta, maka kerusakan dan habisnya sumber daya hanya soal waktu. Masing – masing sektor juga masih memiliki pandangan berbeda tentang istilah dan pemanfaatan sumber daya.
Belum lagi tentang Omnibus Law yang sempat kontroversi di publik. Memang belum ada kajian resmi terhadap UU tersebut yang konon —menurut beberapa pengamat— cenderung ultraliberalisme karena membolehkan membakar hutan demi membuka lahan. Itu salah satu contoh.
Penulis teringat pandangan khusus Letjen TNI (Pur) Rais Abin (10/11/20) tentang Amandemen UUD 1945 di Era Reformasi. Inti pandangannya sebagai berikut:
Pertama, bahwa tindakan Orde Reformasi terhadap UUD 1945 seolah-olah mendurhakai bapak-bapak bangsa penciptanya;
Kedua, para bapak bangsa telah memberikan hidupnya bagi kejayaan bangsa. Mereka adalah insan-insan 24 karat yang sulit dicari bandingannya di kalangan Orde Reformasi. Mereka pun tentu memahami ketidaksempurnaan ciptaannya, karena hanya perubahanlah yang abadi;
Ketiga, alangkah baiknya jika penyempurnaan dilakukan dengan beradab, tanpa merusak naskah asli yang bersama proklamasi menjadi genderang men-JAYA-kan bangsa;
Keempat, kiranya koreksi dilakukan dengan adendum – adendum penyempurnaan yang dikaitkan dengan setiap pasal UUD yang dianggap perlu, sehingga kemurnian UUD asli tetap terpelihara;
Kelima, kembali kepada istilah pendurhakaan, saya sangat berpegang kepada adagium bahwa setiap pendurhakaan akan membawa aib;
Keenam, aib akan menuntut kebenaran yang hakiki kepada para penanggung jawabnya. Semoga Orde Reformasi tidak menjadi Orde Deformasi.
Pertanyaannya ialah: “Siapa bertanggung jawab atas munculnya berbagai ‘aib’ bangsa akibat operasional UUD 1945 yang palsu?”
(Bersambung ke Bagian 5)
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com