Sri Hartati Samhadi-Kompas
Di atas permukaan, hubungan antaragama-agama yang disebut sebagai agama tradisional di Rusia memang berlangsung cukup harmonis. Antara agama satu dan yang lain, bisa hidup berdampingan secara rukun dan saling menghormati (peaceful coexistence).
Dalam dialog antaragama yang diprakarsai Departemen Luar Negeri RI dan Kedutaan Besar RI di Moskwa di Wisma Duta KBRI yang dihadiri perwakilan dari semua agama di Rusia dan dari paparan pihak Dewan Mufti (semacam majelis ulama di sini) dan pimpinan gereja ortodoks Rusia, juga tertangkap keinginan kuat dari masing-masing pihak untuk bisa hidup berdampingan dan saling menghormati kebebasan beragama.
Seperti dikatakan Grand Mufti Ravil Gainutdin, masyarakat Rusia yang pluralis dan multietnis disatukan dalam satu negara Rusia dan mereka memiliki pengalaman panjang dalam mengatasi masalah-masalah bersama, yang juga membutuhkan dukungan kelompok-kelompok minoritas.
”Dalam sejarah Rusia belum pernah ada konflik yang berlangsung lama. Dari dulu sudah seperti ini, tak ada konflik agama dan kami berusaha menjaga keseimbangan,” ujarnya ketika menerima delegasi Indonesia di kantornya di Moskwa, yang kinclong bak istana dan tengah dalam proses finishing pembangunan.
Dukungan dari pemerintah bagi agama-agama yang ada pun sangat kuat, terutama untuk mendirikan masjid dan tempat beribadah. Grand Mufti yang jadi imam dari 20 juta lebih Muslim di Rusia—dua juta di antaranya di Moskwa—mengungkapkan, di Moskwa sendiri, pihaknya mendapat wakaf tiga bidang tanah untuk pembangunan tempat ibadah dan kegiatan keagamaan.
Salah satunya, lahan seluas 2,5 hektar yang di atasnya kini dibangun kantor dan masjid dengan dukungan dana dari pengusaha minyak kaya, Sulaiman Kerimov. Selain itu, pemerintah juga memfasilitasi kegiatan pengiriman calon jemaah haji, terutama urusan pabean, transportasi, dan asuransi. Dukungan serupa juga dinikmati agama-agama tradisional lainnya.
Tetapi, dalam kehidupan sehari-hari, kehidupan beragama mungkin tidak seindah itu. Setidaknya demikian yang dirasakan penganut agama Kristen non-ortodoks yang mengalami diskriminasi dari kelompok ortodoks. Demikian pula bagi kelompok Muslim yang oleh pemerintah sering dicap sebagai kelompok ekstremis, terutama di daerah selatan.
Laporan lembaga aktivis keagamaan dan HAM beberapa tahun terakhir mengungkapkan banyaknya kasus kekerasan dengan target kelompok Muslim yang dianggap ikut terlibat dalam gerakan separatis dan serangan terorisme di berbagai wilayah Rusia.
Mungkin ini yang ditangkap oleh Komisi AS untuk Kebebasan Beragama Internasional, yang dalam laporan Mei 2009 kemarin kembali menempatkan Rusia dalam daftar negara yang tak menghargai kebebasan beragama (watch list). Berdasarkan data resmi terakhir, 71,8 persen dari sekitar 142 juta penduduk Rusia adalah penganut Kristen Ortodoks; 5,5 persen Islam; 1,8 persen Katolik; 0,7 persen Protestan; 0,6 persen Buddha; 0,3 persen Yahudi; 0,9 persen lain- lain/sekte; dan 18,9 persen tak beragama.
Undang-undang dan konstitusi tentang keagamaan Federasi Rusia sendiri, menurut seorang pengamat agama di Moskwa yang tak mau disebut namanya, hanya mengakui empat agama tradisional, yaitu Kristen Ortodoks, Islam, Buddha, dan Yahudi.
”Untuk Kristen, UU dan konstitusi hanya mengakui ortodoks. Ini yang menjadi persoalan karena seperti kita tahu, Kristen sendiri ada dua. Paling tidak dalam sejarah kita kenal dua agama besar, yakni Kristen Timur atau yang dikenal dengan Kristen Ortodoks dan Kristen Barat yang awalnya dipimpin oleh Vatikan,” ujar narasumber tersebut.
Setelah kejatuhan Konstantinopel jadi wilayah domain Islam di Turki (sekarang Istambul), gereja ortodoks Rusia merasa terpanggil menjadi pemimpin gereja-gereja ortodoks di seluruh dunia dan menganggap Rusia sebagai domainnya.
Sebagai agama dominan, Kristen Ortodoks sangat diuntungkan dan memiliki pengaruh kuat di masyarakat dan pemerintahan. Keterlibatan berlebihan gereja pada urusan politik dan militer banyak dikritik berbagai pihak.
Namun, keterkaitan erat gereja ortodoks dengan negara sendiri sebenarnya memiliki sejarah panjang, bukan hanya di Rusia, tetapi juga di dunia. Pada era Kekaisaran Byzantine, Kristen Ortodoks atau lebih dikenal sebagai Kristen Ortodoks Timur adalah agama resmi negara, sementara agama lain dilarang atau nyaris tak diberi ruang untuk berkembang.
Tradisi ini juga berlangsung turun-temurun dalam sejarah Rusia dan baru pada 1905 diskriminasi terhadap agama lain dihapuskan.
Sejak runtuhnya Uni Soviet, gereja ortodoks Rusia, menurut Thomas Bremer dari Eastern Churches Studies and Ecumenical Theology, Fakultas Theologi Katholik University of Munster, menghadapi situasi baru yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya.
Setelah mengalami penindasan selama lebih dari empat dekade, kehidupan agama kembali berkembang pesat (flourished) pada era pascaperestroika. Antara agama satu dan lain saling berlomba mengembangkan ajaran dan kegiatan keagamaannya.
Tak terkecuali Kristen Ortodoks. Pada era komunis yang ateis, banyak gereja dihancurkan, ditutup atau diubah fungsi menjadi gudang pangan atau persenjataan. Setelah Uni Soviet ambruk, gereja itu dipulihkan atau dibangun kembali.
Tak sampai dua dekade setelah runtuhnya Soviet, jumlah gereja bertambah empat kali lipat dan jumlah keuskupan meningkat dua kali lipat. Jumlah kongregasi (persekutuan umat) meningkat pesat dari 6.742 tahun 1986 menjadi 27.942 pada akhir 2007 dan jumlah biara bertambah dari 32 menjadi lebih dari 700. Mereka juga merekrut puluhan ribuan pendeta baru dan sekitar 15.000 anak muda belajar teologi.
Di Moskwa, kota yang mendapat julukan kota sejuta gereja, hampir pada setiap jarak 10 meter ada satu gereja karena pada era Tsar dan setelahnya gereja menjadi penanda untuk setiap kemenangan dalam peperangan. Hal serupa juga dialami agama lain, termasuk Islam yang pada era komunis puluhan ribu masjid dihancurkan dan tinggal tersisa sekitar 30 masjid di seluruh Rusia.
Saling menguntungkan
Pada saat yang sama, gereja Kristen ortodoks juga berusaha membangun posisi kuat dalam struktur baru masyarakat Rusia pascaperestroika. Gereja ortodoks Rusia, menurut Bremer, menempatkan dirinya sebagai pengawal kepentingan publik. Posisi ini tak lantas menempatkannya sebagai oposisi pemerintah karena para pemimpin gereja meyakini pemimpin, seperti Vladimir Putin dan Dmitry Medvedev, sebagai penggantinya, juga loyal pada kepentingan ini
Sebaliknya, negara memanfaatkan gereja sebagai jaminan perekat masyarakat karena kendati dikenal bukan sebagai masyarakat religius, sebagian besar masyarakat masih percaya kepada gereja dan menganggap gereja sebagai saluran efektif komunikasi nilai-nilai moral dan kekuatan penyatu kebersamaan intrinsik bagi bangsa Rusia.
Di sini terjadi hubungan saling menguntungkan antara gereja ortodoks dan negara. Bagai para politisi sendiri, kedekatan dengan gereja dibutuhkan untuk kepentingan pencitraan moral (moral force) dan menggaet simpati publik laiknya motif para politisi di sini yang merasa perlu sowan untuk mendapatkan restu dari para ulama.
Namun, sebagaimana halnya pada agama lain, di kalangan pengurus gereja ortodoks sendiri, ada unsur garis keras atau radikal dan ada yang cenderung liberal. Dari kelompok radikal inilah terutama muncul keinginan kuat untuk mengembalikan status Kristen Ortodoks ke kejayaan masa lalu sebagai agama resmi negara dan mengembalikan negara pada dasar-dasar ajaran ortodoks.
Bagi sebagian besar pengikutnya, terutama garis keras, Kristen Ortodoks bukan sekadar agama, tetapi juga identitas bangsa. Mereka meyakini munculnya agama baru, terutama Kristen di luar ortodoks, sebagai bentuk ekspansi agama lain dan konspirasi negara-negara Barat yang menggunakan agama- agama tersebut untuk menghancurkan dan merongrong Rusia serta melemahkan posisi gereja ortodoks Rusia.
UU tentang Keagamaan tahun 1997 yang menggantikan UU tahun 1990 yang lebih liberal jelas-jelas dimaksudkan melindungi posisi agama-agama tradisional ini.
Dalam UU ini, agama di luar empat agama tradisional tidak dilarang, tetapi juga tak dibiarkan berkembang karena dianggap sebagai bentuk ekspansi pengaruh dan infiltrasi Barat atas Rusia. Hal ini yang menyebabkan mengapa agama Kristen Non-ortodoks, Katolik, atau Protestan relatif tak berkembang pascaperestroika.
Selain karena menganggap Rusia sebagai domain Kristen Ortodoks, sikap defensif dan agresif gereja ortodoks terhadap agama Kristen Non-ortodoks ini, menurut pengamat agama yang tak mau disebut namanya, juga dilatari pengalaman sejarah.
”Ada semacam luka sejarah yang terjadi dalam tubuh gereja ortodoks terkait gereja ortodoks Ukraina yang setelah Glasnot dan Perestroika berubah menjadi gereja katolik Ukraina. Insiden ini sangat sulit diterima oleh gereja ortodoks sehingga para patriach Moskwa sampai dengan saat ini belum bersedia bertemu dengan Paus dari Roma,” ujarnya.
Sikap berbeda ditunjukkan pada agama-agama tradisional lain yang sudah eksis ratusan tahun di Rusia, termasuk Islam. Gereja Ortodoks menerima baik keberadaan Islam, Buddha, dan Yahudi yang sudah berakar kuat dalam kehidupan beragama di Rusia. Keberadaan agama-agama itu sendiri bagian dari konsekuensi wilayah Rusia yang sangat luas dan berbatasan dengan banyak negara sehingga sulit dilepaskan dari pengaruh kuat dari luar, seperti Turki atau Irak untuk Islam dan China untuk Buddha.
Gainutdin mengatakan, sejarah Islam bukan baru dimulai sejak reformasi. Di Moskwa sendiri, masjid sudah ada sejak tahun 1816. Perkembangan Islam di Rusia sendiri sangat beragam karena selain kelompok Sunni, kelompok Syiah juga berkembang di wilayah-wilayah yang berdekatan dengan Irak.
Soal adanya diskriminasi dan represi pemerintahan federal dan lokal terhadap kelompok-kelompok Muslim tertentu, pengamat tersebut mengatakan, memang ada beberapa kantong wilayah di Rusia yang punya potensi radikalisme, seperti Chechnya dan Dagestan.
”Tetapi, kalau kita lihat, masalah wilayah-wilayah itu lebih banyak bukan pada ajaran agama, tetapi lebih pada keinginan untuk memerdekakan diri. Jadi, mungkin mereka menggunakan itu untuk menarik dukungan publik,” ujarnya.