Pilkada Rasa Devide et Impera

Bagikan artikel ini

Maulida Fadhila, peminat kajian geopolitik, domisili di Malang

Gelaran pemilihan kepala daerah kembali dihelat pada tahun 2017 ini.  Sebagai bangsa, kita patut bangga karena kepedulian masyarakat terhadap calon kepala daerah meningkat dibandingkan pilkada-pilkada sebelumnya. Tetapi sebagian dari kita (termasuk penulis) merasakan ada suasana yang tidak sehat dari “kepedulian” yang ditunjukkan oleh publik khususnya pada Pilkada DKI Jakarta 2017.

Konflik antar pendukung pasangan calon gubernur dan wakil gubernur terasa sangat kuat. Berbagai isu (seperti isu SARA) dilontarkan demi mengantarkan cagub idaman menduduki kursi DKI 1. Ancaman pun datang kepada pihak yang tak mendukung cagub-cawagub tertentu. Orang-orang yang berada dalam satu mazhab agama, organisasi massa, bahkan lingkungan pertemanan pun bersitegang karena tidak satu suara.
Bukan hanya di kalangan pendukung pasangan cagub-cawagub saja, iklim tidak sehat dalam Pilkada DKI 2017 juga sepertinya diderita oleh media massa. Pemberitaan pada media elektronik, media cetak maupun media online memberikan porsi yang lebih besar kepada Pilkada DKI 2017. Sementara Pilkada pada daerah-daerah lainnya kurang mendapatkan tempat. Media massa menempatkan Pilkada DKI sebagai satu-satunya pemilihan kepala daerah yang terus diberitakan. Sebagian besar media massa juga menayangkan pemberitaan yang terlalu tendensius terhadap paslon tertentu.
Baik pihak pendukung maupun media massa sendiri mungkin tidak sadar sedang menderita “sakit” parah karena hajatan yang kerap dijuluki Pesta Demokrasi tersebut. Seharusnya, ini menjadi momen refleksi kita bersama sebagai sebuah bangsa. Apakah ada yang salah dengan sistem demokrasi yang kita anut atau ini disebabkan karena kita yang belum cukup mampu memaknai demokrasi serta menjalankannya dengan baik?
Demokrasi  berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “kekuasan rakyat”. Kata “Demokrasi” digunakan untuk menyebut sistem politik di negara kota Yunani pada masa itu. Jika merujuk pada definisi Samuel Hutington, Demokrasi adalah sistem dimana para pembuat keputusan paling kuat dipilih lewat pemilu yang adil, jujur, dan berkala. Gagasan dasar dalam pemerintahan yang menganut sistem demokrasi adalah mengakui hakikat manusia. Bahwa semua manusia memiliki kemampuan yang sama dalam hubungan sosial. Dalam demokrasi, martabat manusia lebih diakui dan dihargai. (1)
Tetapi hari-hari ini, demokrasi kita sepertinya tidak memenuhi tujuannya yang mulia. Pemilihan umum (dalam hal ini Pemilihan Kepala Daerah) yang ditujukan sebagai tangga mencapai demokrasi malah merobek tenun kebangsaan. Bangsa yang terdiri dari beragam suku, agama, etnis, ras malah memperuncing konflik identitas karena perbedaan pilihan politik.
Kita seakan alpa jika para pahlawan mengorbankan darah dan pemikirannya agar bangsa ini bersatu. Para founding father kita berasal dari beragam ideologi yaitu nasionalisme, sosialisme, liberalisme dan juga beragam latar belakang lainnya. Namun mereka tidak mempermasalahkan hal ini. Bagi mereka persatuan bangsa ini lebih penting daripada kepentingan pribadi/golongan. Lantas mengapa kita kini membalikan situasi?
Momen Pilkada 2017 ini bukan lagi hajatan demokrasi yang dinanti tapi malah ditakuti. Justru pilkada kini lebih cocok disebut sebagai Devide Et Impera, politik pecah belah  era kolonial dulu. Bentuknya saja berbeda, substansinya sama.
Strategi devide et impera mengekslploitasi perbedaan dalam identitas kelompok. Strategi ini berjalan sangat halus karena pelaku mengetahui benar persamaan dan perbedaan yang dimiliki oleh suatu kelompok yang akan dikuasai. Dari sini, mereka (pelaku politik devide et impera) menciptakan celah pertentangan yang amat besar. Politik devide et impera dapat dikenali dengan adanya gejala rasisme, fanatisme religius, serta regionalisme(2). Tidakkah ini ditemukan dalam Pilkada DKI 2017?
Jika dahulu Devide et Impera dilakukan demi menguasai sumber daya alam, maka untuk apa devide et impera terselubung dalam Pilkada DKI kali ini? Jawabannya juga sama, demi memenuhi kepentingan negara-negara kolonialis akan sumber daya alam. Hanya saja mereka kini tidak lagi menggunakan martir, senapan, atau bom atom tapi memanfaatkan konflik horizontal antar bangsa Indonesia sendiri. Tujuannya mengalihkan perhatian Bangsa Indonesia pada konflik tersebut sementara negara-negara kolonialis mencuri kekayaan alam milik kita.
Agar kita tidak mudah dipecah belah dengan Devide et Impera dan tidak kecolongan lagi, maka ada 3 hal yang wajib dipahami oleh bangsa ini.
Pertama, pahami dengan baik bahwa Indonesia tertimpa takdir geopolitik yang menggoda negara-negara kolonialis untuk menjajahnya.
Dilihat dari letak geografisnya, Indonesia merupakan jembatan antara dua benua besar yaitu Asia dan Australia. Sedangkan jika ditilik dari segi Geo ekonomi, kandungan sumber daya alam Indonesia sangat beragam seperti minyak, tembaga, nikel, bijih besi dan kekayaan alam lainnya. Hasil dari sektor pertanian Indonesia juga melimpah ruah mulai rempah-rempah sampai kopi. Belum lagi lautan-lautan yang mengelilingi Indonesia penuh dengan kekayaan maritim. Pelabuhan alamiah yang terbentuk menciptakan suasana pelayaran dan perdagangan yang cukup kondusif. (3) 
Sayangnya, para pemegang kebijakan di negara ini dan mayoritas rakyatnya abai dengan takdir geopolitik ini. Akibatnya, kita menjadi bangsa yang tidak menyadari bahwa kita memiliki begitu banyak kekayaan yang menjadi incaran negara-negara adikuasa hingga detik ini. Kita larut dalam isu-isu yang diciptakan sampai lupa kalau para penjajah dengan gaya baru menancapkan kukunya di bumi pertiwi.
Kedua, pahami pola perang asimetris.
Perang asimetris dilancarkan dengan kekuatan yang tidak berimbang. Negara-negara imperialis menggunakan pola perang asimetris untuk menguasai sumber daya alam dari negara target.
Berikut pola-pola perang asimetris (3):
1.Isu
2.Tema
3.Skema
Ketiganya dijalankan oleh pihak-pihak yang memilki pengaruh seperti LSM, personal, media massa, media online bahkan sampai di tingkat pejabat sendiri. Maka dalam setiap konflik, wajib dibaca isu apa yang hendak dimainkan, tema apa yang ingin diangkat dari isu tersebut dan skema apa yang diharapkan dari melempar isu dan menjalankan skema. Dengan demikian, kita tidak lagi diperdaya oleh berita-berita kontroversial yang ditebar media-media arus utama.
Ketiga, pahami sifat politik praktis.
Kita tentu akrab dengan adagium “Dalam politik, tidak ada musuh i atau kawan sejati yang ada hanya kepentingan yang abadi.” Maka hindari sikap fanatis dalam berpolitik apalagi sampai turut andil dalam menyumbang wacana atau komentar yang menghadirkan konflik dalam suatu golongan. Pada akhirnya, tidak menuntup kemungkinan figur dan partai politik yang kita bela mati-matian sampai mengorbankan tali silaturahmi justru akan mengecewakan kita kemudian hari. Yang hari ini bermusuhan, besok berpelukan. Yang hari ini saling mesra, besok bisa angkat senjata. Tidak ada yang ajeg dalam politik praktis kita. Maka tetaplah memilih dengan menjadi pemilih yang cerdas.
Salam persatuan
Sumber rujukan: 
  1. https://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi diakses pada tanggal 18 April 2017 pukul 19.00 WIB. 
  2. http://www.berdikarionline.com/memahami-operasi-strategi-devide-et-impera/ diakses pada tanggal 18 April 2017 pukul 19.10 WIB. 
  3. Pranoto, M. Arif  dan Hendrajit. 2016. Perang Asimetris & Skema Penjajahan Gaya Baru. Global Future Institute: Jakarta. 
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com