Sesi Belajar Geopolitik
Dari perspektif perang asimetris yang berpola ITS (Isu, Tema/Agenda, Skema), bahwa viralnya dua isu berdiksi lonte dan frasa tukang obat, sebenarnya hanya ‘pintu pembuka’ belaka. Sekali lagi, kedua isu — selain cuma pintu pembuka akan hal-hal lebih luas, juga terdapat resonansi. Ada efek saling getar serta menggetar antara keduanya.
Pada peperangan asimetris (asymmetric warfare), terdapat dua jenis atau model “isu”. Tolong jangan keliru merumuskannya. Pertama, isu sebagai pola; kedua, isu sebagai metode. Kalau sebagai metode, misalnya, sifatnya cuma memancing reaksi publik. Test the water. Bila publik bergejolak, timbul pro kontra berpanjangan, lalu ada kontra terhadap isu, lazimnya ia ditarik atau isu tidak dilanjutkan menjadi tema/agenda. Jadi, hanya semacam pengalihan opini, atau penggaduhan situasi saja.
Nah, jika yang ditebar ialah isu sebagai pola, maka kemungkinan akan ada rentetan peristiwa by design. Tak peduli timbul pro kontra sekalipun. Inilah yang kemudian disebut dengan istilah “tema” atau agenda selaku kelanjutan isu. Silahkan cermati. Kira-kira, agenda/tema apakah yang bakal digulirkan usai isu lonte dan tukang obat ditabur di publik; lantas, skema bagaimana yang akan digelar?
Asymmetric warfare mengajarkan, bahwa sebuah agenda/tema merupakan kelanjutan daripada isu. Agenda tidak berdiri sendiri. Entah sifatnya mempertebal opini yang terbangun di publik melalui isu, atau sebuah “jembatan” menuju skema (kolonialisme) yang akan ditancap atau digelar.
Contoh peristiwa yang telah berlalu baik di tingkat lokal maupun global adalah sebagai berikut:
1) ISU flu burung, misalnya, AGENDA-nya ternyata daging langka atau daging mahal, sedang SKEMA-nya ialah memperluas impor daging akibat mahalnya harga daging. Nah, di sini — daging mahal atau daging langka merupakan “jembatan” sebuah ISU menuju SKEMA yang ingin digapai;
2) isu pemimpin tirani dan korupsi di Tunisia, di Mesir dan di Yaman sewaktu Arab Spring melanda Jalur Sutra dahulu, agendanya ternyata gerakan massa yang melengserkan Ben Ali di Tunisia, Hosni Mubarak di Mesir dan seterusnya. Jadi, gerakan massa di sini adalah “jembatan” antara ISU dan SKEMA. Dalam hal ini, skemanya adalah pelengseran para pemimpin di seputaran negara Jalur Sutra kecuali Syria dan Libya. Kenapa? Di kedua negara tersebut, isu-isu produk Arab Spring dapat dikontra oleh Bashar al Assad dan Moamar Khadafi. Akan tetapi, tatkala derajat isu ditingkatkan oleh asing menjadi pemberontakan sipil. Nah, pada isu perang sipil inilah Khadafi terpancing. Ia tak mampu mengkontra pemberontakan dengan cerdas sehingga berujung bombardir militer oleh NATO berbekal Resolusi PBB Nomor 1973/No Fly Zone. Itu syah karena berbasis resolusi. Libya kini seperti negara tidak bertuan. SDA-nya jadi bancaan banyak negara. Sedangkan Bashar Assad mampu “mengayun” isu dan agenda yang digulirkan asing. Dan sampai hari ini, Syria masih berdaulat meski secara fisik porak-poranda. Bahkan khabar terakhir, ISIS pun mampu diusirnya dari Syria;
3) bagaimana dengan reformasi 1998 tempo lalu di Jakarta? Ternyata serupa tetapi tak sama dengan Arab Spring di Jalur Sutra. Hampir tidak ada beda. Ada isu, ada agenda dan skema (ITS). Isunya adalah: “KKN”, misalnya, lalu agendanya: “Gerakan Massa”, dan ujung skema adalah: “Pelengseran Orde Baru”. Bahkan menurut Karen Brooks, penulis Amerika, pola Arab Spring justru meniru pola massa aksi pada Mei 1998 di Jakarta.
Nah, terkait isu tukang obat dan lonte yang menggaduhkan langit (geo) politik Jakarta dan sekeliling. Pertanyaan selidiknya ialah, “Kemana isu hendak berlabuh; adakah agenda lanjutan setelah isu berhasil menebalkan serta meluaskan friksi kebencian di antara sesama warga; lantas, dimana kelak skema akan berujung?”
Kilas balik sejenak. Bahwa upaya asing membelah NKRI menjadi beberapa negara kecil seperti negara polenesia di Lautan Pasifik sudah terdengar sejak lama. Bahkan sudah berjalan tetapi selalu gagal dan gagal. Bagi publik yang belum memahami, mungkin dikiranya murni konflik lokal yang meluas. Ya. Kasus Sampit, misalnya, atau konflik Ambon, Tolikara, Singkil dan lain-lain. Tak boleh dipungkiri, jenis isu-isu konflik di atas ternyata bermenu sama: “sektarian”. Sebuah triger yang sengaja mengeksploitasi kebencian akibat SARA (Kebhinekaan yang relatif lestari) dan perbedaan afiliasi politik. Sekali lagi, konflik-konflik di pinggiran NKRI di atas ternyata bermenu sama yakni (isu) sektarian.
Dan selesainya konflik-konflik tadi lebih diakibatkan sinergisitas antaraparat dan pejabat negara (bukan justru membakar situasi), ada respon cepat dan tindak antisipasif dari aparat, serta para tokoh agama, adat dan publik figur menahan diri tidak (celometan) memanaskan situasi. Masing-masing pihak cooling down.
Merujuk topik, apakah isu lonte dan tukang obat itu model isu sebagai metode, atau isu sebagai pola?
Jika yang dimainkan isu sebagai metode, sebentar lagi akan mereda. Lihat saja. Tetapi, seandainya yang dieksploitasi oleh asing itu isu sebagai pola, semoga segenap anak negeri bersikap bijak, jangan malah membakar-bakar situasi.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak kembang sore dan bunga-bunga sedap malam ..
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments