Nasionalisme Strategi Cina Menghadapi Hegemoni AS dan Barat

Bagikan artikel ini

(Mengulas buku karya Maria H Chang, Return of the Dragon: China’s Wounded Nationalism).

Sebelum mengulas lebih jauh buku ini, sekilas tengang penulisnya, Maria Hsia Chang. Dia merupakan guru besar ilmu politik di University of Nevada di Reno. Mendapatkan gelar doktornya di University of Berkeley. Buku-buku yang pernah ditulisnya antara lain The Labors of Sisyphus: The Economic Development of Communist China and The Chinese Blue Shirt Society: Fascism and Development Nationalism. Buku lainnya adalah Falun Gong: The End of Days.

Sayangnya di dalam buku ini tidak ada bibliografi yang lengkap mengenai penulis. Dalam buku ini, diceritakan mengenai sejarah yang terjadi di Cina dari zaman kekaisaran hingga bagaimana Cina saat ini pada abad-21. Tentu saja masih dalam konteks nasionalisme.

Buku ini juga menjelaskan bahwa pada era globalisasi dewasa diwarnai oleh banyaknya sejarah kejadian-kejadian politik dunia yang telah terjadi, persisnya pada saat berawal dari Perang Dunia I dan II. Dalam suatu negara yang menganut sistem pemerintahan totalitarian dictator, negara mengatur segala aspek kehidupan sosial termasuk privatisasi warga masyarakatnya itu sendiri.

Banyak negara pada Perang Dunia II yang menganut ajaran ini hingga dibagi menjadi dua bagian, ada yang berhaluan kanan  maupun kiri.  Yang berhaluan kanan seperti fasisme Jepang, Nazi Jerman, dan fasisme Italia. Sedangkan untuk golongan kiri ada Uni Soviet dan People’s Republic China (PRC).  Rusia merupakan negara pertama yang berhasil menjadi negara yang menganut komunisme sebagaiideologi negara dan menyebarluaskan paham ke 150 negara di pelbagai dunia yang tersebar luas ke benua Afrika, Asia, Eropa dan Amerika Latin sejak dicanangkannya Bolshevik Revolution pada 1917.

Namun, petaka dapat dirasakan oleh rakyat di negara yang menganut paham komunisme seperti penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh Negara.  85-100 juta jiwa diperlakukan secara semena-mena oleh negara. Pada puncaknya yang terjadi di Cina mencapai 45 sampai 72 juta jiwa  tewas akibat kejahatan kemanusiaan. Setelah melewati fase Perang Dunia II dan memasuki era Perang Dingin, dunia internaal dunia internasional juga tak kalah mencekam.

Apalagi adanya ancaman serangan senjata nuklir yang sewaktu-waktu bisa ditembakkan oleh salah satu negara adikuasa yang pastinya bakal menghancurkan dunia. Alhasil warga dunia selama empat decade dicekam ketakutan bahwa Amerika Serikat, Cina atau Rusia, tiba-tiba kehilangan kewarasan berpikirnyha dan memulai tembakan nuklir yang pastinya akan dibalas negara musuhnya.  yang dilakukan oleh Saat itu baik AS, Cina maupun Rusia, sama-sama punya persenjataan nuklir dalam jumlah yang cukup besar.

Namun pada 1979 saat Deng Xioping menggantikan Mao Zhe Dong, Cina segera melakukan percepatan pertumbuhan maupun pemulihan pada sektor perekonomian sehingga Cina berhasil mensejajarkan diri dengan negara-negara maju lainnya seperti AS, Eropa Barat dan Jepang. Maka dari itu, komunis dapat dikatakan merupakan racun yang berkhasiat untuk membangkitkan kembali Cina dari keterpurukannya.

Bahkan di era globalisasi saat ini, menurut penulis buku ini,  pengaruh Cina sangat cukup kuat untuk ikut mengatur tatanan dunia internasional. Maka itu, menurut penulis, Nasionalisme Cina saat ini dipandang jauh lebih penting sejak sejak runtuhnya komunisme sejak 1989, apalagi ketika disusul oleh bubarnya Uni Soviet. Sejak itu para pemimpin Cina sejak era Deng memandang komunisme  secara ideologis tidak lagi dapat menjawab tantangan zaman maupun menjawab kebutuhan warga masyarakatnya. Dengan demikian, sejak saat itu pemerintah Cina lebih mengedepakankan pendekatan nasionalisme dianggap dalam praktik kebijakan luar negeri Cina. Seperti yang telah dijelaskan oleh penulis, Maria H Chang dalam buku ini mengenai bagaimana sejarah melukiskan kejadian.

Penulis menjelaskan bahwa bagaimana runtuhnya komunisme kemudian mendorong para pemimpin Cina menggerakkan paham nasioanalisme Cina meski resminya masih menganut komunisme.

Penjelasan mengenai Cina dalam menghadapi ancaman imperealisme dengan menyerap inspirasi dari ideologi nasionalisme pembangunan yang digagas oleh Dokter Sun Yat-Sen, bapak pendiri Republik Cina yang berhasil melancarkan revolusi nasionalisme Cina dengan meruntuhkan dinasti Manchu Qi pada 191.1

Inilah yang diterapkan Deng Xioping dengan menggabungkan marxisme ke dalam ideologi pembagunan. Yang mana etos nasionalisme dan patriotisme dijadikan sebagi elemen pemersatu bangsa dan mempersatukan masyarakat, yang ditujukan untuk membangun kekuatan ekonomi yang kuat dan maju.

Hal ini rupanya kemudian dipandang sebagai ancaman oleh dunia internasional, khususnya bagi negara-negara mapan seperti AS dan Eropa Barat. Alasannya karena dengan kemajuan di bidang ekonomi Cina punya kecenderungan ekspansionis untuk memperluas lingkup kekuasaan dan pengaruhnya di berbagai kawasan dunia di luar Cina.  Dalam pandangan Barat, Cina dicurigai punya dendam sejarah karena meski tidak dijajah secara langsung oleh negara asing, namun Cina pada era kekaisaran Manchu Qi hingga saat keruntuhannya pada 1911, merupakan obyek perebutan pengaruh antara Inggris, Prancis, bahkan juga Jepang.

Sayangnya, buku ini kurang dalam menggambarkan bagaimana persisnya seperti apa sih nasionalisme Cina itu. Meskipun gambaran mengenai Cina kontemporer yang diproyekksikan untuk masa depan pun  dipaparkan dalam buku ini, seperti misalnya dalam buku ini diawali dengan penjelasan secara teoritis mengenai nasionalisme.

Hanya saja ya itu tadi. Meskipun pada akhir pembahasan buku digambarkan adanya reaksi dari negara-negra Barat mengenai nasionalisme Cina, namun penulis buku tidak menggambarkan secara ilustratif apa itu sejatinya nasionalisme Cina.  Meskipin selintas dalam buku ini digambarkan bagaimana nasionalisme Cina itu dibentuk atas dasar sejarahnya melalui bahasa, nilai-nilai, adat istiadat dan pola kehidupan masyarakat.

Penulis hanya menggambarkan bagaimana pemerintahan Cina mendorong rakyatnya untuk bersatu dalam spirit nasionalisme dan patriotisme. Sementara penulis juga mengkhawatirkan akan bahayanya perkembangan nasionalisme Cina sebagai ancaman yang kemungkinan bakal terjadi  terhadap negara-negara di Asia Pasifik. Namun menarik Maria dalam bukunya ini menyorot bagaimana Cina menaruh perhatian pada  pembangunan bagian barat wilayah Cina, sebagai salah satu upaya Cina untuk meredam munculya gerakan separatisme kaum  minoritas di Tibet sebagai salah satu contoh.

Segi menarik dari bahasan nasionalisme Cina terus berlanjut akibat adanya reaksi  dari kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Selain karena nasionalisme sepertinya memang dirancang sebagai strategi Cina untuk menghadapi barat. Dalam prosesnya, penguatan militer Cina juga dilakukan sebagai bentuk respon dari negara tetangga maupun AS  yang dipandang Cina potensial mengganggu stabilitas dan keamanan nasional Cina.

Apalagi Amerika Serikat saat ini masih punya perjanjian yang mengikat sebagai persekutuan pertahanan dengan beberapa negara di Asia seperti Jepang, Filipina, dan Thailand. Maka dari itu, dengan adanya konflik sengketa yang semakin memanas di Laut Cina Selatan, AS berupaya memanfaatkan sekutu tradisinalnya di Asia Tenggara yaitu Filipina untuk melawan Cina. Contoh lainnya adalah konflik Diaoyutai antara Cina dan Jepang, atau bahkan konflik antara Cina dan Taiwan. Beberapa negara yang telah disebutkan tadi mendapat dukungan penuh dari AS baik berupa bantuan ekonomi maupun keamanan.

Jika ditinjau dari sudut pandang kebijakan luar negeri Cina itu sendiri, ketika Cina saat ini semakin kuat dan berhasil bangkit dari keterpurukannya berabad-abad, Cina nampaknya lebih fokus bagaimana menjadi negara yang berdaulat dan kuat. Namun tidak bermaksud menjadi negara imperialisme baru seperti yang dilakukan negara-negara Barat pada abad 19 dan 20. Bercita-cita menjadi negara adikuasa baru rasa-rasanya wajar saja  mengingat kedigdayaan ekonomi dan pertahanan Cina saat ini, namun Barat tidak beralasan untuk khawatir bahwa Cina akan menjdi negara yang ekspansionis.

Nesya Aulia, mahasiswi Hubungan Internasional, Universitas Binus.

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com