“Mantra Obama” Tidak Mempan di Rusia

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute

Berbeda ketika berpidato di Universitas Kairo, Mesir, yang mendapat sambutan gegap gempita dan mengundang tepuk tangan audiens berkali-kali, di Rusia pidato Obama disambut dingin-dingin saja. Bahkan, tidak disiarkan langsung oleh televisi utama Rusia.

Nampaknya pernyataan Obama seminggu sebelum kunjungannya ke Rusia Selasa (7/7) lalu, telah mengundang antipati berbagai elemen masyarakat Rusia.  Dalam pernyataannya, Obama mengecam mantan Presiden Vladimir Putin sebagai orang yang salah satu kakinya masih tertinggal di masa lalu, yaitu di masa Perang Dingin.

Tidak jelas apa pertimbangan Obama sehingga mengambil resiko terjadinya konflik terbuka dengan Putin yang saat ini menjabat sebagai Perdana Menteri Rusia. Yang jelas, Putin di mata masyarakat Rusia merupakan sosok seorang pemimpin yang berkarisma dan dinilai berhasil dalam membangkitkan kembali negara Beruang Merah tersebut dari keterpurukan menyusul runtuhnya Negara Komunis Uni Soviet.

Inilah yang tidak masuk dalam pemikiran Obama. Bahwa dalam perpektif Putin, masalahnya bukan soal melestarikan pola pandang Perang Dingin, tapi bagaimana membangkitkan kembali martabat dan kebanggaan rakyat Rusia dari keterpurukan pasca runtuhnya Uni Soviet. Salah satu hasilnya, postur pertahanan Rusia kembali bangkit dan diperhitungkan oleh negara-negara NATO di Eropa Barat.

Di bawah kepemimpinan Putin, perekonomian Rusia bangkit kembali. Sehingga Rusia berhasil memodernisasikan kembali Angkatan Bersenjatanya secara bertahap sesuai dengan pola ancaman yang dihadapi dan strategi yang diterapkan. Bahkan di era kepresidenan Dmitry Medveded sekarang, Rusia terus mengembangkan kekuatan militernya, termasuk memproduksi rudal dan kapal selam berkapasitas nuklir generasi baru.

Moskow juga siap mengucurkan dana US$ 140 miliar untuk anggaran militernya hingga 2011. Suatu jumlah anggaran yang cukup fantastis dan tertinggi sejak runtuhnya Uni Soviet.

Mei 2007 lalu, Rusia berhasil menguji coba RS-24 rudal generasi baru yang mampu merontokkan tameng rudal Amerika Serikat, Bahkan menurut informasi, Presiden Medvedev berencana untuk mengerahkan rudal jarak pendek untuk menandingi tameng rudal Amerika di Polandia.

Postur pertahanaan Rusia semakin disegani lawan-lawannya dari Eropa Barat ketika pada April 2007 salah satu dari 12 kapal selam kelas Borel baru (proyek 955) diluncurkan. Kapal selam yang kemudian mulai dioperasikan seja November 2008 itu akan dilengkapi dengan 12 rudal Bulava baru. Yang mana satu rudal mampu membawa enam hulu ledak.

Fakta inilah yang akhirnya berhasil memicu ketakutan negara-negara NATO, sehingga Sabtu (27/6) negara-negara anggota pakta pertahanan Eropa Barat tersebut sepakat untuk kembali menjalin kerjasama militer dengan Rusia setelah sempat terhenti selama sepuluh bulan.

Ini suatu bukti nyata bahwa reputasi Rusia di Eropa Timur masih tetap disegani dan diperhitungkan sebagai lawan yang cukup berbahaya. Rupanya NATO berangapan bahwa merangkul Rusia dalam jalinan kerjasama strategis akan mencegah Rusia untuk memainkan skemanya sendiri di kawasan Eropa Timur.

Serangan militer Rusia ke Georgia untuk melindungi dua provinsi yang bermaksud melepaskan diri dari Georgia yaitu Ossetia Selatan dan Abkhazia. Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov telah mendesak NATO untuk menghargai aspirasi kedua provinsi di Georgia tersebut untuk memisahkan diri dari Georgia sebagaimana ketika Georgia dahulu melepaskan diri dari Uni Soviet.

Selain itu, Rusia sepertinya juga tidak takut-takut untuk memprotes mitranya dari eropa barat atas keputusannya untuk menerima keanggotaan Ukraina dan Georgia sebagai negara-negara anggota NATO. Masuknya kedua negara bekas bagian Uni Soviet tersebut memang bikin Rusia tidak nyaman. Maklum, Georgia dan Ukraina sepertinya memang bermaksud menantang Rusia, dan terang-terangan mengundang dukungan dan bantuan dari Amerika dan sekutnya dari Eropa Barat.

Bahkan, bertepatan dengan hari kemenangan Angkatan Bersenjata Soviet menghancurkan Jerman pada Perang Dunia Kedua, Amerika dan NATO sepertinya sengaja memprovokasi Rusia dengan menggelar latihan militer bersama di negara Georgia yang berbatasan langsung dengan wilayahn kedaulatan Rusia.

Bukan itu saja. Bahkan Rusia mengecam rencana pembangunan tameng rudal Amerika di Republik Ceko dan Polandia. Semua ini dinilai Rusia tidak saja merupakan provokasi terhadap Rusia,  tapi juga bisa membahayakan kedaulatan wilayah Rusia secara keseluruhan.

Karena itu, ketika Georgia ada gelagat akan menghancurkan Ossetia Selatan dan Abkhazia karena bermaksud memerdekakan diri dari Georgia, dengan serta merta Rusia langsung mengirim pasukan militernya menggempur Georgia.

Inilah untuk kalim pertama Rusia mengerahkan pasukannya ke luar negeri sejak pasca keruntuhan Uni Soviet pada 1991. Dan NATO, nampaknya berpikir dua kali untuk memenuhi seruan Georgia agar membantu membalas serangan militer Rusia.

Tapi apa mau di kata, Rusia sejak di bawah kepemimpinan Putin dan Medvedev ternyata telah kembali memulihkan reputasinya sebagai negara adidaya di bidang militer.

Karena itu, pernyataan konfrontatif Obama menyerang Putin sebagai sosok pemimpin yang salah satu kakinya masih berada di era Perang Dingin, nampaknya justru tidak banyak membantu dalam mencairkan komunikasi politik antara Amerika dan Rusia.

Beberapa Agenda Strategis yang di Bahas Amerika-Rusia

Masih belum bisa dipastikan apa yang sudah berhasil dicapai oleh kedua negara adidaya melalui momentum pertemuan Obama, Medvedev dan Putin. Namun kedua negara bersepakat untuk menyepakati perlunya kontrol terhadap kepemilikan senjata nuklir bagi kedua negara.

Kedua negara nampaknya juga bersepakat untuk mempcepat negosiasi mengenai traktat senjata nuklir untuk menggantikan START I yang sudah kadaluarsa pada Desember 2009.

Sementara itu, ada beberapa isu yang nampaknya tetap sulit untuk disepakati oleh Amerika maupun Rusia. Rusia menentang keras rencana bergabungnya Georgia dan Ukraina ke NATO. Rusia juga tetap bersikeras untuk mempetahankan pasukan militernya di Ossetia Selatan dan Abkahzia, dan menolak hadirnya misi pengawasan damai PBB.

Dan yang paling penting dari semua itu, Rusia menentang keras rencana NATO membangun tameng rudal di Eropa dan menilai hal itu sebagai faktor penghambar ke arah baru hubungan Rusia-Amerika-NATO.

Dan yang paling krusial dari itu semua, Washington bersikeras barat tidak bisa menerima gaya kepemimpinan Soviet ala Putin. Namun Putin pun sejak masa kepresidenan yang dia pimpin sebelumnya, juga mendesak Amerika untuk tidak menjadi kekuatan tunggal yang mendominasi dunia. Karena menurut Putin, hegemoni Amerika justru bakal membawa dunia ke dalam  ketidakseimbangan.

Bisa jadi, inilah yang membuat ”mantra Obama” di Rusia menjadi tidak mempan sama sekali. Kecaman Obama bahwa Putin masih berpikir dalam kerangka Perang Dingin,  di mata masyarakat Rusia justru menunjukka bahwa Putin memiliki kepekaan intuitif dalam membaca konstalasi politik internasional.

Putin sepertinya bisa membaca gelagat bahwa di balik retorika Obama agar Rusia melepaskan diri pola pikir Perang Dingin, sebenarnarnya tersembunyi sebuah agenda untuk menata-ulang hegemoni Amerika di pentas dunia internasional.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com