Kilas Balik Poso dan Aceh: Sasaran Perang Asimetris Pemilik Modal Raksasa Asing

Bagikan artikel ini

Tim Riset Global Future Institute (GFI)

Di mana terjadi konflik horizontal, maka di daerah tersebut berarti terkandung sumber kekayaan alam yang maha besar. Bagaimanakah profil konflik Poso dan bentuk perdamaiannya?

Konflik Poso memuncak sebanyak 2 kali. Pada Desember 1998 dan Mei 2006. Bukan kebetulan pula, kedua konflik ini terjadi pada masa jabatan Gubernur Sulawesi Tengah Mayjen TNI Bandjela Paliudju. Bandjela Paliuju menjabat Gubernur Sulteng pada 1996 – 2001 (Periode I) dan 2006 – 2011 (Periode II).

Poso merupakan bagian dari Sulawesi Tengah yang kaya akan sumber daya alam, mulai dari minyak bumi, gas, emas hingga nikel. Bandjela Paliudju merupakan sosok yang berpihak kepada kepentingan masyarakat Sulteng.

Pertanyaannya, kenapa Bandjela Paliudju sampai harus digoyang oleh dua kali kerusuhan pada dua kali masa jabatannya ?

Adakah kepentingan modal raksasa yang akan diuntungkan dengan goyangnya atau jatuhnya Bandjela Paliudju?

Sesaat setelah Bandjela Paliudju menjabat Gubernur Sulteng pada 1996, PT Inco asal Kanada mulai mengeksplorasi Nikel di Poso (1997).

Kemudian pada 1998, PT Mandar Uli Mineral, anak usaha Rio Tinto Group milik “Rothschild”, menggarap emas di Poso seluas 550 ribu hektar. Rupanya, pemerintahan Bandjela Paliudju di Sulteng yang pro rakyat, mengganggu bisnis Inco dan Rio Tinto. Maka pecahlah konflik Poso Desember 1998. Konflik Poso I (Desember 1998) berhasil digagalkan oleh kekuatan militer saat itu.

Pada akhir periode jabatannya sebagai Gubernur Sulteng, Bandjela Paliudju hendak maju kembali untuk periode 2001–2006. Namun pemerintahan Gus Dur tidak mengangkat kembali Bandjela Paliudju (saat itu, jabatan Gubernur masih ditunjuk presiden).

Ketika Pilkada Sulteng sudah digelar, pada 2005, Bandjela Paliuju ikut sebagai peserta.

Kekhawatiran dari para pemilik modal besar di kawasan Sulteng dan khususnya Poso meningkat. Bandjela Paliudju dianggap bisa membahayakan kepentingan modal asing yang tengah masuk ke Sulteng dengan kebijakannya yang pro rakyat.

Pada 2006, Inco akan memulai eksploitasi tambang barunya di Morowali dan telah investasi US$ 1 miliar. Di Teluk Tolo (Marowali), Pertamina dan Medco tengah memproduksi minyak dari Lapangan Tiaka sejak 31 Juli 2005.

Rencananya, pengapalan pertama join Pertamina dan Medco ini pada 12 Januari 2006. Pertamina dan Medco juga tengah membangun proyek Donggi-Senoro di Sulteng. Proyek Donggi – Senoro mayoritas dikuasai oleh Mitsubishi Corporation (80%), Pertamina (10%) dan Medco (10%).

PT Bukaka Hydropower Engineering milik JK juga tengah membangun PLTA Poso 740 MW. PLTA ini akan menyuplai kebutuhan listrik bagi industri baru (Inco, Rio Tinto, Medco, dsb) di area Sulteng.

Adanya fakta kepentingan industri raksasa baru di Sulteng pada tahun 2005–2006 merupakan pemicu digerakkannya Konflik Poso II pada Mei 2006. Kemenangan Bandjela Paliudju dengan pemerintahannya yang pro rakyat dianggap sebagai ancaman bagi para raksasa itu (Inco, Rio Tinto, Medco, Mitsubishi, Bukaka. dsb). Oleh sebab itu, untuk kedua kalinya Bandjela Paliudju digoyang oleh kerusuhan Poso.

Sebelumnya malah KPU menunda pelantikan Bandjela Paliudju karena dituduh memberikan janji terlalu banyak kepada masyarakat.

Tuduhannya adalah Bandjela Paliudju menjanjikan pembangunan jalan, pemberian traktor, dan sebagainya. Namun akhirnya tidak terbukti dan mau tak mau Bandjela Paliudju dilantik jadi Gubernur Sulteng 2006–2011.

Strategi pertama (tuduhan KPU) gagal, para raksasa (Inco, Rio Tinto, Medco, Mitsubishi, Bukaka, dsb) pun menjalankan Strategi kedua : konflik Poso. Tak lama Bandjela Paliudju dilantik, pecahlah konflik Poso II pada Mei 2006.

Di tengah konflik tersebut, JK yang waktu itu menjabat Wakil Presiden menjadi penengah. Dengan kata lain, JK menjadi gawang dari raksasa asing dan kepentingan PLTA Bukaka di Poso untuk negosiasi dengan Bandjela Paliudju.

Wakil Presiden JK memberikan 2 penawaran pada Bandjela Paliudju : “Dijatuhkan atau Fasilitasi Kepentingan Industri.”

Bandjela Paliudju saat itu terdesak oleh adanya konflik agama yang parah di Poso. Tak hanya sekali, tapi dalam dua masa jabatannya sebagai Gubernur Sulteng. Apabila memilih dijatuhkan, Bandjela Paliudju akan disandera sebagai otak di belakang konflik Poso I dan II.

Landasannya sederhana, dua kali konflik Poso pada masa jabatan Bandjela Paliudju sebagai Gubernur Sulteng.

Bagi Bandjela Paliudju, memilih Dijatuhkan pun akan terjebak pada status ‘Otak Di Belakang Konflik Poso I dan II’. Tak ada jalan lain bagi Bandjela Paliudju selain menyerah pada kepentingan industri dan asing yang dikawal Jusuf Kalla. Dan terjadilah ‘Perdamaian Poso’.

Dari ulasan di atas, jelas sekali bahwa baik dari konflik Aceh (GAM) maupun Poso, di baliknya ada perebutan sumber daya alam. Ada kepentingan pemilik modal raksasa di balik konflik-konflik yang terjadi di Indonesia. Konflik-konflik itu bisa berkemas perang agama, membela hak kesukuan dan lain sebagainya.

Seperti halnya Organisasi Papua Merdeka (OPM). Tentu saja motif dan penyokong di belakangnya adalah Freeport sebagai pihak yang paling diuntungkan jika Papua lepas dari Indonesia.

Apabila dalam setiap konflik besar ada kepentingan modal raksasa, maka perdamaiannya pun tak lain transaksi dagang dan politik.

‘Perdamaian Aceh’ dan ‘Perdamaian Poso’ bukanlah sebuah islah sebagaimana dalam konflik mikro.

‘Perdamaian Aceh’ dan ‘Perdamaian Poso’ adalah konflik makro yang melibatkan kepentingan modal raksasa asing.

Maka ‘Perdamaian Aceh’ dan ‘Perdamaian Poso’ yang diklaim JK tak lain hanyalah sebuah transaksi jual beli aset RI dengan pihak raksasa asing.

Menanggapi hal tersebut, Global Future Institute memandang kenyataan tersebut sebagai bukti penguat hipotesa sebelumnya bahwa dalam setiap konflik lokal, sejatinya merupakan cermin konflik pada tataran global. Pengkaji Geopolitik GFI M Arief Pranoto, kembali mengutip ungkapan Deep Stoat: “Conflict is the protection oil flow and blockade somebody else oil flow!”

Menurut analisis Pranoto, kita seringkali hanya gaduh di atas permukaan tanpa menyadari ada “remote” dari kejauhan. Memang akan sedikit sulit menemui bukti formil dan materiil pada jenis konflik seperti ini, paling-paling hanya bukti pola (pattern evidence) dan bukti keadaaan (circumstantial evidence) yang mampu menguaknya.

Silahkan cermati, konflik di Rohingya, Myanmar beberapa waktu lalu, atau konflik di Lampung Selatan, di Madura (Syiah vs Sunni) selalu terlihat modus pemicu yang sama — yaitu pelecehan sexual oleh oknum yang akhirnya justru diabaikan.

Lalu, apakah ketiga wilayah tadi cuma penghasil gaplek, telo, atau walang kekek? Tidak. Daerah itu kaya akan potensi pertambangan (minyak, emas, gas bumi, dll).

Boleh cermati agenda lanjutan setelah konflik terjadi, selain pengungsian? Yaitu RELOKASI bagi penduduk yang hidup di atasnya!

Selain Inco dan Mitzubishi, salah satu pemain terbaru di Migas Indonesia adalah StatOil asa Norwegia, juga diwaspadai.

Apakah JK juga punya hubungan khusus dengan Rothschild?

StatOil merupakan perusahaan migas milik Rothschild Norway Group yang dibawa masuk ke Indonesia oleh Wakil Presiden Jusuf kalla.

StatOil telah menguasai 2 Blok yaitu Karama (Sulawesi) dan Halmahera II (Maluku), daerah kekuasaan Jusuf kalla. Saat ini, StatOil tengah mengincar Blok Natuna Alpha-D yang memiliki cadangan gas bumi skala besar.

Menelisik keberadaan StatOil sebagai pemain Migas baru asal Norwegia, mau tidak mau kita harus buka kembali tumpukan berita lama tentang konflik di Aceh.

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bermula pada tahun 1976. Kebanyakan tentu mengira perjuangan GAM adalah bentuk perjuangan kemanusiaan membela harkat dan martabat Aceh. Sedikit yang menyadari kalau ada kepentingan perebutan Gas Lhokseumawe di balik konflik GAM dan pemerintah RI.

Kalau sempat, baca buku ‘Understanding Civil War’ karya Paul Collier dan Nicholas Sambanis terbitan World Bank. Salah satu ulasan utamanya adalah soal konflik Aceh antara GAM dengan pemerintah RI. Hasil penyelidikan tim intelijen World Bank terhadap konflik Aceh, ada kepentingan perebutan gas Lhokseumawe.

Hasan Di Tiro, cucu Teuku Cik Di Tiro menggalang organisasi GAM untuk tujuan menggagalkan proyek LNG Lhokseumawe. Sebelum mendirikan GAM, Hasan Di Tiro hidup di New York dan bekerja untuk PBB. Pada tahun 1953, ia bergabung bersama Daud Beureueh untuk menggalang pemberontakan Aceh. Setelah digagalkan Sukarno, Daud Beureueh dan Darul Islam Aceh kandas dan kelompok ini kabur ke luar negeri.

Pada tahun 1976, Hasan Di Tiro kembali ke Aceh dan mendirikan GAM dengan kemasan mengembalikan perjuangan Darul Islam Aceh. Rupanya, motif itu hanya akal-akalan Hasan Di Tiro, karena sejatinya ada misi perebutan gas Lhokseumawe di balik berdirinya GAM.

Pada tahun 1971, Mobil Oil milik Rockefeller Group menemukan cadangan gas raksasa di Aceh. Cadangan gas temuan Mobil Oil di Aceh bernilai Rp 20 – 30 triliun (nilai saat itu). Mobil Oil pun menggandeng Pertamina dan Jilco (konsorsium migas Jepang) untuk mengelola gas Lhokseumawe.

Hasan Di Tiro melihat gas Lhokseumawe sebagai peluang untuk direbut dengan kemasan perjuangan Aceh Merdeka. Lalu didirikanlah GAM pada 1976 dan penyerangan perdananya dengan sasaran pengolahan gas milik Mobil Oil. Bersamaan dengan itu, Hasan DI Tiro bersama relasi migasnya mengajukan penawaran pengelolaan pipa gas Aceh ke pemerintah RI. Sayangnya, tender pipa gas Aceh dimenangkan oleh Bechtel, perusahaan pipa gas asal AS.

Dampak dari gagalnya pemenangan tender pipa gas yang disertai ‘pemberontakan’ ini, membuat GAM kehilangan sumber dana. Pada 1979 pun tidak terlihat lagi adanya pergerakan GAM di Aceh.

Hasan Di Tiro kembali menggalang GAM pada 1989 ketika mendapatkan sokongan dari Libya (Khadafi). Khadafi ketika itu ingin merebut gas Lhokseumawe karena dua alasan. Pertama menguasai pasar gas Asia Tenggara. Kedua, Khadafi ingin merebut pasar gas Eropa dari Rusia. Seperti diketahui, pasokan gas Eropa dibeli dari Rusia (menguasai 70% pangsa pasar). Tren kejatuhan komunisme tahun 1980an dilihat Khadafi sebagai peluang merebut pasar gas Eropa dari Rusia. Tahun 1980, Rusia sedang dalam fase Glasnost dan Perestroika, reformasi komunisme Rusia.

Alasan itu yang mendorong Khadafi menyokong GAM garapan Hasan Di Tiro, untuk merebut cadangan gas raksasa Lhokseumawe.

Berhubung Indonesia saat itu sedang membangun pencitraan internasional, aksi GAM 1989 – 1991 dinilai pemerintahan Suharto sebagai bahaya besar, sehingga penanganannya diberlakukan DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh. GAM pun susut lagi.

Tak berhenti sampai situ, pada 1999 – 2002, GAM bangkit lagi dengan sokongan dari Norwegia melalui Swedia dan Finlandia. Bedanya, Norwegia tidak mengincar cadangan gas Lhokseumawe dengan mendanai GAM. Norwegia mengincar cadangan gas Natuna Alpha-D, Swedia dan Finlandia mengincar investasi energi bio massa ke Indonesia. Sokongan ketiga negara ini ke GAM hanyalah sebagai bargaining positition untuk perebutan proyek dan investasi raksasa di Indonesia.

Itulah kenapa setelah GAM dipatahkan pada 2002, konflik Aceh masih terus berlangsung hingga harus ‘didamaikan’ pada 2005. Karena motifnya sudah beda, bukan memerdekakan Aceh untuk sumber daya aceh, melainkan memerdekakan Aceh jika tidak diberi proyek raksasa di Indonesia.

Norwegia bergerak sebagai sumber pendana utama. Swedia berperan sebagai pemberi suaka pada Hasan Di Tiro, sedangkan Finlandia sebagai juru lobi ke Indonesia.

Melihat fakta bahwa GAM digerakkan oleh kepentingan perebutan sumber daya, lalu apa peran Jusuf Kalla di ‘Perdamaian’ Aceh?

Tentu saja, Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden ketika itu, bertugas menengahi alias mengurus barter proyek raksasa. Perdamaian Aceh, bagi saya bukanlah sebuah perdamaian dalam arti Islah. Perdamaian Aceh tak lain adalah transaksi dagang dan politik tingkat tinggi diperantarai Jusuf Kalla.

Baru lewat 5 tahun sejak ‘Perdamaian Aceh’, sekitar 2011 mulai ramai berita Finlandia dan Swedia akan investasi besar-besaran ke Indonesia. Finlandia dan Swedia

Masih ingat ketika Jusuf Kalla teriak tolak AS kelola Natuna Alpha-D?

Blok Natuna Alpha-D adalah cadangan gas raksasa, mencapai 150 triliun kaki kubik gas. Kendala utamanya adalah, blok Natuna Alpha-D mengandung gas karbon yang sangat besar. Salah mengeksplorasi, dampaknya adalah melepas gas karbon besar-besaran ke atmosfer dan mendorong peningkatan Efek Rumah Kaca.

ExxonMobil (merger Exxon Oil dan Mobil Oil milik Rockefeller) semula akan mengelola Natuna Alpha-D. Sayangnya, teknologi ExxonMobil tak mampu memisahkan gas karbon dari blok Natuna Alpha-D.

Bersamaan dengan fakta itu, Jusuf Kalla mengumandangkan tolak AS kelola Natuna Alpha-D. Ketika ExxonMobil akhirnya didepak dari Natuna Alpha-D, masuk lah StatOil dari Norwegia dan diterima oleh pemerintah RI.

Siapakah StatOil? Adalah perusahaan migas raksasa milik Rothschild Norway Group di Norwegia yang mengelola banyak migas di negara-negara Skandinavia.

Tak hanya itu, pemerintah Norway pun berkomitmen akan investasi migas besar-besaran ke Indonesia. Sebagai uang muka, Norwegia mengucurkan dana EUR 1 miliar kepada REDD+ untuk melawan deforestasi. Siapakah salah satu penggagas REDD+? Adalah Kuntoro Mangkusubroto yang mulai menjalin relasi dengan Jusuf Kalla di Aceh. Ketika tahun 2004, Kuntoro Mangkusubroto menjabat sebagai Ketua Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh.

Penjabaran di atas adalah apa yang terjadi sesungguhnya dari ‘Perdamaian Aceh’, bukan soal manusia tapi tentang migas.

*diolah dari berbagai sumber

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com