Kudeta Konstitusi: Di Antara Perubahan, Keberlanjutan dan Distrust (Bagian 1)

Bagikan artikel ini
Perubahan itu keniscayaan. “Tan Kena Tinambak Srana”. Sesuatu yang tidak dapat dibendung, dan pasti terjadi. Perubahan apapun, tentang situasi dan kondisi (sikon) misalnya, pasti disebabkan oleh sesuatu —katakanlah, ‘power’— yang bersifat menekan sikon tersebut. Entah tekanan dari dalam (internal) ataupun dari sisi luar alias eksternal.
Secara praktis, diksi lain dari ‘tekanan’ bisa disebut distrust alias ketidakpercayaan. Tak pelak, setiap perubahan selalu diawali dari/oleh distrust. Tatkala ketidakpercayaan publik (public distrust) di suatu rezim tertentu sudah menguat, meluas lagi mengental di berbagai lapis sosial, boleh dipastikan bakal ada/terjadi perubahan pada rezim dimaksud. Entah apa ujudnya nanti, itu hanya soal trigger, modus, dan momentum.
Sejago-jagonya Orde Baru membangun kekuasaan selama 30-an tahun karena didukung ABRI, Birokrasi, dan Golkar, toch akhirnya tumbang juga diterjang badai public distrust. Itu salah satu contoh. Jangan anggap enteng isu ketidakpercayaan.
Terkait perubahan, pertanyaan selidiknya ialah, “Lebih baik mana, perubahan dari internal, atau dari sisi eksternal?”
Mari kita buat analog dan contoh-contoh. Ya. Bila perubahan dianalogi pada (perubahan) telor ayam, misalnya, maka tekanan —perubahan— dari sisi eksternal bisa mengakibatkan telor pecah. Tak jadi apa-apa. Kecuali, dibikin ndog dadar atau maksimal omlet. Telor ceplok.
Dalam konteks negara, perubahan di Libya misalnya, saat dan pasca Moamar Gaddafi berkuasa, atau upaya perubahan (via konflik) di Syria era Bashar al Ashad. Sekali lagi, tekanan dari luar —geostrategi Barat— membuat kedua negeri makmur tersebut justru porak poranda. Bangsa kasihan. Gara-gara perubahan dari luar, peradabannya konon mundur 100 tahun.
Sebaliknya, perubahan dari sisi internal selain sifatnya alamiah, soft, niscaya memunculkan kehidupan baru yang lebih baik. Istilahnya menetas. Lahir piyik, anak ayam.
Jadi, hakikat perubahan itu bukanlah membongkar yang lama kemudian membangun hal-hal baru, bukan! Itu justru mengakibatkan proses jadi ‘jalan di tempat’. Hentak-hentak bumi. Bahwa perubahan itu melanjutkan hal yang lama dengan penguatan serta penyempurnaan agar selaras dengan lingkungan strategis yang bergerak (berubah). Bila terpaksa dilakukan pembongkaran maka dinilai jalan terakhir dengan berbagai telaah, namun atas nama penguatan dan penyempurnaan demi kepentingan yang lebih besar.
Lahirnya Era Reformasi yang ditandai dengan lengsernya Pak Harto, dan jatuhnya Orde Baru. Tekanan (distrust) waktu itu berisi tuntutan reformasi, antara lain: pemberantasan KKN; pencabutan Dwifungsi ABRI; penegakkan hukum, HAM, dan demokrasi; penegakkan pers; pemberiaan hak otonomi kepada daerah; dan amandemen UUD.
Pasca Pak Harto mundur (21 Mei 1998), langkah sigap MPR —masih sebagai Lembaga Tertinggi Negara— merespon cepat perkembangan sikon. Selanjutnya diterbitkan 12 (dua belas) Ketetapan/TAP MPR guna mengakomodir tuntutan reformasi. Soft. Ini ujud perubahan dari dalam/internal.
Adapun dua belas TAP MPR dimaksud antara lain:
1. TAP MPR No VII/1998 tentang Perubahan dan Tambahan atas TAP MPR No I/1983 tentang Tata Tertib MPR;
2. TAP MPR No VIII/1998 tentang Pencabutan TAP MPR No IV/1998 tentang Referendum;
3. TAP MPR No IX/1998 tentang Pencabutan TAP MPR No II/1998 tentang GBHN;
4. TAP MPR No X/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara;
5. TAP MPR No XI/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN;
6. TAP MPR No XII/1998 tentang Pencabutan TAP MPR No V/1998 tentang Pemberian Tugas dan Wewenang Khusus kepada Presiden/Mandataris MPR dalam Menyukseskan dan Mengamankan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila;
7. TAP MPR No XIII/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI;
8. TAP MPR No XIV/1998 tentang
Perubahan dan Tambahan Ketetapan MPR No III/1998 tentang Pemilu;
9. TAP MPR No XV/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan Pembangunan dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI;
10. TAP MPR No XVI/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi;
11. TAP MPR No XVII/1998 tentang Hak Asasi Manusia; dan
12. TAP MPR No XVIII/1998 tentang Pencabutan TAP MPR No II/1978 tentang Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa).
Secara umum, terbitnya dua belas TAP MPR guna menyikapi perkembangan sikon. Ada empat TAP dari dua belas TAP MPR adalah dalam rangka memenuhi tuntutan reformasi secara langsung, misalnya: TAP No VIII/1998; TAP No XII; TAP No XIII; dan TAP MPR No XVIII/1998.
Sampai di sini, poin-poin pokok tuntutan reformasi sebenarnya sudah selesai dengan terbitnya dua belas TAP MPR pada 1998, kecuali amandemen UUD.
Pertanyaannya, “Adakah keterlibatan asing dalam amandemen UUD 1945 rumusan the Founding Fathers yang secara hakiki merupakan perubahan/agenda dari luar?”
Bersambung ke Bagian 2 
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com