Masih Adakah Toleransi Internasional Ditengah Politik Global?

Bagikan artikel ini

Otjih Sewandarijatun, Penulis adalah alumnus Udayana, Bali. 

Jika tidak ada aral melintang, komunitas internasional akan memperingati Hari Toleransi Internasional yang telah ditetapkan PBB jatuh pada 16 November setiap tahunnya. Penetapan tanggal 16 sebagai Hari Toleransi merujuk pada 16 Nopember 1995, di mana organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Budaya-United Nations EducationalScientific and Cultural Organization (Unesco) mengadopsi Declaration of Principles on Tolerance, sebuah deklarasi yang dimaksudkan menegaskan kembali pentingnya mempromosikan dan menjamin toleransi sebagaimana telah ditegaskan dalam sejumlah instrumen internasional hak asasi manusia.

Kehadiran toleransi di tengah turbulensi politik lokal, regional dan global sangat diperlukan, karena diakui atau tidak konflik dengan beragam modus operandinya sangat mudah tersulut di era global sekarang ini. Hal ini disebabkan karena dalam era globalisasi dan digitalisasi seperti sekarang ini mudah sekali tersulut konflik.
Globalisasi telah dinilai oleh berbagai peneliti dan penulis telah memicu adanya perubahan sosial yang bersifat mendunia, bahkan globalisasi juga menjadi salah satu faktor yang dapat memicu konflik itu sendiri (Attali, 1991; Barber, 1995; Lerche, 1998; Scholte, 1997; Waters, 1995)
Bahkan beberapa penulis atau peneliti juga menyatakan bahwa globalisasi juga telah menciptakan dampak ketidakstabilan dalam bidang ekonomi dan budaya di beberapa negara seperti Iran, Sierra Leone, Indonesia dan lain-lain. Oleh karena itu, banyak yang menilai ada keterkaitan yang erat antara globalisasi dan konflik itu sendiri.
Efek terbesar dari globalisasi itu sendiri adalah terjadinya perubahan ekonomi dan teknologi termasuk informasi yang berkembang sangat pesat, bahkan melintasi batas-batas negara itu sendiri (Reich, 1991, Ohmae, 1990 dan 1995 serta Friedman, 1999).
Berbagai konflik yang terjadi di beberapa negara akhir-akhir ini seperti di beberapa negara Timur Tengah dan Afrika Utara seperti Mesir, Libya, Tunisia, Syria dan lain-lain yang terkenal dengan istilah “Arab Spring” adalah sebuah gelombang besar perubahan di negara-negara yang selama ini bertatanan kehidupan yang tidak demokratis dan kerajaan menjadi negara yang bersifat demokratis, walaupun sebenarnya ada dimensi lain dari Arab Spring yaitu merupakan upaya Amerika Serikat dan sekutunya untuk menguasai salah satu sumber konflik ke depan yaitu energi, terutama minyak.
Namun, ada juga beberapa pengamat yang menilai bahwa Arab Spring juga merupakan upaya Amerika Serikat dan sekutunya untuk “mengalieniasi” Iran dari beberapa negara tetangganya, artinya gerakan Arab Spring tidak bisa menyentuh Iran, karena faktor kepemimpinan dan kecintaan masyarakatnya terhadap pemimpin yang kuat, sehingga negara-negara di sekeliling Iran yang memiliki model pemerintahan sama yang “digoyang” dengan harapan masyarakat Iran menjadi terbuka dan kemudian melakukan “revolt” bagi negaranya sendiri (banyak kalangan intelijen menyatakan inilah skenario terpanjang dari Arab Spring itu sendiri).
Sedangkan Hendrajit yang juga Direktur Global Future Institute, ancaman yang harus diwaspadai adalah kapitalisme global dan liberalisme politik. Tak bisa dipungkiri, gejolak yang melanda Jalur Sutra (Timur Tengah dan Afrika Utara) oleh media-media mainstream milik Barat dipotret sebagai “Musim Semi Arab” atau Arab Spring. Musimnya demokrasi. Kelahirannya mirip ketika media Barat dulu menamai gejolak massa era 2000-an di Eropa Timur (Pakta Warsawa) dengan sebutan “Revolusi Warna”.
Dalam perspektif politik global, Arab Spring ataupun Revolusi Warna hanyalah tema guna mengelabuhi publik serta semacam legitimasi bagi aksi-aksi kolonialisme yang hendak dijalankan oleh suatu negara.
Ada hidden agenda dibalik open agenda. Sebagai contoh tatkala Arab Springmerambah ke Iran, seketika tema pun berganti. Temanya berbeda sewaktu aksi massa menggoyang Tunisia, Yaman dan Mesir. Pergantian tema di Iran tampak mencolok dari sebelumnya soal korupsi, menegakkan demokrasi dan melawan pemimpin tirani berubah total menjadi “isu nuklir”.
Toleransi dan DHL
Berbicara soal toleransi internasional di era politik global yang diwarnai dengan hakekat dan dimensi ancaman yang bersifat asimetris, maka tidak akan terlepas dari agenda global itu sendiri yang terkait dengan “DHL (demokrasi, HAM dan lingkungan hidup). Bahkan, alasan beberapa negara Barat yang turut membantu “pemberontakan sosial” di kawasan Timteng dan Afrika Utara juga katanya sebagai bentuk mendukung upaya demokratisasi di kawasan tersebut, karena dikawasan tersebut sudah tidak ada toleransi dan akut pelanggaran HAM-nya. Tapi apakah benar demikian ?
Perkembangan lingkungan strategis global sekarang ini diakui atau tidak terletak pada perebutan dalam rangka ketahanan energi (energy security) ke depan. Hal ini seperti diungkapkan oleh Guilford dalam buku Energy Policy (1973) berintikan, apabila menyangkut minyak maka lebih kental nuansa politik (90%) dan 10% sisanya perihal teknis minyak itu sendiri. When it comes to oil is 90% all about politics and 10% its about oil it self. 
Sementara itu, menurut Dirgo D. Purbo, konsultan dan pakar perminyakan Indonesia, bahwa 10% teknis itu meliputi data produksi, production ratereservoir pressuredrilling dan lainnya. Semua hal teknis cuma sekedar aspek pada tataran subsurface, sedang masalah politik berada di surface (permukaan). Jelas sudah, bahwa aspek minyak senantiasa mewarnai kebijakan pemerintahan dimanapun baik luar maupun dalam negeri, terutama kebijakan kelompok negara penghasil minyak, apalagi bagi negara-negara yang memiliki tingkat ketergantungan tinggi terhadap minyak (negara industri).
Marvin J Cetron dan Owen Davies melihat bahwa krisis politik yang terjadi di kawasan Timur Tengah mengindikasikan sejumlah kecenderungan terkini yang memiliki dampak potensial terutama terkait dengan stabilitas kawasan di Timur Tengah, termasuk perekonomian dunia terutama pasokan minyak dimana hal ini disebabkan karena 31% produksi minyak dunia dihasilkan dari kawasan Timur Tengah ini.
Menurut Cetron dan Davies dalam tulisannya yang berjudul “Worst Case Scenario : Middle East (Skenario Kasus Terburuk : Timur Tengah) ini pada intinya menulis bahwa “keterlibatan” Amerika Serikat dalam konflik Timur Tengah berimplikasi terhadap perekonomian Amerika Serikat, khususnya dalam hal kebutuhan pasokan minyak dan energi.
Bagi Amerika Serikat, setidaknya ada 7 skenario terburuk terkait dengan konflik Timteng yaitu Amerika Serikat harus lepas dari Iraq, melakukan intervensi terhadap Israel terkait masalah Palestina, mendukung reformasi dalam Islam, defanging Pakistan karena Pakistan memiliki kemampuan membuat senjata nuklir yang lebih hebat dari Iran, mempersiapkan adanya keberlanjutan perang di Timteng, khususnya terkait dengan persediaan minyak, pembangunan minyak serpih, menemukan dan mengembangkan secara cepat energi alternatif seperti solar, angin dan gelombang.
Last but not least, hari toleransi internasional sebenarnya dalam konteks kekinian dan ancaman asimetris ditengah pusaran politik global sudah tidak relevan lagi, bahkan toleransi internasional hanya bagian dari kampanye global sebelumnya yaitu “DHL”. Semuanya berakhir dengan masing-masing negara mempertahankan national interestnya.

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com