Meramal Siluet Petamburan

Bagikan artikel ini
Sebuah Sastra Geopolitik
Siluet (silhouette) adalah gambar tentang sesuatu —objek apa saja— berwarna jelaga. Secara fotografis, ia merupakan efek yang dihasilkan karena ada dua perbedaan antara pantulan cahaya dari objek utama di bagian depan, dengan latar belakang objek.
Siluet juga bisa dihasilkan dengan cara menghalangi pantulan cahaya objek utama. Ini dari sisi fotografi.
Tatkala siluet dianalogi ke ranah (geo) politik dengan mengambil “Petamburan” sebagai isu, misalnya, munculnya gambar jelaga/bayangan hitam juga disebabkan dua perspektif berbeda dalam memandang objek terkait (geo) politik praktis. Hal itu bisa memunculkan “masalah” di publik bila salah satu sudut pandang dihalangi atau terhalangi di satu sisi, tetapi membiarkan sisi lain membentuk siluet. Pada gilirannya, “siluet” yang muncul tidak objektif. Ada semacam framing bahkan penggiringan opini demi meloloskan “hidden agenda” tertentu. Deception. Dalam (geo) politik, lazimnya agenda tersembunyi itu terkait geoekonomi. Inilah salah satu modus sastra (seni) geopolitik: “Tebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik, maka kebohongan yang diulang-ulang akan menjadi (dianggap) kebenaran”, begitu inti pesan Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Nazi di era Hitler dahulu. Silahkan ditafsir lebih detail.
Dan tampaknya, kepulangan HRS menimbulkan beragam isu dan tafsir. Tak bisa tidak. Mulai dari tafsir soal ekonomi, isu politik, sosial budaya, kepemimpinan, agama bahkan tafsir dan isu sejarah.
Misalnya bagaimana?
Kepulangan HRS sebagai isu, ada mengatakan intelijen kebobolan; ada yang bilang cuma penggaduhan situasi sebab ada yang mau ditutupi; atau revolusi (akhlak) selaku tema; ada kekosongan kepemimpinan pada ormas dan parpol Islam, kata JK; bahkan analogi sebagai Ayatolah Khomeni jilid II meski cuma riak-riak (bukan gelombang) revolusi dan lain-lain. Sungguh menakjubkan. Aneka tafsir berserak atas kepulangan HRS di Tanah Air.
Nah, tafsir kecil kali ini mencoba menguak siluet dari perspektif sastra/seni —namun tetap berbasis geopolitik— Kenapa sastra? Ya, selain nanti banyak kiasan serta analogi, katanya sich, orang-orang sudah jenuh dengan dalil-dalil dan text book yang kaku.
Seandainya besi terus ditempa akan menjadi tajam, kata ungkapan. Bahwa ketibaan HRS di satu sisi, kuat diduga atas permintaan si pandai besi. Mengapa begitu, selain untuk penggaduhan karena berisik sewaktu ditempa —klontangan, kata orang Jawa— tetapi pandai besi lupa, besi ditempa justru semakin tajam di sisi lain. Ini diluar prakiraan si tukang tempa. Kenapa? Konon kepulangannya untuk mengalihkan kondisi akibat “isi celengan” tengah shock diterjang krisis dan pagebluk/pandemi. Soal celengan, diakui oleh Menkeu bahwa APBN mengalami shock, kata SMI.
Sastranya berkata, “Celengan shock itu ibarat, pagebluk adalah kambing hitam”. Ini baru sebatas asumsi. Perlu ditelusuri.
Kenapa begitu, Omnibus Law atau UU Cipta Kerja sudah diteken serta diasumsikan bisa menyelamatkan negeri ini dari krisis ekonomi (tetapi dengan asumsi), bahwa investor akan berduyun-duyun ingin menikmati insentif dan fasilitas yang diberikan oleh UU Cipta Kerja.
Ah, lagi-lagi — membanjirnya investor hanya ibarat, “zero inn” justru realitanya. Maju tidak, mundur kena. Tidak kemana – mana alias jalan di tempat.
Demikian pula isu-isu lain yang disebar, tak dapat mengusir mimpi rakyat tentang Indonesia bersatu, berdaulat, mandiri, adil dan makmur.
Semakin ke sini, publik bertambah cerdas. Mereka bisa memahami kredo junta intelijen: “Kebohongan harus ditutupi dengan kebohongan”. Hebat. Entah kelompok mana bermain, padahal infonya si koordinator telah pisah ranjang dengan sekretaris kendati masih serumah. Pecah kongsi. Jadi, perlu “musuh bersama” untuk merekatkan kembali kongsi.
Balik ke Petamburan. Memang ada siluet di sana. Menakutkan bagi yang kurang paham. Kata ilmu marketing, jika anda tidak mampu mengendalikan pasar, bermainlah di level persepsi. Aduk-aduk alam bawah sadar publik. Eksploitasi ilusi. Tetapi, bagi yang paham detail akar masalah, siluet adalah fenomena lumrah.
Si pandai besi memang titis lagi paten, tetapi cuma paten di permukaan. Ditabur isu lonte publik langsung gemuruh. Titis memang. Masyarakat menikmati guyonan ala peyorasi (pemburukan makna) di satu sisi, juga menyukai eufemisme (penghalusan makna) pada sisi lain. PSK, contohnya, dipanggilnya lonte atau begenggek, kata orang Jawa Timur. Publik kaget. Uring – uringan, tetapi tidak sedikit terbahak-bahak; atau model eufimisme. Preman pasar, penjahat kelas kakap disebut tokoh besar, atau pedagang sukses. Nah, itu eufemisme. Penghalusan makna. Giliran tentang hal-hal substantif di hulu permasalahan bangsa, mayoritas warga gagal mengingat. Lupa. Mereka justru asyik guyonan peyorasi dan eufemisme.
Yah, ada gunungan utang dibiarkan, BUMN merugi diabaikan, APBN megap-megap —shock— berpura tidak paham, pengangguran meningkat, belum lagi serbuan TKA asing, atau maraknya korupsi, contohnya, daya beli warga menurun dan lain – lain.
Lantas, apa pasalnya?
Ternyata proposal ditolak Bank Dunia. Wah, skenario penyelamatan (ekonomi) jangan-jangan menjadi ilusi. Mimpi uang gede pun pupus. Upaya perbaikan ekonomi melalui utang terutama penyelamatan para konglo hitam yang kolaps akibat krisis dan pagebluk, kemungkinan berujung gagal. Sekali lagi, Omnibus Law ditolak Bank Dunia karena disinyalir melanggengkan eksploitasi sumber daya alam secara ugal-ugalan atau istilah kerennya, eksploitasi ultra neoliberalis.
Pemerintah pun ngecer. Utang ke Australia Rp 15,45 triliun (T), ke Jepang Rp 7 T, utang ke Jerman Rp 9,1 T dan ke Amerika antara Rp 10,57 T hingga Rp 28 T (?) bertema pendanaan infrastruktur. Syukurlah.
Ada kekhawatiran menyeruak. Mengelola siluet tanpa manajemen (konflik) handal, gambarnya justru bertambah besar, bisa semakin meluas. Rawan. Ini berpotensi timbul benturan sangat kuat lagi keras di akar rumput sebab dipicu oleh sektarian. Hal ini di luar prakiraan si pandai besi, karena kerjanya cuma menempa, tidak paham situasi kalau pola siluet berubah eskalatif. Gilirannya, kasus remah-remah seperti baliho, contohnya, malah meluaskan serta membesarkan siluet. Publik menduga. Ada eksploitasi kebencian sesama warga akibat perbedaan afiliasi politik dan SARA.
Siapa diuntungkan?
Tak boleh dipungkiri, derajat isu sektarian (di Indonesia) sangat sensitif kendati kadarnya masih setingkat di bawah isu sentimen (agama). Ketika terjadi konflik bermenu sektarian nantinya, prakiraan bentuknya ialah “konflik horizontal semi vertikal”. Niscaya tidak sedikit korban dari para pihak yang bertikai. Sekali lagi, benturan akan keras lagi kuat. Di dunia maya kini sudah saling mengancam. Kemungkinan bakal ada langkah aparat terhadap kelompok penyebar isu kebencian. Makanya tadi disebut dengan istilah “konflik horizontal semi vertikal”.
Nah, tindakan aparat di satu sisi, namun kegamangan di sisi lain karena menyangkut kesatuan dan persatuan bangsa, bahkan timbul friksi di internal. Ada pro-kontra namun soal teknis dan taktis semata. Sungguh, hal strategis justru diabaikan.
Ada pola dalam teori kesisteman, jika level pelaksana salah metode/keliru teknis, misalnya, yang “bergoyang” justru top manajemen. Ini pakem. Lembaga induk akan sibuk menghadapi serbuan isu-isu baru dari publik, pening mengkontra isu dan counter bully.
Akibat kegaduhan meluas, publik semakin abai ada “shocking blues” mengalir pasti. Dan lagi-lagi, segenap bangsa semakin lupa pokok permasalahan yang tengah melilit bangsa. Sebagian asyik bergaduh – ria di tataran hilir, tanpa memahami hakiki yang digaduhkan. Masing-masing sibuk menebar isu kebencian.
Inilah yang tengah berlangsung, entah eskalatif bentuk nanti seperti apa.
Kembali ke sastra. Wali, Jangkane Zaman di kejauhan bertanya kepada para saliknya: “Benarkah kebangkitan selalu diawali kehancuran?”
Mbok ojo menebar bid’ah, Le! Bid’ah itu semodel isu, tetapi mengada-ada. Ngono-ngono ning ojo ngono, ujar Jangkane Zaman sambil leyeh – leyeh.
Ya. Bangsa ini cukup tangguh mempertahankan pluralitas, kemajemukan, heterogenitas serta piawai dalam memelihara kebhinekaan (tunggal ika) yang relatif lestari dari upaya pecah belah (kepentingan) asing dengan aneka modus. DI/TII, misalnya, atau NII gagal total, PKI tertumpas dua kali, bahkan konflik-konflik komunal di lingkaran nusantara seperti kasus Ambon, Sampit dan seterusnya mampu diselesaikan secara baik. Sejarah memang masa lalu, tetapi ia bukan sekedar “barang” kuno. Petik hikmah emas di sana. Mengapa? Akibat konflik-konflik, selain energi bangsa terkuras sia-sia, banyak kerugian harta benda, dendam, korban fisik (cacat) dan jiwa, juga luka-luka sosial — ternyata hasilnya mana? Tidak menjadi apa-apa. Menang jadi arang, kalah jadi abu. Siapa dirugikan?
Semoga anak bangsa tak larut dari tabuhan gendang asing bertajuk pembelahan bangsa!
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com