Laut: Pertaruhan Kita di Bidang Senjata dan Pangan

Bagikan artikel ini

Kalau bicara soal kajian global dan internasional, saya punya guru pemantik wawasan. Sukarno dan Datuk Ibrahim Tan Malaka.

Pertama, kalau mau menujum masa depan, bukan dengan ilmu klenik atau ramalan Joyoboyo sekalipun. Tapi gunakanlah materialisme-dialektika. Kita harus seperti dokter. Meski si sakit merasa tidak enak, kita tunggu munculnya simptom. Nah, baru kita diagnosa. Barulah kita tahu apa akar krisis global saat ini. Apa konflik yang mendasar antar negara-negara adikuasa saat ini, sehingga menyeret-nyeret negara-negara berkembang seperti kita ikutan dalam pusaran konflik.

Jadi kita harus seperti tabib atau dukun penyembuh, bukan seperti paranormal yang enaknya aja bilang oh si itu bakal menang, yang ini bakal kalah. Nggak bisa gitu.

Kedua. Dalam menelaah kondisi dan situasi global-internasional, harus jadi dasar untuk mengenali situasi dan kondisi, maupun dinamika yang berkembang di dalam negeri kita sendiri. Dan yang lebih penting lagi, kita harus yakin atas kemenangan kita sendiri pada akhirnya. Bahwa konflik global akan jadi momentum kita untuk re-start dalam rangka kepentingan nasional kita sendiri. Hajatan nasional kita sendiri.

Karena itu kita harus punya keyakinan bahwa segala kemungkinan baru bakal tercipta dan menguntungkan kita. Lantas, apa yang mesti kita lakukan? Kita harus mengibaratkan diri seperti Christopher Columbus ketika berlayar terus ke Timur, menuju benua Amerika. Colombus tidak tahu kapan akan sampai dan tidak tahu persis dimana jalan yang dia lalui. Dan tidak bisa dia pastikan terlebih dahulu.

Namun kita harus punya keyakinan, karena tanpa keyakinan kita tak punya pendirian. Atas dasar keyakinan dan pendirian kuat itulah, kita mampu membuat perhitungan tingkat tinggi.

Bagaimana cara kita membuat perhitungan tingkat tinggi atas dasar telaah kita mengenai kondisi global dan internasional? Ibarat dokter masyarakat yang berjiwa tabib, periksa gejala atau simptomnya. Lantas tentukan akar penyakitnya. Maka, dari situlah kita akan berhadapan dengan dua kemungkinan akibat krisis global-internasional:

1. Bakal meletus perang atau tidak?

2. Para pihak mana yang bakal menang dan bakal kalah?

Untuk menelaah dan menjawab dua pertanyaan pokok tersebut, tinjaulah situasi dan kondisinya dengan pandangan terbuka, namun dengan pikiran praktis. Melalui cara ini, kita akan terlatih sebagai kader-kader pergerakan yang militan, tapi penuh perhitungan dalam mengukur kekuatan sendiri. Terlatih dan peka dalam mengukur suasana yang ada di sekitar kita, baik yang jauh maupun yang dekat. Termasuk mengukur kekuatan dan kelemahan organisasi kita sendiri.

Para pemimpin maupun aktivis pergerakan, harus ibarat seorang nahkoda kapal. Meskipun punya ilmu yang dalam tentang karang yang ada di dalam air, tentang udara yang mungkin mendatangkan angin ribut, badai dan taufan, namun sewaktu-waktu ia mesti awas, dan siap menyesuaikan diri dengan keadaan baru yang timbul.

Mengapa hal itu sedemikian penting? Menentukan bakal ada perang atau tidak, siapa bakal jadi kubu pemenang dan kubu yang kalah, ini penting buat jadi dasar menentukan nasib buat kita sendiri. Nasib 270 juta penduduk Indonesia.

Namun untuk sampai pada simpulan itu, kita harus pandai pandai membaca gejala, simptom. Tanda-tanda. Maka kita bisa menentukan kodrat atau kecenderungannya situasi dan kondisi global-internasional saat ini.

Sayangnya, tendensi ke arah perang dunia ketiga cukup besar. Apa gejala dan tanda-tandanya? Kapitalisme memang belum kolaps, tapi kapitalisme global sedang mengalami kejenuhan pasar. Padahal kapitalisme tidak mungkin hidup tanpa pasar.

Alhasil, negara-negara adikuasa yang sangat dipengaruhi oleh korporasi-korporasi non negara, seperti AS dan Jepang, didorong untuk lebih agresif baik secara militer maupun nir-militer. Seraya pada saat yang sama, mendorong pemerintah Amerika untuk mengubah dari kapitalisme liberal menjadi kapitalisme fasis.

Tindakan agresif karena membutuhkan pasar baru, dimaksudkan agar produksi tidak terhambat dan tetap meningkat. Maka gerakan-gerakan serikat buruh untuk melancarkan pemogokan harus dicegah, dan hal itu hanya dimungkinkan jika negara mengambil alih kekuasaan kapitalisme berpayung fasisme. Seperti yang dilakukan Presiden Trumnp saat ini.

Nah, bagaimana Indonesia maupun negara-negara berkembang memandang tendensi seperti ini? Kita melihat saat ini AS maupun blok Barat menyadari bahwa benteng kapitalisme setiap saat bisa dijebol dan runtuh. Kapitalisme tidak mungkin bisa hidup terus.

Siapakah yang ditakuti negara-negara yang lengket dengan pengaruh kapitalisme global berbasis korporasi? Bukan negara negara blok sosialisme atau komunisme. Melainkan negara-negara yang punya etos nasionalisme didukung dengan komitmen pada sosialisme yang sesuai dan selaras dengan watak bangsanya.

Inilah yang mengkhawatirkan negara-negara kapitalisme mapan. Visi sosialisme kerakyatan khas bangsanya, yang ditopang oleh etos nasionalisme. Rasa cinta tanah air yang begitu kuat dan mendalam.

Apa saja yang bakal menentukan menang kalahnya suatu negara atau sekelompok negara yang bersekutu dalam perang?

1. Senjata. 2. Kekayaan. 3. Industri. 4. Industri yang sewaktu-waktu bisa diubah jadi persenjataan. 5. Geografi.

Nah soal geografi, memang banyak tolok-ukurnya. Namun saya hanya ingin kasih satu catatan saja kali ini. Yaitu kemampuan suatu negara untuk mengakses samudra. Negara yang punya samudra bisa kuat dari dulu sampai sekarang. Lihat saja negara-negara yang punya pelabuhan laut seperti: Yunani, Mesir, dan Spanyol.

Belakangan Inggris berhasil menguasai samudra. Karena laut memudahkan perhubungan dengan negara lain. Laut juga memudahkan pengangkutan senjata dan makanan.

Barang siapa menguasai samudra, bakal punya input geopolitik yang menguntungkan untuk menyusun geostrategi negaranya. Singkat cerita, siapa menguasai laut, dia lah yang menang.

Lantas, apa untungya bagi kita, yang diapit oleh Lautan Hindia dan Lautan Pasifik? Apakah kesadaran dan wawasan geopolitik kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang berhasil menguasai pintu ke Laut Hindia lewat Selat Malaka, lebih hebat daripada para pemimpin kita sekarang?

Apakah orang-orang Belanda lebih cerdas wawasan geopolitiknya tentang Indonesia, sehingga berhasil memblokade dan mengisolir Banten sebagai daerah penyangga antara Luat Jawa dan Selat Sunda melalui pelabuhan Sunda Kelapa?Belanda berhasil menguasai kita karena berhasil memblokir lautan kita. Maka benarlah kata pakar geopolitik maritim Inggris Alfred Thayer Mahan: Siapa menguasai laut, dia akan menang.

Maka menguasai pintu ke laut harus jadi salah satu gagasan pokok dalam menyusun kontra skema menghadapi kondisi global dan internasional ke depan.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com