Teori Musa Di Pilpres 2024

Bagikan artikel ini
Ini tentang sejarah ribuan tahun silam. History repeats itself. Sejarah berulang dengan pola yang sama, hanya waktu, person dan kemasan berbeda. Termasuk, tebal dan tipis kualitasnya.
Seandainya kelahiran bayi Musa dahulu tidak dirahasiakan, dilarikan, serta dihanyutkan oleh ibunya di Sungai Nil, kalau tertangkap oleh bala tentaranya Fir’aun diyakini Musa kecil bakal dibunuh. Kenapa? Sebab, Raja Fir’aun mendengar berita dari ahli nujum (strategi)-nya bahwa kelak ada sosok pemuda yang akan menjatuhkan takhta kekuasaannya. Menyikapi berita tersebut, seketika Fir’aun mengeluarkan perintah supaya membunuh setiap bayi laki-laki.
Secara ontologi, pada kisah Musa terdapat hikmah dan pembelajaran mendalam dalam dunia (sejarah) politik, bahwa pada konstelasi serta kontestasi kekuasaan maka siapa pun orang bila ingin mencapai top management alias orang nomor satu di sebuah negara misalnya, atau perusahaan dll maka ia wajib mengikuti ‘arus sungai’ (tapi jangan terbawa arus). Kudu nyemplung, baik suka rela maupun terpaksa. Bahkan ‘menagis’ sekalipun —bayi Musa hanyut dan menangis dalam keranjang— serta harus menjalani hidup serta kehidupan pada sistem kekuasaan yang bertolak belakang dengan hati nuraninya. Singkat cerita, setelah dewasa, kuat dan berilmu maka Musa pun ‘memenggal’ si Fir’aun. Itulah sepintas kronologis.
Dalam politik, tidak dikenal diksi karma, durhaka, atau ewuh pekewuh, yang utama ialah tujuan tercapai. Bagaimana meraih dan mempertahankan kekuasaan melalui aneka strategi, taktik, teknik dan trik alias siasat.
Politik berasal dari dua kata. Poli dan Tik. Poli merupakan prefiks yang diambil dari Bahasa Yunani (polú atau polý) yang artinya “banyak”; sedangkan Tik dari kata “taktik”. Makna politik itu banyak taktik. Itulah sekilas POLA (pattern) pada ontologi politik yang dapat dipetik dari salah satu penggalan cerita nabi-nabi di al Qur’an.
Beberapa retorika perlu disimak bersama untuk meyakinkan nalar dan logika:
1. Obama misalnya, apakah mungkin sosok kulit hitam bisa duduk di kursi presiden pada lingkungan super rasis tanpa ia terlebih dahulu masuk dalam inner circle kaum globalis di Amerika;
2. Dalam rangka mengganti Bung Karno, siapa berani bilang bahwa Soeharto dahulu tidak masuk dalam lingkaran imperialis kapitalisme;
3. Yang paling aktual pada Pilpres 2024 kemarin. Siapa berani menyangkal bahwa Prabowo harus ‘menyelam’ dulu ke lingkaran dalam rezim (sistem dan aturan) yang mengalahkannya dua kali —pada Pilpres 2014 dan 2019— sebelum akhirnya ia menjadi Presiden (Terpilih) 2024?
Retorika-retorika di atas tak perlu dijawab, tapi tolong dicermati bersama, kemudian dirasak-rasakno.
Yang agak repot itu gejolak di akar rumput, terutama kelompok militan. Tanpa wawasan dan pemahaman luas tentang sebuah strategi, mereka cenderung kehilangan jejak idolanya. Ibarat rajawali, tapaknya akan sulit diikuti burung pipit dikala rajawali terbang di angkasa nan tinggi. Inilah yang kerap terjadi. Sikap militansi terhadap sang idola mendadak hambar, muak, lalu berubah caci maki dan lain-lain akibat jejak langkah idolanya menghilang dalam ‘pandangan’. Tidak sesuai harapan, meski tebal tipisnya bersifat relatif.
Makanya, menapaki tangga menuju 20 Oktober 2024 (pelantikan Presiden dan Wakil Presiden) mendatang, aroma silent conflict mulai tercium. Ibarat kentut, ada baunya tapi tak nampak barangnya. Teori Musa terbuka di ujung skenario. Silakan dicermati, dirasak-rasakno. Sejarah berulang dengan pola yang sama meski aktor, waktu dan kemasan berbeda-beda.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com