Kongres Ulama Perempuan di Cirebon Dihadiri oleh 15 Negara

Bagikan artikel ini

Para ulama perempuan di Indonesia dan dunia menghadiri Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang digelar selama beberapa hari ke depan di Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon.

Seperti dilansir detik.com, tak kurang dari 1.200 peserta se-Nusantara dan 15 negara dunia berkumpul untuk merumuskan dan meneguhkan kembali peran ulama perempuan dalam syiar Islam yang selama ini didominasi oleh kaum adam.

Ketua KUPI Hj Badriyah Fayyaumi mengungkapkan, ada tiga tujuan utama digelarnya acara yang baru pertama kali di Indonesia bahkan dunia itu. Pertama adalah mengakui dan mengukuhkan keberadaan dan peran ulama perempuan dalam sejarah Islam dan Indonesia.

“Kedua adalah membuka ruang ulama perempuan tanah air dan dunia untuk berbagi pengalaman tentang kerja pemberdayaan perempuan dan keadilan sosial dalam rangka membumikan nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusia,” jelas Badriyah saat ditemui di acara prekongres KUPI di Kampus Pascasarjana IAIN Gunun Jati, Kota Cirebon, Selasa (25/4/2017).

Tujuan terakhir, adalah membangun pengetahuan mengenai ulama perempuan dan kontribusinya bagi kemajuan dan peradaban umat manusia. “Sekaligus merumuskan fatwa dan pandangan keagamaan ulama perempuan Indonesia tentang isu-isu kontemporer dalam perspektif Islam rahmatan lil alamin,” ucapnya.

Selain tiga poin utama itu, KUPI juga akan mengeluarkan sebuah rekomendasi dalam menjawab permasalahan kekerasan seksual, pernikahan anak, perusakan alam, ketimpangan sosial, migrasi, hingga radikalisme.

Selama ini, kata Badriyah, peran ulama perempuan seolah tenggelam dan terpinggirkan. Padahal selama ini banyak kaum akademisi dan intelektual perempuan yang berkontribusi cukup besar untuk Islam dan negaranya.

Badriyah mengungkapkan, ulama sendiri dalam Al Quran dan Hadist merupakan bentuk jamak dari kata ‘alim’ bermakna orang yang tahu atau sangat berilmu. Sehingga tidak menunjukkan batasan disiplin ilmu tertentu atau gender.

Sementara itu ulama perempuan asal Malaysia, Zaenah Anwar, memiliki pandangan tersendiri. Menurutnya peran ulama perempuan di tengah hubungan antar sesama muslim dan negara adalah ingin membangun dan berbagi pengalaman yang baik dalam menginterpretasi ayat-ayat Al Qurandan menyelaraskannya dengan semangat kesetaraan.

“Kami ingin membangun kepercayaan perempuan bahwa dalam Islam tidak ada diskriminasi, justru menjunjung tinggi peran perempuan,” katanya.

Zaenal menilai sejau ini tantangan kesetaraan perempuan sangat besar. Namun Indonesia dinilainya sudah cukup baik dalam soal kesetaraan. “Hanya saja Indonesia kurang menjual (kesetaraan) tersebut ke publik,” tuturnya.

Hatoonn Al-Fasi, seorang ulama perempuan dari Arab Saudi, berpandangan jika di negaranya peran perempuan terlalu dimonopoli yang akhirnya menyudutkan. Sehingga dia sangat beruntung, Arab Saudi memberikan keistimewaan kepadanya dengan memberikan keleluasaan sebagai perempuan yang bisa berbicara mengenai keislaman.

“Ketika kita bicara tentang perempuan Arab Saudi hal yang menjadi lebih kompleks kerena harus memikul beban tradisi negar aIslam yang menjadikannya sangat kaku dalam semua tantangan. Sementara, perempuan Arab Saudi selama ini menjadi contoh bagi semua dunia Islam,” ujarnya.

Untuk itu dia mendorong agar ulama perempuan memiliki tanggung jwab untuk menyebarkan Islam moderat yang menyampaikan pesan kesetaraan dan kemanusiaan. “Menjadi seorang Alimat (ulama perempuan) di Arab Saudi bukanlah tugas mudah. Walau ada ribuan perempuan lulusan pendidikan Islam dan penghafal Al Quran tetapi kita tidak punya Alimat yang diakui sebagai imam yang bisa melakukan ijtihad dan diakui,” pungkas Al-Fasi.

Selain dihadiri oleh para ulama perempuan Indonesia dan dunia, turut hadir pula dalam acara tersebut perwakilan Kementerian Agama, Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Duta Besar Afganistan, Roya Rahmina.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com