Manado-Bitung Sasaran Proxy War AS-Cina Sejak 1998

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Peneliti Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Haluslah agar kau tak terlihat
Misteriuslah agar kau tak teraba
Maka kau akan kuasai nasib lawanmu…
(Sun Tzu, Ahli Strategi Cina)

Dalam tulisan saya terdahulu, sempat mengingatkan perlunya mewaspadai kemungkinan Bitung, Sulawesi Utara, sebagai wilayah yang dijadikan target investasi Cina di Indonesia, dengan meminta diikutsertakan dalam skema Zona Ekonomi Khusus. Jika Indonesia setuju dengan permintaan Cina itu, berarti Indonesia telah membuka pintu lebar-lebar bagi para Taipan Pesisir Cina Selatan untuk melakukan invasi ekonomi ke beberapa wilayah yang punya nilai strategis secara geopolitik di Indonesia.

Betapa tidak. Di Bitung, salah satu kota di Sulawesi Utara, Cina akan membangun kawasan perindustrian secara menyeluruh, berikut infrastrukturnya seperti pelabuhan dan bandara, dalam satu kompleks. Jika kita tidak berhasil mengetahui agenda-agenda tersembunyi Cina, maka bisa dipastikan akan menjadi bencana geopolitik bagi Indonesia.

Sebab bisa-bisa, lapangan udara maupun pelabuhan-pelabuhan vital kita, secara Hankam akan sepenuhnya berada dalam kekuasaan negara asing. Apalagi Sulawesi Utara secara geostrategi, dipandang sebagai pintu masuk Indonesia ke kawasan Asia Pasifik. Terutama ke Filipina yang merupakan sekutu tradisional Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara.

Namun masuknya investasi Cina ke Indonesia yang dipandu oleh Skema Kawasan Ekonomi Khusus, nampaknya jauh lebih berbahaya di balik rencana investasi besar-besaran Cina ke Indonesia.

Namun, Cina nampaknya bukan satu-satunya yang diuntungkan dengan adanya skema Zona Ekonomi Khusus ini.

Kapet Menado-Bitung Sebagai Pintu Masuk AS ke Indonesia Timur

Untuk memahami betapa rawannya Bitung-Menado sebagai sasaran Proxy War antara AS versus Cina di Indonesia, sudah terlihat sejak 1998, tak lama setelah pemerintahan Suharto tumbang, dan digantikan oleh Presiden BJ Habibie.

Dengan dalih untuk mendorong kesejahteraan wilayah Sulawesi Utara, pemerintah pusat di bawah pimpinan BJ Habibie kemudian menetapkan kawasan tersebut sebagai kawasan pengembangan ekonomi terpadu (Kapet) yang tercantum dalam Kepres No 14 Th 1998. Kapet Menado-Bitung kemudian menjalin kerjasama regional antara negara ASEAN yang tergabung dalam BIMP-EAGA (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, East ASEAN Growth Area).

Lembaga ini merupakan bentuk kerjasama bilateral negara-negara ASEAN untuk wilayah bagian timur. Kapet Manado-Bitung meliputi kawasan Manado, Bitung serta sebagian wilayah Kabupaten Minahasa dengan cakupan wilayah seluas 251.138 hektar.

Bahkan pada 2004, untuk merealisasikan Kepres tersebut, pada 2004 Kapet Manado-Bitung membangun kawasan industri seluas 60 hektar yang  berlokasi di kabupaten Minahasa Utara. Dan menariknya lagi, pengembangan kawasan industri tersebut dilakukan oleh pihak swasta.

Secara normatif penanggungjawab dan pemegang otoritas tertinggi Kapet adalah presiden. Kemudian presiden membentuk tim pengarah yang diketuai oleh Menteri Riset dan Teknologi di mana salah satu anggota dari tim ini adalah gubernur yang wilayahnya menjadi Kapet.

Pada 2000 berdasarkan Keppres No 150 tahun 2000, struktur penanganan Kapet berubah. Pada level nasional dibentuk apa yang disebut Badan Pengembangan Kapet yang diketuai oleh Menko Perekonomian. Di bawahnya terdapat tim teknis Badan Pengembangan Kapet diketuai oleh Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Pengelolaan di bawahnya, sebagai badan pengelola Kapet diketuai oleh gubernur.

Di sinilah skema sesungguhnya di balik kebijakan ini mulai terungkap. Melalui Kepres ini, jabatan wakil ataupun pelaksana harian yang semula ditetapkan dengan Kepres, dapat diangkat cukup dengan SK Gubernur.

Begitu pula halnya dengan para direktur dan para anggota Badan Pelaksana Kapet dalam lingkungan manajemen Kapet diangkat lewat SK Gubernur.

Dengan demikian, berdasarkan Kepres 150/2000, menteri pemukiman dan pengembangan wilayah ditunjuk sebagai tim teknis badan pengembangan Kapet. Sehingga berpotensi untuk membawa Kapet lebih cenderung ke arah pengembangan fisik daripada pengembangan wilayah.

Padahal, untuk mempercepat pembangunan, perlu pendekatan khusus yang mampu mendorong semua sumberdaya dan potensi wilayah menjadi “Kekuatan Tawar” terhadap swasta baik dalam negeri maupun asing. Jadi, perlu wawasan geopolitik para elit pimpinan daerah untuk pengembangan visi pembangunan secara lebih strategis.

Selain itu, skema Kapet Menado-Bitung menerapkan perdagangan bebas sehingga sistem ini merugikan rakyat kecil. Bila dicermati secara lebih teliti, terlihat bahwa sasaran utama perdagangan bebas pada dasarnya adalah berupa pembukaan batas-batas kedaulatan negara bagi berlangsungnya suatu pergerakan modal, barang, jasa, serta penyeragaman ketentuan dan prosedur dalam melaksanakan perdagangan antar negara.

Konsep perdagangan bebas mengabaikan sama sekali perbedaan kepentingan ekonomi antara berbagai lapisan sosial yang terdapat dalam masyarakat. Konsep ini cenderung melihat persoalan hanya dari segi kepentingan kaum kapitalis asing. Seraya mengabaikan kepentingan kaum buruh, kaum tani, dan kelompok masyarakat bawah lainnya.

Bukan itu saja. Dari segi Hankam dan Intelijen, juga tak kalah rawan. Dalam kasus Kapet Menado-Bitung, dipandang sebagai kawasan strategis pihak asing untuk melakukan infiltrasi ke wilayah Indonesia bagian Timur.

Sekadar informasi, kawasan tersebut sangat dekat dengan Filipina yang telah menjalin persekutuan strategis dengan Amerika Serikat. Indikasi adanya pengiriman barang secara langsung ke Singapore membuktikan aanya upaya negeri Paman Lee tersebut untuk bermain menguasai kawasan timur Indonesia.

Apalagi, sejak awal Mei 2004, Singapura secara resmi mendesak AS untuk memainkan peran militernya di Selat Malaka. Bahkan sebelumnya, Singapura juga pernah menekan Indonesia agar mengizinkan kehadiran militer AS membantu meningkatkan patroli keamanan di Selat Malaka. Dalih yang digunakan Singapore, karena meningkatnya aktivitas terorisme.

Menguasai Selat Malaka, yang tentunya termasuk kawasan Indonesia bagian Timur yang berdekatan dengan wilayah laut Filipina, memang sudah dirancang sejak 2001. September 2001, misalnya, kongres AS membentuk US Commision on Ocean Policy. Yang mana komisi ini telah merekomendasikan bahwa AS harus menjadi pimpinan dalam berbagai kegiatan ang menyangkut kelautan dan pesisir pantai.

Bayangkan, Presiden Jokowi yang sejak kampanye Pilpres sudah mencanangkan konsepsi Poros Maritim, hingga kini belum mengeluarkan Ocean Policy yang mengisyaratkan adanya sebuah kebijakan terintegrasi di matra laut.

Bahkan lebih jauh dari itu, AS juga membentuk Regional Maritime Security Iniative (RMSI), kerangka kerjasama multilateral yang bertujuan meningkatkan keamanan di Selat Malaka.

Aspek geopolitik inilah yang kiranya harus diwaspadai oleh seluruh Pemangku Kepentingan kebijakan luar negeri dan pertahanana nasional kita terkait skema pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus di Manado-Bitung, baik dengan mengikutsertakan Cina maupun AS. Karena keduanya, sama-sama berpotensi untuk membahayakan kedaulatan nasional Indonesia.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com