Kemana Isu UKT Mahal Akan Berujung?

Bagikan artikel ini
Catatan Kecil Asymmetric Warfare
Bila dalam penjajahan klasik atau konvensional, unsur militer sangat berperan sebagai (geo) strategi guna meraih kemenangan suatu pertempuran; jika pada penjajahan gaya baru, geostrategi untuk memenangkan perang melalui tata cara asimetris alias nirmiliter. Perang tanpa asap mesiu.
Benturan ideologi merupakan topik utama dalam kolonisasi klasik sebagaimana pernah terjadi pada Perang Dunia (PD) I yakni antara Kapitalis versus Kekaisaran; PD II (Kapitalis melawan Fasis); Cold War alias Perang Dingin (Kapitalis Vs Komunis). Sedang pada penjajahan gaya baru, topik bergeser dari benturan ideologi menjadi benturan peradaban (clash of civilization) seperti yang ditulis oleh Samuel P Huntington di buku Clash of Civilization and Remaking of World Order. “Konflik antarperadaban”. Barat vs Timur, misalnya, atau benturan antara Peradaban Muslim versus Kristen Barat, dan lain-lain.
Lantas, bagaimana karakter dan model tempur dalam kolonisasi?
Karakter dan model penjajahan lama bertumpu pada perang konvensional melalui pola klasik, misalnya, bombardir di awal pertempuran (isu); kemudian penebalan serangan oleh pasukan kavaleri (tema/agenda); dan terakhir ialah pendudukan wilayah target oleh pasukan infanteri (skema) ketika target melemah akibat serbuan isu (bombardir) dan tema (kavaleri). Agaknya, karakter perang asimetris pun nyaris sama polanya dengan perang konvensional, namun praktiknya dilakukan secara nirmiliter. Nonviolence.
Berpola isu – tema/agenda – skema (ITS). Isu ditebar untuk ‘ditelan’ oleh publik terlebih dulu; lalu agenda atau tema digelindingkan guna mempertebal isu; dan terakhir, skema ditancapkan. Contoh kasus. Isu flu burung misalnya, agenda atau temanya ialah daging langka/daging mahal, maka skemanya ialah kran impor daging dibuka lebar lagi diperbesar kuantitasnya.
Atau, jika dilihat dari perspektif hybrid war seperti pernah terjadi di Irak pada era Saddam Hussein silam, contohnya, ISU: “Saddam menyimpan senjata pemusnah massal”; TEMA/AGENDA: “Penyerbuan koalisi militer Barat pimpinan Amerika (AS) terhadap Irak”; SKEMA: “Kavling – kavling sumur minyak oleh koalisi Barat di Irak”. Poin intinya, apapun isu dan agenda yang digulirkan, ujung skemanya selalu (geo) ekonomi. Itulah pola dan keterangan sekilas tentang perang asimetris atau asymmetric warfare.
Sesuai judul catatan ini, ketika kenaikan UKT (Uang Kuliah Tunggal) membuat kontroversi di publik karena nilai kenaikan sampai ratusan persen (%), tiba-tiba muncul proposal student loan (pinjaman siswa) yang disebut tengah dipersiapkan oleh Kemendikbud Riset. Ya. Skema pinjaman siswa nantinya, bahwa utang akan dibayarkan apabila mahasiswa tersebut lulus dan mendapat pekerjaan.
Dulu. Skema tersebut pernah dicoba tahun 1980-an dengan nama Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI), namun berakhir gagal, kenapa? Sebab, banyak mahasiswa tidak membayar biaya kuliah dan gilirannya bank kewalahan menyimpan ijazah peserta KMI.
Namun tampaknya, isu student loan kali ini seperti gayung bersambut dengan mahalnya UKT. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong perbankan untuk menyediakan pinjaman siswa dengan bunga murah. Memang dalam keseharian, tidak sedikit mahasiswa yang menggunakan —dan terjerat— jasa pinjaman online (pinjol).
Dalam perspektif asymmetric warfare, UKT mahal hanyalah sebuah isu yang ditebar guna menggaduhkan khalayak. “Ditelan publik”. Sedangkan student loan merupakan tema atau agenda lanjutan di koridor ITS (isu – tema – skema) tadi. Pertanyaannya adalah, apakah ada jalinan dan link up antara Kemendikbud Riset dengan lembaga jasa keuangan terkait proposal student loan? Hingga tulisan ini terbit, belum ada data pasti.
Nah, berbasis pola asymmetric warfare di atas, pertanyaan selidiknya: “Skema apa yang mau ditancapkan oleh invisible hands di publik?”
Dugaan penulis, ada dua skema yang mutlak diwaspadai bersama, namun masih sebatas prakiraan, yaitu:
Skema I: Untuk melemahkan daya kritis mahasiswa. Ya. Bila student loan nanti berjalan, maka kedaulatan —kemandirian— mahasiswa selaku agent of change tergerus karena mereka memiliki ketergantungan tinggi terhadap lembaga jasa keuangan. Nantinya seperti ‘bebek lumpuh’. Mahasiswa ada, nyata, namun keberadaannya nyaris tidak ada. Tak punya daya dobrak dan tidak memiliki posisi tawar di pemerintah, terlebih di depan lembaga jasa keuangan bila terjadi gejolak sosial politik dimana mereka harus turun di jalanan;
Skema II: Dalam rangka mengeliminer potensi Bonus Demografi yang sudah di depan mata (2030-2045), kenapa? Dalam survival of the fittest, sudah tentu, selain ada yang mampu survive dan berhasil kendati awal prosesnya terseok, juga pasti ada yang gagal sebagaimana era 1980-an silam. Patut diwaspadai, hal ini dapat menghambat tahapan menuju Indonesia Emas.
Saran penulis, entah kenaikan UKT yang ugal-ugalan, ataupun rencana student loan bagi mahasiswa, kedua hal tersebut seyogianya DIBATALKAN mengingat kondisi sosial ekonomi, bahkan situasi politik yang sedang tidak baik-baik saja di tengah kenaikkan harga kebutuhan publik akibat banyaknya varian pajak serta kenaikan nilai nominalnya, pencabutan subsudi BBM, PHK marak, daya beli menurun dan lain-lain.
Merujuk wawancara Prabowo, Presiden Terpilih 2024, dengan TVOne pada 22 Mei 2024 jam 19.30 WIB. Poin inti wawancara terkait pendidikan:
” .. itu tanggung jawab negara, pendidikan harus semurah mungkin, kalau perlu gratis.. “.
Semoga substansi wawancara di TVOne terkait pendidikan bisa ‘menyadarkan pikiran’ pihak-pihak yang berkompeten terutama Kemendikbud Riset dan stakeholder lainnya.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com