Surat Terbuka Kepada Duta Besar AS Untuk Malaysia: Segera Akhiri Dukungan Membabi-Buta Terhadap Aksi Genosida Israel

Bagikan artikel ini

Pada 4 April 2024 lalu, saya menyimak sebuah media statement yang dilansir oleh salah satu situs di Malaysia, Astro Awani, yang dibuat dalam format Surat Terbuka. Garis besar tulisan tersebut, secara blak-blakan menelanjangi kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS) yang bersifat  double-standard (munafik) terkait soal implementasi Hak-Hak Asasi Manusia. Hal ini tampak jelas melalui dukungan total yang membabi-buta terhadap pemerintah AS kepada Israel dalam aksi genosida terhadap warga sipil di Gaza, Palestina.

Baca: Open letter to His Excellency, the Ambassador of the United States of America to Malaysia

Dalam media statement yang oleh Astro Wani disampaikan dalam format Surat Terbuka kepada Duta Besar AS di Malaysia, dimulai dengan paragraph pembuka: “Dengan hormat, pertama-tama perlu anda ketahui bahwa pemerintah Amerika yang telah kita ketahui bersama merupakan pendukung sekaligus fasilisator tindakan kejahatan genosida terhadap warga sipil Palestina di Gaza, sama sekali tidak punya kredibilitas untuk menguliahi atau menasehati negara-negara lain atas apa yang mereka ingin atau tidak inginkan.

Genosida atau pembasmian warga sipil yang berlangsung di Gaza, Palestina, menggambarkan betapa Israel sebagai negara aggressor memandang kehidupan warga sipil Palestina sebagai korban serangan Genosida tersebut, sama sekali tidak ada harganya. Lantaran AS maupun Israel sebagai pihak aggressor memandang warga sipil Arab Palestina sebagai suku bangsa dan agama yang berbeda. Pemerintah Amerika, yang pastinya tahu persis adanya ide rasime di balik serangan genosida ke Gaza Palestina tersebut, ternyata tetap saja memberikan dukungan total kepada Israel.

Maka itu, seperti halnya Israel, AS tangannya juga berlumuran darah warga Palestina yang tewas akibat aksi genosida Israel di Gaza. AS pun dalam kasus mendukung aksi genosida Israel di Gaza, berarti juga menganut rasisme sama seperti Zionis Israel.

Seturut dengan pandangan tersebut, Surat Terbuka kepada Duta Besar AS di Malaysia itu, mengecam keras campur-tangan pemerintah AS tiba-tiba menyatakan rasa kepeduliaannya terhadap kesejahteraan para pekerja di Malaysia. “Apa hak pemerintah AS kok tiba-tiba pura-pura peduli pada nasib kaum pekerja Malaysia sedangkan negara anda merupakan negara yang mendukung kebijakan rasisme dan aksi genosida di Gaza, Palestina” Begitu kira-kira nada kecaman surat terbuka kepada Duta Besar AS untuk Malaysia tersebut.

Apalagi sikap sok peduli pemeritah AS terhadap kesejahteraan para pekerja Malaysia jadi semakin kelihatan munafik ketika beberapa waktu sebelumnya, Kedutaan Besar AS di Malaysia telah menolak keputusan Pengadilan Industrial Malaysia untuk membayar ganti rugi sebesar RM 60.000, kepada seorang penjaga keamanan Malaysia, karena menurut Pengadilan Industrial Malaysia, telah dipecat oleh Kedutaan Besar AS secara tidak adil.

Menurut Surat Terbuka yang dilansir situs berita Astro Wani itu, sikap sok peduli pemerintah AS terhadap nasib para pekerja Malaysia tersebut, akan terlihat tidak terlalu munafik jika pihak Kedutaan Besar AS di Malaysia menyetujui Keputusan Pengadilan Industrial Malaysia yang telah mengabulkan gugataan pegawai keamanan Malaysia yang dipecat secara tidak adil tersebut.

Sepertinya kecaman Surat Terbuka kepada Duta Besar AS untuk Malaysia tersebut  harus dibaca dalam konteks untuk merespons upaya AS menggunakan isu kesejahteraan para pekerja Malaysia sebagai alasan pembenaran untuk menolak aksi boikot lokal warga Malaysia terhadap produk-produk buatan Israel di Malaysia.

Sikap dasar yang disuarakan lewat Surat Terbuka itu tampak jelas alur pikir dan pandangannya. Pihak AS sebaiknya jangan mencoba membangun kesan bahwa aksi boikot lokal warga Malaysia terhadap perusahaan-perusahaan bisnis yang beroperasi di Malaysia itu seakan ide buruk, karena merugikan nasib para pekerja Malaysia. Seperti penegasan Surat Terbuka kepada Duta Besar AS: “Jika mereka tidak setuju dengan tujuan boikot, mereka harus jujur ​​dan mengatakan demikian, daripada mencoba untuk tidak jujur ​​dan menyatakan bahwa kesejahteraan karyawan adalah alasan mereka meyakini boikot adalah ide yang buruk.”

Menyimak pernyataan pers berformat surat terbuka tersebut, memang nampak betul kemunafikan atau sikap standar ganda pemerintah AS terkait soal hak-hak asasi manusia. Nampak jelas, praktek hak-hak asasi manusia hanya mereka terapkan jika menguntungkan AS. Kalau merugikan, mereka tidak memandang hal tersebut sebagai hak-hak asasi manusia.

Namun ketika warga Malaysia bermaksud untuk menyerukan para pekerja Malaysia untuk melancarkan boikot terhadap perusahaan-perusahaan milik Israel di tempat mana mereka bekerja, pemerintah AS tidak mendukung aksi boikot tersebut dengah dalih hal itu merugikan para pekerja Malaysia yang bekerja pada perusahaan-perusahaan milik Israel yang beroperasi di Malaysia. Padahal alasan sesungguhnya, lantaran pemerintah AS tidak setuju ide dasar yang mendasari aksi boikot lokal warga Malaysia tersebut. Yaitu menentang rasisme dan serangan genosida Israel yang didukung secara total oleh AS.

Kecaman Surat Terbuka terkait standar ganda AS tentang HAM sejatinya mendapat payung hukum yang kuat. Betapa tidak. Badan Legislatif atau kongres lokal di 37 negara bagian di Amerika Serikat, telah mengesahkan undang-undang anti-boikot dengan sedikit atau tanpa perdebatan publik. Undang-undang tersebut secara khusus melarang boikot yang ditujukan terhadap Israel. Hal ini merupakan bukti nyata bahwa jejaring Zionis Israel di AS nampaknya masih cukup kuat dan efektif dalam membangun jejaring pengaruh yang meluas bukan saja di eksekutif Gedung Putih, melainkan juga di badan legislatif, baik di tingkat pusat maupun negara bagian.

Dimensi paling menarik dari Surat Terbuka tersebut adalah, menegaskan betapa rejim kolonial berbarsis Apartheid atau berbasis diskriminasi rasial dan agama seperti yang diterapkan Israel  terhadap warga Arab Palestina hingga sekarang, sudah tidak cocok lagi untuk diterapkan pada Abad-21. Apalagi rejim genosida ala Israel. Dengan demikian, dukungan AS terhadap aksi genosida Israel terhadap warga sipil Palestina di Gaza,telah menempatkan AS di posisi yang salah dalam sejarah.

Lebih daripada itu, dukungan membabi-buta AS terhadap aksi genosida Israel di Palestina, telah melucuti topeng yang selama ini dikenakan pada wajah AS, sehingga AS seakan-akan merupakan suri tauladan dalam penegakan nilai-nilai demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Sekarang, wajah asli Amerika terkuak. Wajah aslinya ternyata buruk rupa.

Ternyata rasisme atau perbedaan warga kulit masih tetap jadi pedoman dalam menyikapi perisistiwa yang sejatinya sama. Terhadap warga sipil yang tidak berdosa di Gaza yang mana para perempuan dan anak-anak telah jadi korban genosida Israel, Amerika tidak berkeberatan terhadap aksi yang dilancarkan AS.

Namun terhadap warga Ukraina dalam Perang Rusia-Ukraina, Amerika bersikap berbeda. Terhadap warga sipil Arab Palestina yang berbeda warga kulit dan agama, AS menutup mata terhadap ulah Israel. Adapun terhadap Ukraina yang notabene berwarna kulit sama, Amerika mengecam Rusia habis-habisan. Dalam kasus yang sama tersebut, AS bersikap berbeda.

Maka itu, Surat Terbuka tersebut diakhiri dengan harapan, agar dukungan AS yang membabi-buta dan tanpa syarat kepada Israel segera diakkhiri. “Kami dengan hormat mendesak Anda untuk menggunakan pengaruh apa pun yang Anda miliki untuk memberi kesan kepada pemerintah Anda bahwa sudah saatnya dukungan buta dan tanpa syarat terhadap Israel diakhiri. Israel bukanlah sekutu strategis AS di Timur Tengah. Profesor John Mearsheimer dari Universitas Chicago mengatakan, “Israel adalah elang laut yang berada di leher kebijakan luar negeri AS”. Demikian pungkas Surat Terbuka tersebut.

Saya kira ini closing statement yang cukup tepat dan jitu. Ditinjau dari berbagai segi, rakyat Palestina sejatinya di pihak yang benar. Baik sejarah, hukum internasional maupun kemanusiaan. Hanya melalui pengakuan sah terhadap aspirasi rakyat Palestina untuk membentuk negara merdeka, dan desakan AS terhadap Israel untuk mematuhi hukum internasional, maka AS baru dapat memulihkan citra dirinya sebagai “perantara yang jujur” untuk mewujudkan perdamaian dan keadilan.

Menurut Frank Barat dalam kata pengantar buku bertajuk On Palestine, Noam Chomsky and Ilan Pappe, bagi Palestina dan orang-orang Palestina, akar masalah bermula pada 1948 yang dikenal dengan sebutan NIKBA, yaitu pembersihan dan pengusiran terhadap orang-orang Palestina, untuk terbentukanya Negara Baru: Israel. 

Maka menurut Frank Barat, Noam Chomsky dan Ilan Pappe seperti terangkum dalam buku tersebut, para aktivis pergerakan Solidaritas untuk Rakyat Palestina, tidak cukup hanya mengeritik dan mengecam kebijakan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia dan hak-hak sipil Rakyat Palestina, melainkan juga perlu membongkar ideologi di balik kebijakan dan aksi pelanggaran berat hak-hak asasi manusia dan hak-hak sipil Rakyat Palestina. Apa itu? Zionisme sebagai basis ideologi Gerakan Kolonisasi Pemukim dan Perampasan Wilayah yang dilakukan Israel, atas dasar dukungan total dari negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Maka itu perlu sebuah wacana baru dalam Gerakan Solidaritas Untuk Rakyat Palestina. Yang mana Zionisme dan Israel sebagai Negara Apartheid yang bersifat rasial terhadap warga Arab Palestina yang berbeda etnik, bahasa dan agama, harus dipandang sebagai akar ideologis untuk menjelaskan mengapa hingga kini Israel dengan dukungan AS dan Barat, masih tetap mendukung aksi Genosida terhadap warga Arab Palestina baik yang ada di dalam Israel maupun di luar Israel seperti di Tepi Barat dan Gaza.

Dalam kerangka pemikiran seperti itu, maka gerakan Boikot, Divestasi dan Sanksi terhadap perusahaan-perusahaan Israel yang beroperasi di negara-negara yang mendukung perjuangan rakyat Palestina, diharapkan bisa merevitalisasikan Gerakan Solidaritas bagi Rakyat Palestina di seluruh dunia. Dengan begitu, para aktivis Gerakan Solidaritas Palestina, tidak sekadar mengecam kebijakan-kebijakan Israel, melainkan juga mulai menyentuh yang jadi basis munculnya kebijakan-kebijakan yang bersifat rasis dan membenarkan aksi-aksi genosida terhadap Arab Palestina di wilayah-wilayah yang diduduki Israel.

Kata kunci Wacana baru yang digulirkan para aktivis Gerakan Solidaritas bagi Rakyat Palestina adalah: Kolonialisme Pemukim dan Zionisme sebagai basis ideologi gerakan, sehingga membidani terbentuknya Negara Apartheid Israel. Menyingkap Zionisme sebagai basis ideologi Kolonialisme Pemukim dan Perampasan Wilayah-wilayah Palestina, maka pendudukan Israel di seluruh wilayah Palestina, sejatinya merupakan kolonialime dan imperialisme.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com