Krisis Kepemimpinan: Di Antara Swing Voters, Golput, dan Dejavu Dalam Kontestasi 2024 (1)

Bagikan artikel ini
“Filosofi Kepemimpinan Ki Hajar Dewantara: Ing Ngarso Sung Tulodo (di depan memberi teladan); Ing Madyo Mbangun Karso (di tengah memberi semangat); Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan moral/semangat)”
Beberapa pendapat menyatakan bahwa pemilihan umum/pemilu kali ini (2024), bakal banjir swing voters, golongan putih (golput) dan undecided voters. Tak pelak, ketiganya merupakan ceruk yang akan diperebutkan oleh siapapun pasangan calon —di level manapun— karena jumlahnya signifikan.
Swing voter itu kelompok pemilih yang pada pemilu sebelumnya mendukung partai politik (parpol) A, atau memilih kandidat B, tetapi di pemilu berikutnya ia beralih ke parpol X dan kandidat Y. Kalau undecided voters adalah kelompok orang yang belum menentukan pilihan hingga di bilik TPS. Sedangkan golput merupakan bentuk perlawanan sekelompok warga terhadap praktik penyelenggaraan negara karena kecewa terhadap jalannya kekuasaan. Perlawanan mereka diekspresikan lewat cara tidak memilih —golput— baik parpol, legislator, maupun tidak mendukung sama sekali, entah cabub/wako, cagub, atau capres/cawapres.
Ada beberapa alasan kenapa segolongan orang memilih golput, atau menjadi swing voters dan undecided voters. Alasan umum ialah, selain belum ada pilihan, atau sudah punya pilihan namun ragu-ragu/penuh pertimbangan, dulu pernah dikecewakan, juga kerap karena faktor teknis administratif lain.
Jumlah mereka —terutama swing voters— menurut Ketua Umum Perkumpulan Swing Voters (PSV), Adhie Massardi, antara 30 – 40% di setiap pemilu. Lumayan banyak; sedang undecided voters, menurut Lingkar Survei Indonesia (LSI) sekitar 16,2% serta terus mengecil bilangannya jelang coblosan; dan jumlah golput hampir sama dengan swing voters berkisar 30 hingga 40%. Sekali lagi, terbilang signifikan kalau digabungkan.
Pada catatan ini, ceruk undecided voters abaikan dulu, karena jumlah kian mengecil jelang Hari H coblosan. Tidak signifikan. Kita diskusikan dua hal besar, yakni swing voters dan golput.
Menurut hemat penulis, besarnya ceruk swing voters dan golput di setiap pemilu, selain diakibatkan oleh hal-hal yang diurai sepintas tadi, juga akibat perilaku buruk politikus seperti korupsi, misalnya, atau tersumbatnya saluran aspirasi, wakil rakyat terkesan cuma perpanjangan oligarki, sekadar ‘stempel’ kekuasaan, dan lain-lain. Ini terlihat dari beberapa RUU yang ditolak publik, tetapi justru lolos di parlemen. Geblek. Akan tetapi, selain daripada itu, faktor utama merebaknya golput dan swing voters, menurut penulis, sebenarnya akibat (krisis) kepemimpinan.
Kenapa kepemimpinan justru sebagai faktor utama melebarnya kedua ceruk di atas?
Memang belum ada penelitian spesifik tentang itu. Ilustrasi tadi cuma asumsi penulis berbasis filosofi kepemimpinan Ki Hajar Dewantara. Selanjutnya, untuk menguak lanjut, mari kita breakdown asumsi dimaksud.
Ya, apabila di masa Orde Lama (Orla), sosok pemimpin itu dilahirkan oleh (gejolak) situasi dan kondisi negara usai pergolakan merebut kemerdekaan, maka di era Bung Karno sering membidani sosok pimpinan yang pilih tanding, ‘dugdeng’ di depan pasukan, serta mumpuni;
Konsepsi kepemimpinan Orde Baru (Orba) lain lagi, yakni melalui penyaringan serta monitor super ketat oleh fungsi intelijen, sehingga siapapun sosok yang muncul berasal dari sumber kredibel, selektif, memiliki integritas, serta profesional pada bidangnya;
Namun, di era reformasi kini konsep kepemimpinan justru ‘antitesis’ daripada kedua orde (Orla dan Orba). Poin intinya, entah ujug-ujug, entah faktor dinasti politik, longgar, dan tidak sedikit pemimpin di era sekarang dibidani oleh lembaga survei (berbayar). Tidak masalah. Sah-sah saja. Setiap masa ada mekanismenya, setiap mekanisme ada masa dan latar belakangnya, kata sebuah quote usang. Publik sepertinya menikmati model kepemimpinan yang terbidani melalui tata cara ini, dan nyaris tidak ada penolakan. Dinilai wajar-wajar saja. Maka konsekuensi di publik ialah munculnya perilaku massa yang cenderung membenarkan kebiasaan (viral, populer) ketimbang membiasakan kebenaran.
Filosofi leluhur misalnya, sepi ing pamrih rame ing gawe, tetapi praktiknya kini malah terbalik: ‘Sepi ing gawe rame ing pamrih‘. Semua yang dilakukan bukan kerja ikhlas, bukan kerja cerdas, namun hanya untuk viral, mengejar popularitas serta membangun citra diri. Pencitraan belaka.
Bukankah citra itu realitas semu? Hyper – reality. Maka dampak dari pola itu ada pergeseran perilaku kepemimpinan, bahwa pimpinan-lah yang kerap kali malah membuat malu bawahan. “Ing ngarso ngisin-ngisini” (di depan justru memalukan), bukannya ing ngarso sung tulodo, memberi contoh teladan kepada anak buah.
Efek lanjutan dari pola tersebut muncul dua hal tak elok di publik, antara lain:
Pertama, Ing Madyo Podho Ngapusi. Pemimpin bukannya memberi semangat atau membangun komitmen, tetapi menjalin konspirasi. Dua hal yang jelas berbeda. Komitmen itu keterikatan terhadap tindak kebenaran dalam menggapai tujuan, sedang konspirasi malah kebalikannya, yakni persekongkolan (jahat) demi kepentingan diri dan kelompok. Itu tadi, ujung-ujungnya ngapusi;
Kedua, Tut Wuri Meden-Medeni. Tak pelak, jika kelak konspirasinya terkuak, maka kecenderungannya ialah menumbalkan alias mengorbankan bawahan. Atau, si bawahan disuruh ‘menghilang’ supaya rantai kejahatannya putus, tak terlacak, dan lain-lain.
Pertanyaan gelisahnya ialah, “Bagaimana clue dan format yang cocok agar tidak muncul krisis kepemimpinan?”
Bersambung bagian 2
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com