Kenapa Kita Bisa Kecolongan Sehingga Terjadi Monopoli Kepemilikan Media Massa?

Bagikan artikel ini

Luthfi Yazid, Pengacara di Jakarta International Law office

(Disampaikan dalam Seminar Prospek Media Massa Nasional, yang diselenggarakan oleh Global Future Institute, 28 Agustus 2014).

Dulu saya berminat untuk menjadi wartawan, alhamdulilah saya sempat berbincang bertemu dengan generasi tua seperti Profesor Oemar Seno Aji, Rosihan Anwar, Abdurrahman Sumiharjo, Djafar assegaf, Mochtar Lubis, dan beberapa tokoh pers senior lainnya.

Saya sempat berbincang-bincang dengan beliau. Saya menaruh minat pada hukum pers. Sehingga beberapa kali saya menulis dan  mengkritisi undang-undang pokok pers yang saya pertentangkan dengan Peraturan Pemerintah nomor 184 dan sebagainya.

Kadang menulis di harian Terbit, kadang-kadang menulis tapi tidak diterima. Saya sebagai wartawan, lamaran saya tidak lolos sampai saya ikut demo dengan Bang Adnan Buyung karena saya saat itu asisten Bang Buyung di depan Departemen Penerangan waktu itu ketika Detik dan Tempo dibredel. Bang buyung naik ke atas mobil.

Tapi terus terang saja saya tidak terlalu mengamati perkembanga pers kita akhir-akhir ini, meski saya tetap membaca media tapi tidak terlalu mengamati detail sekali karena dengan perkembangan media saat ini saya kesulitan menempatkan hukum pers dimana dalam konteks situasi yang sudah berubah seperti sekarang ini. Terus terang saya mengalami kesulitan.

Dalam konteks pilpres, Mas Hendrajit bilang kecenderungan Wallstreet Journal dan New York Times, yang satu pro Prabowo dan yang satu Pro Jokowi. Saya tidak ahli di bidang itu tetapi apakah memang seperti itu? Saya pernah menjadi pengacara Newmount Minahasa raya sebelum Luhut Pangaribuan.

Saya menangani Newmount Minahasa raya, kasus di Teluk Buya, tapi saya mengundurkan diri karena saya merasa tidak cocok, saya dilatih dengan Newmount dalam mengelola media sehingga saya diwawancarai Bloomberg, New York Times, Washington Post, International Financial Australian, dll. Tapi saya diajarkan how to handle to respon media secara khusus diajarkan. Dan mereka seragam. Sehingga kalau dibilang Walstreet jounal dengan New York Times, berbeda, bukankah media-media asing satu arah? Saya tidak terlalu paham juga.

Yang bisa dilakukan di Mahkamah Konstitusi, ini saya mencoba berpikir apa solusinya, ketika UU penyiaran, uu pokok pers, dll yang dibuat era reformasi banyak yang kita absen terhadap UU Penyiaran, dan tiba-tiba para politisi mempunyai saham di media, kenapa dulu tidak dikritisi. Menurut saya dulu tidak ada yang mengkritisi tiba-tiba sekarang setelah besar baru kita agak ribut.

Saya pernah menjadi panitia seleksi penyiaran di tahun sebelumnya mewakili masyarakat. Karena ada pansel itu hanya 4 orang, saya bersama Sarwito menjadi pansel wakil masyarakat.

Jadi masyarakat dan pengamat hukum di periode sebelumnya. ini kenapa kok  bisa sampai kecolongan sehingga  terjadi monopoli dalam kepemilikan media massa? Kita kan pumya UU monopoli, jadi penyiaran UU Pokok Pers saya kira bisa kita uji atau examine kita pertentangkan dengan UUD 45. Saya sendiri adalah pengacara yang membatalkan Pancasila sebagai pilar di MK tahun lalu.

Jadi saya kira bisa tetap digugat melalui undang-undang penyiaran kita. Kita cari pasal-pasalnya yang kira-kira tidak menguntungkan kita sebagai bangsa, sehingga  kita tidak merdeka lagi, terjajahnya tuh kebangetan seperti itu. Kalau kita berbeda ya jangan terlalu.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com