Krisis Global Tiga Dimensi

Bagikan artikel ini
Telaah Kecil Geopolitik
Dinamika geopolitik (global) di abad ke-21 ini cukup unik. Kenapa? Sebab, hal-hal yang muncul di permukaan, kerap bukanlah yang berlangsung. Ini mirip kredo intelijen: “Apa yang terlihat, bukanlah yang terjadi”. Itu poin intinya. Ada sesuatu (tersirat) di balik yang tersurat.
Secara manajemen, faktor VUCA memang sangat kental menyelimuti abad ini. Selain kondisinya bergejolak (volatility), ada kompleksitas persoalan (complexity), ketidakpastian situasi (uncertainty), juga faktor ambiguitas (ambiguity) alias keragu-raguan. Ya, di era VUCA, kepercayaan diri para pemimpin negara tengah diuji oleh situasi yang berlangsung.
Dulu. Di awal abad ke-21, publik global dipertontonkan dua isu aktual, antara lain:
1. Geopolitical shift atau pergeseran geopolitik dari Atlantik ke Asia Pasifik. Yang bergeser adalah epicentrum geopolitik. Ia berpindah ke Asia Pasifik cq Laut Cina Selatan; dan
2. Ada perubahan power concept dari penggunaan militer di depan, kini power ekonomi yang di depan.
Apakah yang terjadi usai kedua isu global tadi tersebar di publik?
Bahwa tema alias agenda yang terbit di permukaan ada yang linier dengan isu, namun tak sedikit hal kurang berbanding lurus dengan isu-isu sebelumnya, contohnya, trade war dan pandemi Covid-19. Dua peristiwa tersebut agak pararel dengan isu ke-2 (perubahan power concept). Akan tetapi, tatkala membahas konflik di Myanmar, misalnya, atau perang Israel versus Palestina, kerusuhan sosial politik di Srilangka, Pakistan dan seterusnya, terutama konflik di Ukraina yang berpola proxy war. Bahwa hal-hal di atas tidak pararel dengan kedua isu global tadi, terutama isu pertama —geopolitical shift— baik lokasi maupun modus dan metode.
Isu geopolitical shift tidak pararel dengan agenda: “perang terbuka antara Cina versus AS”. Atau, jangan-jangan perang militer antara Cina versus AS justru terjadi di pertengahan abad, atau di penghujung abad ke-21?
Entahlah.
Akibat ketidakpararelan isu dan agenda di atas, dampak pun lepas dari prakiraan dan antisipasi. Out of control. Dunia kini justru mengalami ‘tiga krisis’ secara simultan di hampir setiap negara tapi dengan intensitas berbeda, antara lain meliputi krisis pangan, energi dan keuangan. Itulah yang disebut krisis tiga dimensi.
Nah, dibentuknya Global Crisis Respon Group (GCRG) tak lain adalah guna mengantisipasi tiga krisis tadi agar tidak melebar serta meluas. Kepemimpinan GCRG terdiri atas Indonesia, Jerman, Senegal dan lain-lain dengan ketua Antonio Gutteres, Sekjen PBB.
Solusi menarik ditawarkan oleh PBB sebagaimana disampaikan Gutteres pada konferensi pers di Markas PBB, New York, 13 April 2022. Ada tiga poin mendasar yang ditawarkan, antara lain:
Pertama, kita tidak boleh memperburuk keadaan. Pastikan aliran makanan dan energi yang stabil melalui pasar terbuka. Mencabut semua pembatasan ekspor, mengarahkan surplus dan cadangan kepada yang membutuhkan, dan menjaga harga makanan serta menenangkan volatilitas di pasar makanan.
Kedua, memaksimalkan momen ini untuk mendorong perubahan transformasional. Mengubah krisis ini menjadi peluang, dengan mempercepat transisi energi yang adil.
Ketiga, perlunya menarik negara-negara berkembang kembali dari jurang keuangan. Mereformasi sistem keuangan global, membantu negara-negara berkembang untuk jaring pengaman sosial, dan terus melakukan investasi dalam pembangunan berkelanjutan.
Bagaimana peran Indonesia sebagai salah satu pemimpin dalam forum GCRG?
(Bersambung ke-2)
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com