Makna Strategis BOAO Forum for Asia (BFA) Maret 2024 Bagi Indonesia dan Global South

Bagikan artikel ini

Di kota Boao, berlokasi di provinsi Hainan, Cina Selatan, pada akhir Maret 2024 yang baru lalu, telah digelar rangkaian pertemuan akbar yang dihadiri para pelaku ekonomi dan bisnis negara-negara yang berada di kawasan Asia.Rangkaian pertemuan tersebut berupa roundtable discussion dan dialog yang melibatkan para CEO pelbagai perusahaan-perusahaaan bisnis. Adapun beberapa topik yang diangkat  pada umumnya berfokus pada Asia seperti: Berinvestasi di Asia, mempererat kerjasama keuangan di Asia, dan upaya membangun Asia sebagai Pusat Pertumbuhan Ekonomi baru.

Fokus pertemuan para pelaku ekonomi dan bisinis tersebut membahas bagaimana mendorong dan meningkatkan kepercayaan dari para investor, meningkatkan eko-sistem investasi seraya meningkatkan daya tarik bagi para investor asing. Selain itu bagaimana membangun kerja sama keuangan di Asia dalam rangka untuk mendorong peningkatan sektor ekonomi real. Juga strategi memperkuat kerja sama di bidang  mata rantai pasokan industri/strengthening industrial and supply chain di antara negara-negara di kawasan Asia.

Baca: Boao Forum for Asia unveils agenda for 2024 conference

Agenda diskusi juga telah membahas beberapa isu strategis tentang Artificial Intelligence (AI) seperti masa depan kendaraan-kendaraan energi yang terbarukan, maupun dalam meningkatkan kualitas kerja sama antar negara-negara Asia berdasarkan skema Belt Road Cooperation.

Agenda yang berkaitan dengan kendaraan dengan menggunakan energi yang terbarukan juga masuk dalam agenda diskusi. Kebetulan di provinsi Hainan, Cina Selatan ini, pada 2022 sudah mencanangkan akan melarang penjualan semua kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar minyak (fuel vehicles) pada 2030 mendatang. Sehingga provinsi Hainan merupakan yang pertama kali rencana tersebut berdasarkan komitmen untuk menciptakan transisi menuju terciptanya bisnis eko-sistem yang bersih lingkungan.

Seturut dengan keberhasilan Cina menerapkan skema Belt and Road Initiative (BRI) yang didasari gagasan mengkaitkan konektivitas geografis, infrastruktur, teknologi, tatanan dan operasi ekonomi dan perdagangan, maka beberapa pembicara juga telah membahas bagaimana menciptakan kerjasama dan kolaborasi yang semakin solid untuk Membangun the Digital Silk Road. Untuk memperkuat kerja sama di bidang inovasi teknologi dan ekonomi digital.

Forum Boao untuk Asia 2024 resmi ditutup

Diskusi panel bertema “Asia: Membangun Episentrum Pertumbuhan” diadakan pada Konferensi Tahunan Boao Forum for Asia (BFA) 2024 di Boao, Provinsi Hainan, China selatan, pada 28 Maret 2024. (Xinhua/Zhang Liyun)Dalam perspektif keberhasilan Cina dalam mengembangkan Strategi Nasional Silk Road Maritime Initiative yang kemudian dikembangkan jadi BRI dan One Belt One Road (OBOR), beberapa tema yang diangkat tersebut tadi, Cina  telah menjadi sumber inspirasi bagi beberapa negara Asia lainnya, termasuk Indonesia, untuk mengembangkan keberhasilan yang sama di bidang Digital Silk Road.

Live: Boao 2024 – Global AI Governance

Maka itu menarik ketika dalam agenda-agenda yang tersingkap lewat pertemuan BFA tersebut, juga  telah membahas mengenai konfrontasi dalam bidang perdagangan global, pandangan geopolitik global, pandangan ekonomi global, Prakarsa Keamanan Global. Beberapa topik strategis tersebut tentunya dibahas untuk merespons tantangan keamanan seraya mempromosikan perdamaian dunia. Serta mengatasi berbagai hambatan dalam rangka memecahkan masalah krisis cuaca (climate crisis). Serta mendorong akselerasi dalam aksi-aksi mengatasi dampak dari Krisis Iklim Global.

Baca: Boao Forum for Asia 2024: Key Geopolitical and Economic Takeaways

Berbeda dengan Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa yang kerap melekatkan agenda politik, keamanan dan hak-hak asasi manusia dalam menggalang kerja sama ekonomi dan perdagangan dengan negara-negara mitra-nya, Cina selalu mengutamakan kerja sama yang sedari awal murni terkait ekonomi dan perdagangan.

Maka itu sangat masuk akal jika misi dari BFA dalam pertemuan akhir Maret lalu itu, adalah untuk mempromosikan Integrasi Ekonomi di kalangan negara-negara Asia. Dengan menggalang seluruh energi positif dalam rangka Pembangunan Asia dan Dunia Internasional.

Hal itu senafas dengan tema sentral pertemuan BFA tahun ini yaitu: Asia and the World: Common Challenges, Shared Responsibilities. Seperti dinyatakan oleh Sekretaris Jenderal BFA, Li Baodong, bahwa mengupayakan perdamaian, menciptakan iklim yang kondusif bagi Pembangunan, dan mempromosikan kerja sama antar-negara, merupakan tema-tema dominan dan aspirasi bersama dari komunitas internasional.

Bagi Indonesia, pertemuan BFA akhir Maret lalu tersebut merupakan tren global yang penting dan tidak boleh dianggap enteng. Sebab hal tersebut merupakan momentum bagi negara-negara berkembang yang tergabung dalam Global South, termasuk Indonesia, untuk menciptakan mekanisme kerjasama multilateral yang tidak lagi harus bergantung pada sistem keuangan dan perbankan negara-negara Barat.

Maka itu beberapa mekanisme kerja sama multilateral yang berada di luar skema AS dan Uni Eropa seperti Shanghai Cooperation Organization (SCO), ASEAN, dan Forum Kerja Sama Ekonomi Eropa-Asia, hendaknya semakin diintensifkan dan ditingkatkan kwantitas maupun kualitasnya.

Apalagi seturut dengan semakin solidnya bentuk-bentuk kerja sama multilateral di luar skema AS dan Uni Eropa, beberapa negara aktor lama seperti AS, Uni Eropa dan Jepang, ternyata sekarang Product Domestic Bruto-nya semakin rendah. Sistem perbankan-nya juga semakin lesu dan hampir bangkrut. Sedangkan negara-negara yang tergabung dalam blok ekonomi BRICS maupun SCO, PDB-nya adalah 60 persen dari total PDB dunia.

Tidak heran jika kita cermati sepak-terjang AS di Asia Tenggara yang semakin intensif mempropagandakan kerjasama keamanan maritim atau dengan mengajak membentuk Pakta Pertahanan bersama dengan negara-negara di Asia Tenggara, memperlihatkan bahwa AS dan sekutu-sekutunya dari Eropa Barat, berupaya menghidupkan kembali pendekatan Hard-Power atau militer, untuk mengatasi ketertingalannya dalam persaingan ekonomi global menghadapi Cina dan Rusia yang berhasil bangkit dari keterpurukan, tanpa menggunakan skema ekonomi AS dan Uni Eropa.

Adapun Cina dalam menerapkan BRI dan OBOR, senantiasa menegaskan komitmennnya untuk menciptakan Kebijakan Investor Friendly Policies. Bahkan menyerukan adanya Reformasi di dalam tubuh International Monetary Fund (IMF). Bahkan ide untuk menggganti dolar dengan mata uang lokal dalam transaksi perdagangan. Ide Cina tersebut menemukan momentumnya ketika meletus krisis Rusia-Ukraina.

Sebaliknya AS dan blok Barat semakin tetap dengan watak aslinya yang bersifat neokolonialisme dengan menggunakan metode lama seperti menerapkan embargo atau sanksi perdagangan terhadap negara-negara pesaingnya, atau negara-negara berkembang yang dipandang bukan merupakan sekutu-sekutu AS dan Barat.

Indonesia yang pada Oktober 2024 mendatang akan memiliki presiden baru, saya berharap kebijakan luar negeri bebas dan aktif yang dicanangkan sejak 1948, akan mampu dilaksanakan secara lebih kreatif dan inovatif oleh para pemegang otoritas kebijakan luar negeri baru Indonesia. Bahwa saat ini kerjasama yang sudah bergeser dari Unipolar menjadi Multipolar, maka negara-negara berkembang yang tergabung dalam Global South termasuk Indonesia, harus mampu memanfaatkan momentum baru tersebut dan mampu memainkan peran strategis di arena global maupun regional.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com